Bola Salju Ateisme

Tata Septayuda Purnama

Resah dan kecewa terhadap Kristen, banyak penganut agama itu di negara-negara Barat, menyatakan dirinya keluar dari agamanya. Fenomena ateisme pun kian membukit.

Akhir Maret lalu, sekitar 100.000 orang Inggris dikabarkan mendownload Certificate of de-Baptism menyatakan diri keluar dari agama Kristen melalui internet. Inisiatif penyebaran formulir ini muncul dari kelompok yang menamakan dirinya National Secular Society (NSS).

Di samping terobosan melalui internet, kelompok ini juga rajin mengkampanyekan gagasan lewat iklan di bus-bus umum di Kota London, dengan tulisan provokatif “Mungkin Tuhan Tidak Ada. Jangan Khawatir dan Nikmati Hidup Anda.”

“Kami juga mencetak sertifikat dari kertas kulit, dan sampai sekarang sudah terjual 1.500 lembar. Satu lembarnya seharga tiga poundsterling,” tutur Presiden NSS Terry Sanderson (58).

Seorang warga Kota London, John Hunt (58), mengaku tertarik dengan kampanye ini. Karena kecewa telah dibaptis menjadi Kristen tanpa sekendak dirinya saat masih kecil. Menurut tradisi keluarganya, seorang anak harus dibaptis saat berusia lima tahun.

Hunt meminta seorang pendeta untuk menghapus namanya di Gereja Inggris. “Prosedur penghapusan nama baptis harus dengan memasang pengumuman di harian London Gazette,” ujar Hunt menirukan tanggapan pendeta itu. Begitulah mereka memberi peraturan, agar orang sulit keluar dari jerat gereja, dan tidak mengkonversi diri ke dalam agama lain.

Warga lainnya, Michael Evans (66), sangat kesal dengan tradisi pembaptisan terhadap anak-anak kecil. Menurutnya, tradisi itu termasuk bentuk pelecehan anak. Evans pernah menggugat agar baptis dirinya dibatalkan. Tapi Gereja Inggris menyatakan bahwa pihaknya tidak berwenang untuk menghapus catatan baptis seseorang. “Pernyataan keluar dari baptis adalah urusan individu dengan Tuhan,” tutur juru bicara gereja kepada AFP.

Akumulasi Kekecewaan

Kampanye de-bapstisme memang tengah marak di Inggris. Penyelenggara kegiatan ini menyatakan, bahwa tindakan mereka merupakan respon semakin ketatnya peraturan gereja yang mengungkung umat Kristen Inggris. Saat kunjungan ke Afrika beberapa waktu lalu, penggiat de-bapstisme kian kecewa dengan pernyataan Paus Benediktus XVI yang menganggap alat kontrasepsi kondom sebagai biang menyebar penyakit.

Perilaku politis Gereja Katolik saat ini sedang menemukan momentumnya untuk dipermasalahkan, tutur Sanderson. Di negara-negara mayoritas Katolik itu, ada keinginan untuk memberi pelajaran kepada gereja dengan cara meninggalkan mereka. Terlebih jika terjadi di negara dengan 72 persen penduduk yang menyatakan dirinya Kristen, seperti Inggris. Akumulusai kekecewan terhadap geraja selama ini, dianggap penyebab utama masyarakat Inggris mendukung upaya dan gerakan de-baptism.

Pakar Theologi Paul Murray dari Universitas Durham tidak sependapat dengan kesimpulan tersebut. “Itu bukan pengalaman saya,” tuturnya. Namun ia mengakui, di Inggris kini tengah terjadi arus perubahan terhadap iman orang-orang Kristen. “Kita hidup di suatu masa di mana Katolikisme dan kepercayaan lainnya diperdebatkan publik sejajar dengan para penganut pluralis dan sekularis,” imbuhnya.

Di Spanyol, Mahkamah Agung memenangkan tuntutan status seorang pria dari Valencia bernama Manuel Blat yang menyatakan dirinya telah keluar dari baptis. Di Italia, the Italian Union of Rasionalist and Agnostic (UAAR) memenangkan tuntutan mereka atas hak untuk keluar dari baptis pada tahun 2002. Dalam situsnya mereka juga bersedia membantu orang-orang yang ingin keluar dari baptis dengan menulis di sebuah kolom yang tersedia.

Menurut sekretaris UAAR Raffaelle Carcano, hingga saat ini, formulir yang ditampilkan di situsnya telah diunduh oleh 60.000 pengunjung sepanjang empat tahun terakhir. Ia mengaku, sekurang-kurangnya 2000 orang setiap bulan menulis formulir de-Baptism. Di Argentina, kelompok sekularis mengajak murtad bersama dengan mengusung slogan de-baptisme dengan jargon “Tidak atas Nama Saya”.

Walau mendapat tekanan dari banyak pihak, khususnya kalangan konservatif Kristen, tuntutan legalisasi gerakan de-baptisme terus diperjuangakan. Sanderson meminta kepada negara-negara Eropa lainnya untuk melegalkan aksi tersebut.

Sementara ini, kebanyakan dari kaum murtad Kristen itu memilih untuk tidak beragama, melakukan pencarian spiritual yang lebih relevan dengan kondisi diri mereka saat ini, atau memilih menjadi ateis.

Demokrasi yang menjamin mereka bebas menyatakan pendapat, termasuk mengemukakan keyakinan, mendorong banyak dari mereka untuk membanggakan keyakinan barunya. Khususnya ‘ketidak-beragamaan’, juga ‘ketidak-bertuhanan’ (ateis).

Dan fenomena bangga menjadi ateis pun rebak seperti jamur di musim hujan. Blog-blog maupun situs-situ internet, yang dikelola individu maupun kelompok, yang menyuarakan kebanggaan mereka menjadi ateis ramai bermunculan. Seperti http:atheistnexus.ning.com/, http:atheistnexus.org, dan lain-lain.

Para pembangga ketidak-bertuhanan itu, kebanyakan datang dari kalangan umat Kristen, yang memang cenderung tidak puas dengan doktrin agama maupun sistem pengelolaan agama oleh para agamawan Kristen. Dan tajamnya peningkatan kecenderungan ateisme ini, menjadi bola salju yang kian membesar dan memprihatinkan. Tentu menjadi PR para agamawan di sana untuk mengintrospeksi kinerjanya.

Kebingungan Mental

Menurut para ahli, orang ateis cenderung mengalami mental confusion (kebingungan mental) yang ditunjukkan oleh terjadinya perubahan status mental seseorang untuk tidak lagi dapat berpikir jelas. Sering kali, kebingungan ini mengarah pada hilangnya kemampuan untuk mengenali orang, tempat, waktu dan tanggal. Dalam konteks ateisme, menjadi tidak mengenal Tuhan.

Disorientasi yang umum muncul dalam kebingungan mental adalah melemahnya kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan. Dan kebingungan ini bisa timbul secara tiba-tiba maupun bertahap dari waktu ke waktu. Menurut para ahli, kebingungan mental memiliki beberapa penyebab, seperti akibat cedera fisik, kesalahan medis, faktor lingkungan, dan penyalahgunaan obat.

Dalam kasus rebaknya ateisme di Barat, hal yang paling banyak mempengaruhi adalah faktor lingkungan, yaitu modernitas. Perubahan lingkungan yang kian maju, mendorong perubahan gaya hidup hingga cenderung materialistik, dan menafikan peran Tuhan dalam keseharian.

Mengapa Banyak Ilmuan Menjadi Ateis?

Survei yang dimuat di majalah “Scientific American”, edisi September sepuluh tahun lalu menyebutkan, 90% rakyat Amerika ternyata masih percaya Tuhan. Dan persentase ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara Barat lainnya. Sedangkan yang terendah adalah Perancis dengan 32%. Tapi, di antara para ilmuan Amerika, hanya 10% yang mempercayai adanya Tuhan.

Dalam studi lain yang dimuat di majalah Nature disebutkan, bahwa dari seluruh anggota National Academy of Science atau LIPI-nya Amerika, hanya 7% yang mempercayai adanya Tuhan. Sementara dalam studi lain (Michael Shermer, 1999) disebutkan, semakin elit sebuah sekolah, biasanya akan semakin banyak para profesornya yang ateis.

Analisis umum yang bermunculan menilai, fenomena tingginya tingkat ateisme para ilmuan pintar itu, disebabkan oleh banyak sebab, di antaranya kecemburuan para ilmuan yang secara sosial tidak memiliki pengaruh sebesar kalangan agamawan, padahal secara kemampuan otak mereka lebih pintar. Atau kecenderungan elitisme sosial, karena kalangan ateis cenderung berada di lingkungan kaum-kaum tertentu, seperti kaum ilmuan, maka menjadi ateis merupakan kebanggaan untuk semakin elit.

Peers pressure, atau tekanan sejawat juga mungkin mempengaruhi. Sebab, kebanyakan para ilmuan di Barat memang cenderung ateis, dan membuat ilmuan yang “beriman” akan “malu” menunjukan keimanannya. Ateisme mereka mungkin juga disebabkan oleh secure atau kenyamanan.

Banyak penelitian membuktikan, semakin nyaman seseorang, maka akan semakin jauhlah ia dari Tuhan. Dalam tatanan sosial, masyarakat dengan tingkat ketidakpastian kehidupan yang tinggi, biasanya cenderung semakin religius, dibanding masyarakat yang hidup dalam tingkat ketidak-mapanan sosial.

Hal objektif yang umum diketahui, jabatan profesor di Amerika adalah jabatan paling “aman” di dunia. Karena, gaji mereka sangat besar, dan mereka juga mendapat jaminan kehidupan seumur hidup. Kenyamanan itulah yang mungkin membuat mereka menjadi ateis.

Sementara penelitian lain megindikasikan, semakin pinter seseorang, akan semakin kritislah ia terhadap dogma agama. Yang kemudian cenderung akan semakin meningkatkan keraguannya terhadap Tuhan.

Leave a comment