Menghormati Islam

Ahmadie Thaha

Wartawan senior

Raut muka Kamran Pasha berkaca-kaca. Air matanya tak terasa mengalir perlahan. Mendengarkan pidato Presiden Barack Obama yang disiarkan langsung di layar televisi dari ruang parlemen Turki awal April lalu, penulis serial Bionic Woman ini tak kuasa menahan perasaannya yang teraduk-aduk sebagai seorang Amerika maupun sebagai seorang Muslim.

“Air mata saya meleleh karena teringat kenangan yang membanjiri kesadaran saya,” kata Kamran, pembuat film-film Hollywood. Ia teringat saat pergi ke sekolah dasar di Brooklyn, New York, ketika memuncaknya krisis penyanderaan di Iran pada 1980. Terbayang di mata saat ia diolok teman-teman sekelasnya sebagai “gembel”.

Pengalaman itu diikuti pengalaman-pengalaman lain yang tak terhitung banyaknya. Teringat, di hari bencana 11 September 2001, ia terduduk shock di sebuah jalan di Los Angeles, lalu menelepon banyak rekan dan keluarganya di New York untuk memastikan mereka aman di dunia yang penuh kegilaan ini. Ia membayangkan tak lama lagi akan terjadi pengusiran warga Muslim, dan hari-hari Islam di Amerika tinggal menghitung waktu.

Tapi untunglah pengusiran itu tak terjadi. Malahan, rakyat Amerika dalam Pemilu akhir tahun lalu memilih Obama, lelaki berkulit hitam dengan nama tengah Muslim, yang menyatakan di Turki bahwa ia sendiri, sebagai Presiden Amerika Serikat, memiliki keluarga Muslim dan pernah tinggal semasa kanak-kanak di negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Walau tanpa menyebut bahwa negara itu bernama Indonesia.

Hari itu di depan parlemen Turki, Presiden Obama menegaskan dengan suara jelas dan sederhana, “Amerika Serikat tidak -dan tidak akan pernah- berperang dengan Islam.” Ia mengklaim, satu-satunya cara untuk memajukan kemanusiaan adalah melalui kemitraan perdamaian antara Barat dan dunia Islam.

Dengan fasih ia berbicara tentang sejarah hubungan panjang Turki dengan Amerika, bagaimana Sultan Utsmaniyah Abdul Majid mendukung pembangunan Washington Memorial yang berdiri tegak di ibukota AS hingga kini. Obama juga berbicara tentang harapan dan nilai-nilai bersama, tentang umat Islam dan non-muslim yang dapat bekerja sama membangun masa depan yang lebih baik.

Sepertinya kata-kata itu terdengar klise. Banyak presiden lainnya di dunia telah mengucapkan kata-kata serupa. Tapi pengalaman hidup Obama yang unik, telah membuatnya mengerti betul perasaan yang dialami umat Islam saat ini, sebagaimana terefleksi dalam pidatonya yang berbobot itu.

Dari sekian ribu kata dalam pidato Obama, Kamran Pasha mengingat satu kata yang diulangi berkali-kali, “Respect,” penghormatan, rasa hormat. Inilah kata-kata yang jarang didengar kaum Muslim dari mulut para pemimpin Amerika selama ini.

Hormat Menghormati

Jajak pendapat Gallup tentang dunia Islam menunjukkan, bahwa kekecewaan terbesar dunia muslim terhadap Amerika adalah kurangnya rasa hormat Barat terhadap Islam. Bahkan, ketika orang Amerika ditanya apa yang mereka hormati terhadap Islam, sebagian besar tidak tahu, atau sekedar berkata “tidak ada.” (Who Speaks for Islam, karya John L. Esposito dan Dalia Mogahed)

Hormat dan menghormati adalah keinginan naluriah yang melekat pada diri manusia. Ia merupakan kebutuhan asasi setiap manusia. Tak ada manusia yang akan merasa senang ketika orang lain merendahkan, menghina, atau menyepelekannya.

Sebaliknya, seseorang pasti akan berusaha sekuat tenaga agar orang lain menghormati dan menghargainya. Malah tak sedikit orang yang rela mati demi membela harga diri dan kehormatan dirinya. Dari situ, kita bisa mengerti, mengapa tak sedikit orang Islam begitu membenci Barat, terutama Amerika.

Di sini lain, kita bisa mengerti mengapa Barat tidak menaruh respect terhadap Islam. Karena agama ini dipandang Barat sebagai pihak “lain” yang berbahaya sedari awal, sejak keimanan baru itu berkembang pesat dari gurun Arab Saudi kemudian menaklukkan Kekaisaran Romawi, menguasai Yerusalem dan jantung pusat dunia Kristen.

Kamran Pasha mencoba menggambarkan momen bersejarah yang menggemparkan dunia itu dalam novelnya terbaru Mother of the Believers (Ibunda Kaum Beriman), yang terbit April 2009 (Atria Book). Dalam novel sejarah itu ia berkisah tentang kelahiran Islam, dilihat dari sudut pandang Siti ‘Aisyah, istri tersayang Nabi Muhammad SAW. Ia juga ungkap bagaimana konflik dalam politik abad ketujuh mewarnai peradaban kita hari ini.

Bangsa Amerika telah mewarisi ketakutan Barat terhadap Islam yang merujuk pada Peperangan Salib. Memang, Turki di mana Obama berbicara pernah menjadi pusat Kekaisaran Utsmaniyah yang berupaya menaklukkan Wina pada 1683, hingga bangsa Eropa mendirikan koloni-koloni yang pada suatu hari kelak menjadi Amerika.

Peristiwa serangan 11 September 2001 ke menara kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon, memperburuk persepsi Barat terhadap Islam. Usai serangan itu, berbagai tudingan dilontarkan kepada Islam dan umatnya. Banyak serangan yang terjadi terhadap kaum muslim Amerika setelah kejadian itu, walau terbatas pada kelompok minoritas kecil.

Balasan Amerika atas serangan itu sungguh merefleksikan ketakutan Barat terhadap Islam. Dengan bendera war on terrorism, perang demi memberangus terorisme, dengan kekuatan penuh negara adaidaya itu melancarkan aksi brutal di Irak, Afghanistan, membantu Israel atas perangnya melawan Palestina, serta kejadian-kejadian serupa di banyak negara.

Namun, sikap agresi Amerika malah membuka mata banyak warganya yang bersih hati. Sebelum 9/11, mereka acuh tak acuh terhadap agama. Sebelum peristiwa itu, Islam juga tak terlalu menjadi sorotan. Mayoritas masyarakat tak tahu apa atau belum pernah mendengar kata Islam. Media-media massa tak terlalu banyak menyebut Islam, kecuali jika ada hal-hal sensitif terjadi di belahan dunia lain.

Setelah 9/11, semua berubah. Keinginan untuk tahu tentang Islam menjadi sangat menonjol. Bahkan, buku-buku rujukan Islam menjadi jualan paling laris di seantero Amerika Utara. Berbagai kalangan pun berminat untuk mendengarkan secara langsung apa itu Islam dari gereja-gereja, sinagog, atau perkantoran-perkantoran swasta, bahkan pemerintahan.

Di sini terlihat, ketika peradaban saling berbenturan selama berabad-abad, sudah pasti orang-orang yang berada di kedua sisi akan saling melihat melalui lensa piuh. Banyak orang Kristen melihat Islam tak lebih dari satu agama agresi dan fanatisme. Di sisi lain tak sedikit orang Islam melihat Barat modern sebagai pewaris kebrutalan Perang Salib dan Inkuisisi yang picik.

Tapi Obama mengingatkan kedua peradaban untuk tak harus berpaku pada masa lalu. Kita dapat melihat ke dalam hati masing-masing hari ini, melihat kemanusiaan yang berbagi, dan kita bisa maju. Inilah cara Barat. Inilah cara Kristen. Dan inilah cara Muslim. Apabila kita bisa menerima semua kebenaran bersama (common truth), sebuah dunia baru yang lebih beradab mungkin saja dapat kita realisasikan.

Mayoritas Tak Mengerti Islam

Walau dalam beberapa tahun terakhir kesadaran orang Amerika terhadap Islam meningkat, tapi pandangan mereka terhadap Islam belum berkembang. Sekitar 48 persen mengatakan mereka memiliki pandangan tak memadai tentang Islam, tertinggi dalam jajak pendapat sejak akhir 2001.

Jajak pendapat yang dilakukan Washington Post-ABC News baru-baru ini juga menunjukkan, 55 persen dari responden mengatakan tak memiliki pemahaman dasar tentang ajaran dan kepercayaan Islam. Dan sebagian besar mengatakan mereka tak tahu seseorang yang Muslim.

Jajak pendapat Post-ABC tersebut dilakukan melalui telepon pada 26-29 Maret dengan sampel seribu orang dewasa yang dipilih secara acak di tingkat nasional. Hasil survei diperkirakan memiliki margin error kurang-lebih tiga persen poin.

Secara keseluruhan, hampir dua pertiga responden mengatakan Obama akan menangani misi diplomatiknya “cukup bagus.” Namun hampir seperempat mengatakan Obama mungkin akan “bertindak terlalu jauh.” Sembilan persen menyatakan lebih mungkin Obama tak akan terlalu jauh.

Sebagian besar orang Amerika berpikir bahwa janji Presiden Obama untuk “mencari cara baru ke depan” dengan dunia Islam merupakan goal penting. Bahkan sama jumlahnya dengan yang mengatakan penganut agama arus utama mendorong kekerasan terhadap non-muslim.

Hampir tiga di 10, atau 29 persen, mengatakan mereka melihat arus utama Islam mendorong kekerasan terhadap non-muslim. Namun lebih banyak, 58 persen, mengatakan Islam adalah agama damai.

Kalangan Republik menjadi yang lebih keras dari pihak lain karena memiliki sikap negatif terhadap Islam, dengan enam dari 10 yang memiliki pandangan tak baik. Sisanya, sekitar empat dari 10 bagi kalangan Demokrat dan independen.

Persepsi Islam sebagai agama damai, menjadi pandangan tertinggi di kalangan warga Amerika yang tidak-religius, sekitar dua pertiga berpandangan demikian. Di kalangan Katolik, 60 persen melihat Islam sebagai arus utama agama damai. 55 persen penganut Protestan juga berpandangan demikian, namun hanya diakui oleh 48 persen kalangan Evangelis putih Protestan.

Terjadi perbedaan besar dalam persepsi tentang Islam di kalangan muda dan tua Amerika. Lebih dari enam dari sepuluh 10 pemuda (65 orang), mengatakan Islam sebagai agama damai. Namun pendapat demikian jumlahnya turun 39 persen di kalangan senior.

Leave a comment