Antisipasi Moody Anak

Nurlaila Hanim

Mengapa anak yang biasanya periang tiba-tiba murung? Bagaimana menghadapinya?


Seperti hari-hari sebelumnya, suasana cerah Sabtu pagi pukul 09.30 di Taman Kanak-kanak (TK) Taruna al-Qur`an Minomartani, Sleman, Yogyakarta selalu riuh oleh tawa riang puluhan anak TK asuhan organisasi massa Muhammadiyah itu.

Chacha yang terkenal periang, dan menurut beberapa gurunya terkadang sulit diatur, terlihat murung di sudut kelas. Sandal merah jambu yang biasa dikenakannya berkeliling sekolah di saat kawan-kawan sekelasnya belajar di kelas, pun teronggok berserak di tengah halaman sekolah.

Bu Sri, sang guru pengasuh mendekati hendak menanyai gerangan apa yang membuat bocah perempuan lima tahunan itu murung. Ketika Sri mendekat, Chacha malah menjauh. Terus begitu sikapnya sampai tiba jam pembagian jatah bingkisan makanan ringan yang memang biasa dibagikan di jam yang sama setiap minggunya.

Sontak Chacha bangkit dan berlari-lari kegirangan lekas mengambil boks makanan ringan yang disediakan pihak sekolah. Sadarlah Sri, ternyata Chacha terserang lapar yang tak mampu ia ungkap kepada siapapun di sekolahnya.

Moody alias murung pada anak, seperti yang Chacha alami, tidak terjadi tiba-tiba. Perubahan emosi anak ini ada penyebabnya. ”Faktor ini perlu diketahui orangtua dan harus dicari untuk diselesaikan,” tandas psikolog Rinna Sutiarny.

Biasanya, kecenderungan murung mulai tampak pada anak usia di atas lima tahun. Kurang dari usia itu, anak cenderung masih belum bisa mengendalikan emosi. Di atas lima tahun, kata Rinna, mereka sudah bisa merasakan keinginan yang tak terpenuhi dan sudah mampu mengekspresikan rasa kecewa, ngambek, atau marah.

Menurut psikolog di Biro Psikologi Dwipayana Bandung ini, ada beberapa faktor yang menimbulkan suasana hati anak memburuk. Di antaranya, faktor alamiah. Biasanya terjadi pada anak yang tengah memasuki masa pubertas. Anak perempuan yang sedang menstruasi, misalnya, dapat cepat mengalami perubahan suasana hati, dari senang, sedih, hingga kesal, karena pengaruh perubahan hormonal.

Selain itu faktor fisik, seperti keletihan, kurang sehat badan, membuat mereka malas atau enggan melakukan apa saja. Faktor lingkungan yang tidak disukai anak juga bisa membuat mereka uring-uringan. Begitu pula dengan pola asuh orangtua atau keluarga yang juga bisa menjadi faktor penyebab anak tiba-tiba murung.

Menurut Rinna, yang perlu dicermati orangtua, bukan kondisi atau suasana hati (mood) anak. Tapi, faktor apa yang menyebabkan anak menjadi murung. Dengan begitu, orangtua bisa mengendalikan suasana hati anak agar menjadi senang kembali.

Jika anak tiba-tiba murung, orangtua jangan langsung menegurnya. Jangan paksa anak untuk menceritakan penyebab murungnya. “Anak perlu diberi waktu untuk menenangkan diri hingga ia nyaman,” papar Rinna.

”Kalau anak sedang murung kita tanya-tanya, apalagi jika intonasinya tinggi, anak tentu tak akan mau menjawab,” kata alumnus Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba) ini. Saat anak hatinya gembira, orangtua baru bisa mendekatinya. Namun, hendaknya jangan bertanya langsung ke pokok masalah. Berbasa-basilah dulu secukupnya.

Menurut Rinna, orangtua harus bisa menjadi pendengar yang baik saat anak murung. Jangan pernah mengecilkan masalah anak meski masalah itu sepele menurut orangtua. Orangtua, imbuh Rinna, harus bisa merasakan apa yang dirasakan anak dan mengajaknya berdiskusi mencari penyelesaian.

Jika anak puas dan nyaman dengan orangtua, selanjutnya anak akan berani langsung menyampaikan masalah kepada orangtuanya.

Kepada anak yang sering malas melakukan berbagai aktivitas karena murung, Rinna menyarankan agar anak itu tidak dibiarkan. Sebab jika dibiarkan ia akan menjadi anak temperamental, sulit mengendalikan emosi.

Menurutnya, tak ada kata terlambat untuk memerbaiki. Orangtua harus mau mengubah lebih dulu sikapnya. Sebab, orangtua yang memiliki suasana hati tidak menentu, anak-anaknya pun akan cenderung serupa. Rinna menyarankan orangtua untuk banyak bertemu dengan anak-anak. “Kalau perlu sisipkan humor agar anak tidak tegang,” paparnya.

Sebab dan Solusi

Moody alias suasana hati yang berubah-ubah tergolong wajar dan normal di usia anak. Sifat moody biasanya tergantung pada apa yang dipikirkan serta diharapkan. Moody tidak dikategorikan sebagai gangguan emosi melainkan gangguan perilaku di mana di saat bersamaan anak dapat mengalami kondisi emosi dominan yang berbeda sekaligus, misalnya senang dan marah.

Bila mood anak sedang senang maka akan tergambar dalam sikapnya yang menyenangkan, bersemangat dan bahkan mungkin berlebihan. Bila suasana hatinya sedang tidak enak maka akan tergambar pula dalam sikap dan perilakunya yang tidak menyenangkan atau tidak bersahabat. Moody dialami hampir setiap anak dan biasanya mulai tampak di usia batita.

Menurut Miniwaty Halim, M.Psi., psikolog dari i-cons Integrated Medical Psychologial Services RSAL Mintohardjo, Jakarta, penyebab kecederungan moody anak terjadi karena belum terampil anak mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaannya. Sementara emosi itu sendiri bersifat kompleks.

Juga karena keterbatasan nalar yang membuatnya tak bisa melihat fakta dari berbagai sisi. Contohnya, ketika ibu memarahinya ia hanya tahu ibu memarahinya dan bukan alasannya yang kemudian memegaruhi suasana hatinya.

Atau karena ada kejadian-kejadian yang dirasakan anak mengguncang emosinya, sementara ia sendiri belum bisa memahami kehidupan emosinya. Contohnya, kelahiran adik yang di satu sisi membuatnya senang sementara di sisi lain merasa sedih karena harus berebut perhatian.Selain itu ketika mood senang muncul pada diri anak, mungkin saja gejolak perasaan itu justru mengganggu. Misalnya keriangan karena bisa berlari-larian tak terkendali bisa sebentar kemudian berubah menjadi uring-uringan atau malah mengamuk.

Untuk menggali dan mengantisipasi kecenderungan ini agar menjadi positif, Miniwaty mengingatkan para orangtua untuk mampu melakukan beberapa hal: Pertama, menggali penyebab mengapa mood anaknya turun. Sebab, sikap moody biasanya berpola dan berulang.

Kedua, memperbaiki sikap dengan lebih banyak menjadi pendengar bagi anak, memberikan empati terhadap perasaannya, dan menjelaskan mengapa ia harus melakukan ini dan itu dengan disertai alasan dan konsekuensinya apabila tidak dilaksanakan.

Ketiga, orangtua tidak boleh lelah dan menyerah untuk terus mengenal dan memahami karakter masing-masing anak.

Boks 1

Menenangkan Emosi Anak

Untuk menenangkan anak saat emosinya tak jelas, patut dicoba beberapa taktik berikut ini:

  • Alihkan perhatian. Cobalah mengalihkan perhatian anak pada hal-hal yang sekiranya menarik baginya.
  • Jangan pedulikan. Biarkan saja anak mengumbar emosinya, toh ini tak akan bertahan lama. Namun, diam-diam, perhatikan tingkahnya agar jangan sampai ia menyakiti dirinya sendiri.
  • Pindah tempat. Pindahkan anak dan ajaklah ia menikmati hal-hal lain di ruang berbeda.
  • Tawarkan makanan. Terkadang kekesalan anak disebabkan oleh rasa laparnya. Cobalah menawari anak makanan kecil padat gizi dan menarik untuknya.
  • Ajak beristirahat. Kekesalan anak dapat berawal dari rasa lelah yang amat sangat. Ajaklah anak tidur-tiduran di tempat yang nyaman sambil membacakan buku cerita menarik. Siapa tahu tidak lama setelahnya ia tertidur pulas.
  • Beri pelukan sayang. Peluklah anak sambil mengusap-usap punggungnya. Pelukan membuat seseorang lebih tenang dan nyaman.
  • Berikan time off. Anak biasanya diam-diam menyerap apa yang dirasakan seorang ibu. Jika ibunya dilanda rasa gundah atau kesal, perasaan ini dapat menularinya. Jika Anda merasa telah menulari anak perasaan negatif yang sama, cobalah silam sejenak dari hadapan anak hingga Anda dapat mengendalikan perasaan sendiri.

Boks 2

Tips Berbicara kepada Anak

Ketika orangtua berbicara kepada anak-anak, perhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Gunakan bahasa sederhana, jangan menggunakan bahasa terlalu panjang.
2. Gunakan bahasa yang jelas agar anak tidak salah menafsirkan maksudnya.
3. Melibatkan anak dalam komunikasi. Setelah berbicara atau menginstruksikan sesuatu, mintalah umpan balik dari anak.
4. Mengupayakan sentuhan fisik ketika berbicara dengan anak. Lebih efektif mengajak bicara atau menyuruh sesuatu dari dekat.
5. Menjaga intonasi suara agar anak dapat membedakan cara meminta tolong, marah, sedih, atau bercanda.

Leave a comment