Mensakralkan Ramadhan Kikis Budaya Konsumtif

Sofyan Badrie

Meningkatnya kecenderungan konsumsi, tak akan membuat ?masyarakat kian bahagia. Tapi malah kian me?miskinkan mereka, dan memperkaya kaum kapitalis. Bulan Ramadhan pun telah dijadikan komoditas kapitalistik.

Gelombang krisis ekonomi yang melanda seluruh sektor kehidupan, ternyata tidak berpengaruh terhadap ‘hobi’ umat Islam setiap kali menjelang bulan Ramadhan. Tengoklah supermarket dan mal-mal di perkotaan, menjelang waktu berbuka hingga malam di bulan penuh rahmat itu, penuh sesak oleh umat Islam yang mencari dan menyiapkan menu berbuka, dilanjutkan dengan kebiasaan berleha-leha selepas berbuka.

Di bulan suci itu, kesenjangan makin dikuakkan. Tak sedikit kaum muslim meramaikannya dengan “pengalaman shalih bergengsi”. Seperti puasa sambil umrah di tanah suci, atau menggelar paket buka bersama di hotel-hotel berbintang. Sungguh bertolak belakang dengan “keprihatinan” pelaku ibadah puasa sejati yang berbuka puasa bersama di surau-surau kecil di pojok kampung.

Perilaku ini justru mendistorsi ajaran agama. Karena di saat Ramadhan, tak sedikit kalangan mustadh’afîn berharap ingin mendapat nikmat dan bahagia Ramadhan. Sakralitas Ramadhan pupus oleh sifat materialistik-komsumtif. Tradisi masif yang membudaya di mana-mana, dengan makan yang lezat, baju baru, mengecat rumah, dan pengalokasian anggaran belanja yang berlipat dari hari biasa.

Dampak puasa sebagai ibadah sosial pun belum tumbuh konkrit dalam kehidupan masyarakat. Berbagai bentuk kezhaliman terus merajalela, kejahatan kian mengalami eskalasi yang luar biasa, kekerasan tetap marak di mana-mana, proses dehumanisasi terus berlangsung dalam kehidupan. Atau dengan kata lain, ibadah puasa umat Islam masih bersifat individu-vertikal, belum mencapai tingkat sosial-horizontal.

Fenomena ini menurut Umar Shihab, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), setidaknya dilatarbelakangi dua hal. Pertama, Islam masih dipahami secara fikih oriented. Paradigma ini memandang ibadah hanya secara hitam-putih, halal-haram. “Jebakan-jebakan” fikih yang parsial, telah mendarah daging dan menjadi tradisi yang masif dilakukan kalangan umat beragama.

“Fikih belum mampu membangkitkan spiritual umat menghadapi kondisi ril masyarakat yang tengah dilanda demoralisasi individual dan sosial. Maka tak salah kalau puasa hanya dilihat sekedar memenuhi perintah syariat belaka,” katanya kepada Majalah Qalam beberapa waktu lalu di kantor MUI, Jakarta Pusat.

Puasa yang berdasarkan pemahaman agama yang fikih oriented ini, seakan belum menyentuh dimensi kemanusiaan. Padahal dalam al-Qur’an dindikasikan bahwa puasa adalah untuk memantapkan ketakwaan. “Ketakwaan merupakan something spiritual yang akan membentuk pribadi manusia yang total dan integral. Karena dalam diri orang yang bertakwa, tak akan muncul krisis percaya diri dan moral, juga tak pula timbul image yang memancing kedua krisis tersebut,” kata Umar Shihab.

Krisis yang timbul di kalangan elite dan masyarakat kita sekarang ini, karena mereka melepas baju ketakwaan yang manusiawi. Bahkan di zaman modern ini, manusia sudah kehilangan rasa kebersamaan dan solidaritas sosial. Maka tak salah kalau banyak manusia yang kelaparan, di saat kita semua menjalanakan ibadah puasa. Itu karena puasa hanya sekedar kewajiban.

Kedua, lanjut Umar Shihab, Ramadhan telah dijadikan komoditas yang kapitalistik. Berbagai industri, media massa, khususnya stasiun televisi, berpacu memanfaatkan Ramadhan untuk menayangkan program-program dakwah. Semua artis manggung di TV dengan pakaian islami, namun tak sadar kita disuguhi iklan-iklan yang menyuntik mindset kita.

Mereka, menurut Umar Shihab, memanfaatkan momentum Ramadhan. Padahal, produk mereka sama sekali tidak terkait dengan ibadah puasa. “Saat ini Ramadhan nampaknya malah menjadi bulan para produsen dan artis, bukan milik kita lagi,” tandas Umar Shihab prihatin.

Prinsip Konsumsi Islami

Kegiatan berkonsumsi, menurut Umar Shihab, dalam hal ini adalah makan dan minum, telah sangat diperhatikan oleh Islam. Segala makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh seorang muslim, harus memenuhi kriteria halal dan thayyib (baik). “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 168)

Jadi, sebagai seorang muslim, apalagi kepala keluarga, sudah seharusnya menyediakan makanan yang halal untuk dikonsumsi sehari-hari. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga, (siapa saja yang) daging dan darahnya tumbuh dari yang haram. Neraka lebih utama baginya.” (HR. Ahmad)

Lebih jauh Umar Shihab mengungkap, makanan halal meliputi makanan yang halâl dzâtihi. Artinya, makanan yang memang secara zat sudah halal, seperti nasi, daging ayam, dan tempe. Yang kedua, halâl ghairihi, yaitu halal disebabkan cara memperolehnya. Misalkan, daging ayam yang secara zat adalah halal, tetapi jika didapat dari hasil mencuri atau disembelih tidak dengan nama Allah, maka ia menjadi haram.

Selanjutnya, jelas Umar Shihab, dalam kegiatan makan dan minum, seorang muslim dilarang untuk berlebih-lebihan dari kadar kewajaran. Karena Allah SWT telah memperingatkan, “Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. al-A’râf [7]: 31)

Boks

Buah Kapitalisme

Konsumerisme merupakan fenomena yang sejak lama populer di Barat. ?Dalam sistem Kapitalisme Barat, konsumsi tanpa mengontrol produk dan ?tidak menggunakan barang yang baru dibeli, merupakan tindakan ?wajar. Dalam sistem ini, nilai-nilai agung telah diambil alih oleh kecenderungan ?terhadap materi dan hal-hal tidak bernilai.?

Dalam sistem ini, masyarakat akan langsung terjun mencari uang dan ?kekayaan lebih dan lebih, demi membiayai kelezatan materi yang segera berlalu. ?Tanpa gaya hidup konsumerisme berlebihan, siklus produksi dalam sistem ?Kapitalisme tidak akan laju. Dan para pemodal pun tak ?dapat menumpuk kekayaannya.?

Hujjatul Islam Reza Gholami, Ketua sebuah lembaga riset di Iran menandaskan, ??”Gaya konsumsi bangsa-bangsa di dunia sangat dipengaruhi oleh pandangan ?dunia mereka. Dengan kata lain, cara pandang manusia menentukan kehidupan ?individual dan sosial. Begitu pula keinginan atau tidak dalam model konsumsi ?sebuah masyarakat.”

Terkait pola konsumsi masyarkat Barat, Reza menambahkan, “Sistem ?Kapitalisme sangat memanfaatkan pemisahan akhlak dan ekonomi liberal. Sistem ?ini menyebut pondasi kemajuan sebagai kekuatan yang berdasar kekayaan dan ?peningkatan produksi sebanyak-banyaknya. Tujuan ini hanya dapat ? terealisasi dengan mendorong masyarakat meningkatkan pola konsumsi mereka tanpa ?kontrol.”

Meski upaya menjadikan masyarakat Barat sebagai masyarakat ?konsumtif secara bertahap di mulai sejak zaman Renaissance, namun hingga awal ?abad ke-20, mayoritas orang-orang kaya di mereka telah menjadi konsumen utama.?

Menurut Anna Clark, Dosen Psikologi Universitas Iowa Amerika, masalah ini sangat mencengangkan sekaligus menyedihkan. Khususnya ketika dalam sebuah ?masyarakat telah tumbuh kebiasaan untuk membuang sebuah produk menjadi nilai, ketimbang memperbaiki atau ?mendaur ulangnya. “Umur sebuah barang seperti harus berdasarkan strategi ?keuntungan yang ditentukan perusahaan-perusahaan besar, bukan oleh ?moral dan lingkungan,” tegas Anna.

Dalam fenomena kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi lebih banyak, para produsen yang hanya mencari ?untung pun akhirnya memproduksi barang-barang mewah dan baru, tapi tidak dapat ?bertahan lama. Perhatikan misalnya, kebanyakan perangkat elektronik mutakhir, praktis tidak dapat diperbaiki lagi. Atau, bila ingin diperbaiki, butuh biaya besar.

Dalam kondisi ?demikian, para konsumen dalam beberapa waktu secara berkala, akan menemukan ?produk-produk baru hanya sebagai mode. Menariknya, menurut Anna, biasanya barang-barang ini ?dari sisi penggunaan tak banyak beda dengan produksi sebelumnya. Hanya ?dengan bantuan iklan, para pembeli dicekoki sedemikian rupa, bahwa barang ini ?benar-benar berbeda dengan sebelumnya.?

Anna menilai, data kecenderungan masyarakat Amerika Serikat (AS) yang membuang 315 juta komputer dan ?100 juta telepon genggam sangat mengguncang. Karena, perilaku ini berarti ?menyebarkan 50 ribu ton racun berbahaya ke alam. Institute World Watch dalam ?laporannya menyebutkan, bahwa keluarga AS saat ini mengkonsumsi empat kali lebih ?banyak produk dan jasa keluarga, dibanding keluarga 40 tahun lalu.

?Di mayoritas negara-negara Barat, jumlah mobil pribadi lebih banyak dari jumlah ?orang yang memiliki surat izin mengemudi. Sementara jumlah rata-rata keluarga ?malah menurun, tapi pembuatan rumah yang lebih besar meningkat 35 persen.

Konsumsi berlebihan ?seperti ini sangat berbahaya. “Bukti-bukti di abad baru ini menunjukkan bahwa ?meningkatnya pola konsumsi membuat kelaparan semakin meluas,” tulis Institute World Watch dalam laporan seperti dilansir Anna Clark.

Konsumerisme di Barat membuat kalangan miskin di sana semakin miskin. ?bahkan Institute World Watch menyatakan, konsumerisme kian menjamurkan munculnya ?fenomena kegemukan, dan meningkatnya orang yang berhutang. Konsumsi berlebihan pun akan berujung pada menurunnya kualitas kehidupan.

?Ditambahkan Anna Clark, “Meningkatnya konsumsi di dunia bukan hanya tidak membuat ?masyarakat semakin bahagia, tapi malah membuat sumber-sumber alam semakin ?miskin.” Bahkan menurut data penelitian, hanya sepertiga dari rakyat AS yang puas ?dengan kehidupannya.

Leave a comment