KH. Ahmad Shonhaji Chalili: Rintis Pesantren Menuai Maslahat

Berkat perjuangan tak kenal lelah, pesantren yang awalnya memiliki 15 santri, kini sudah mampu menampung 1.470 santri. Di kemapanan bisnis yang sukses, KH. Ahmad Shonhaji Chalili tetap menjadikan perjuangan di pesantren sebagai tugas utama.

Perjalanan ke arah Jalan Raya Mauk, Tangerang, Banten, di Minggu siang itu cukup lengang. Padahal di hari kerja, lalulintas ke arah atau dari lokasi tersebut sangat padat. Maklum daerah itu terkenal sebagai wilayah industri nan padat penduduk.

Sangat berbeda kondisinya dua puluh tahun lalu saat KH. Ahmad Shonhaji Chalili menancapkan kaki di tanah itu, yang kondisinya masih agak sepi belum seramai saat ini. Dari jalan raya yang padat itu tak dikira ada sebuah lembaga dakwah megah yang berdiri di balik sisi jalannya. Namanya Pondok Modern Daarul Muttaqien yang didirikan KH Ahmad Shonhaji pada 3 Juli 1989, kini telah mampu menampung ribuan santri penerus perjuangan umat.

Melihat kemegahan pesantren di pojok Kota Tangerang itu, akan sulit menyangka bahwa pengasuhnya dulu seorang pedagang batik keliling yang sukses.

Dengan bekal kuat meluruskan niat, ia mulai perjuangan membangun lembaga itu dengan segala tantangannya. “Saya menimba ilmu ini (meluruskan dan membulatkan niat) seperti diajarkan atau dilakukan para guru, ulama dan kiai yang pernah saya kunjungi,” ujarnya kepada Majalah Qalam beberapa waktu lalu di ruang tamu kediamannya.

Pengalamannya malang melintang mengajar di beberapa pondok pesantren dari Madura hingga Jakarta, menambah bekal dirinya untuk kian mapan mengemban risalah pengabdian umat membina pesantren. Pada kurun 1975-1979, ia mengabdi di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura, yang mendidik dasar kepondokannya. Tahun 1980 ia pernah mengajar di Pesantren Darut Taqwa Cibinong, dan di Pondok Pesantren Darur Rahman, Jakarta pada 1981.

Ayah tiga putra ini mengungkapkan, sebelum mendirikan pesantren, ia berkelana ke berbagai daerah. Hasilnya, ia menemukan banyak pengalaman berharga. Terutama saat menimba ilmu pada KH. Dadung Sanusi, pengasuh Pondok Pesantren Sunanul Huda Sukabumi, KH. Zaini Zainuddin, Pengasuh Pesantren Darut Taqwa Cibinong, dan KH. Syukran Makmun Pengasuh Pondok Pesantren Darur Rahman Jakarta.

Karena sadar dirinya lahir dari keluarga tak mampu, maka sejak muda, kiai yang akrab disapa Kiai Shonhaji ini terinspirasi untuk berbisnis. Suami bagi Hj Halimatus Sa’diyah itu selalu berpikir bagaimana menjadi orang sukses. Dan semasa tinggal di Jakarta, Shonhaji muda tak sungkan berdagang batik Solo. ”Setelah mengajar, saya keliling door to door menawarkan batik,” kenangnya.

Nasib berpihak pada dirinya. Bisnis batiknya meningkat pesat. Dari batik ia beralih ke bisnis intan dan berlian. Kemudian meningkat lagi menjadi pedagang otomotif.

Hingga kini, Shonhaji tetap berbisnis. Ia buka lahan empang ikan bandeng dan mas. Luas empangnya kurang lebih 1,2 hektar di daerah Kramat, atau 15 km dari desa Mauk, tempatnya membina pesantren. “Saya juga gemar berinvestasi sayur-mayur, tempe dan tahu,” ujarnya yakin.

Kendati bisnisnya kian hari kian berkembang, namun ia lebih menekuni dunia pesantren. Bisnis baginya hanya sekadar sampingan. Ia selalu berpesan kepada para santrinya, ”Kalau ingin menjadi orang sukses, pertama harus istiqamah. Sebab dari istiqamah akan lahir kesuksesan.”

Mulai dari Nol

Lembaga yang ia rintis benar-benar dari nol. ”Belum ada murid. Belum ada apa-apa. Bangunan pun tak ada!” kenang alumni pertama (1979) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura itu. Kondisi daerah Mauk sangat sepi, dan belum banyak orang menghuni wilayah itu. Maka sebelum mendirikan bangunan, ia pancangkan dulu papan reklame Pesantren Daarul Muttaqien di pinggir jalan.

”Niatnya, saya ingin mengetahui apakah masyarakat sekitar memerlukan pesantren,” tegas pria kelahiran 24 September 1957, di Prenduan Sumenep Madura itu. Bangunan belum selesai, papan reklame sudah dibaca orang, dan banyak orang datang menanyakan kapan pesantrennya akan dibuka.

Melihat respon tinggi masyarakat disertai basmalah, Shonhaji mulai menerima santri. Jumlahnya baru sekitar 15 orang yang langsung dimukimkan. Sebagian besar santri barunya adalah anak didiknya di Madrasah Nurul Falah, yang terletaknya di depan pesantren.

Kiprahnya sebagai guru yang enerjik di madrasah itu mendorong para orangtua mau mempercayakan anaknya dididik Shonhaji di pesantren Daarul Muttaqien. ”Siswa kelas VI di madrasah itu saya beri kegiatan ekstra-kurikuler, seperti pelajaran tilawatil-qur`an dan muhadharah,” ujar KH Syukari bin H. Rodin ini.

Bersama lima orang guru, termasuk dirinya, Shonhaji istiqamah mengembangkan pesantren yang masih tingkat tsanawiyah itu. Infromasi keberadaan pondok pesantren itu menyebar dari mulut ke mulut, dari desa ke desa hingga seluruh wilayah Tangerang.

Obsesi KH Shonhaji cukup sederhana. Ia ingin pesantren yang ia rintis ini langgeng dan maju. Tapi bukan lantaran pimpinan atau kiainya, melainkan karena kualitas lembaganya. Terutama alumni yang berkiprah di tengah masyarakat.

Hingga kini, Pondok Modern Daarul Muttaqien telah menerima angkatan ke-16 dan sukses meluluskan ribuan santri. Setiap angkatannya terdiri dari 200 alumni, berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Seperti Jambi, Palangkaraya, Sampit, Medan, Sulawesi dan sebagainya.

Para alumni umumnya melanjutkan ke beragam perguruan tinggi di tanah air dan mancanegara. Seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Serang, Universitas Muhammadiyah Jakarta, STAI Fatahillah, hingga program S2 di Universitas al-Azhar Kairo Mesir.

Sambil merendah, Shonhaji merasa pesantrennya maju dan berkembang secara evolutif dan alami, tanpa rekayasa. Sebab ia mensinyalir, tak sedikit lembaga pendidikan, termasuk pesantren, yang maju dan berkembang lantaran ”disuntik” dana dari luar negeri. Atau karena pimpinannya dikenal sebagai tokoh besar. Atau karena didirikan kalangan konglomerat.

Pesantrennya, imbuh Shonhaji, tidak berdiri seperti itu. “Darul Muttaqien maju, berkembang, dan bergerak dengan sendirinya, dibantu beberapa wali santri, termasuk para jamaah yang saya bina,” tandas pengasuh pondok pesantren yang resmi berdiri pada 3 Juli 1989 itu. Luas pesantrennya terus bertambah, dari mulanya 3000 meter kini menjadi 7000 meter, terletak di Jl Raya Mauk, Km 7 Cadas Sepatan Tangerang, Banten.

Leave a comment