Pendidikan Menyongsong Gempa

Ahmad Taufiq

Sebagai pemukim di kawasan paling rawan gempa, masyarakat Indonesia harus siap secara fisik dan mental menghadapi bahaya gempa. Butuh pendidikan terpadu tentang kegempaan, agar trauma dan dampak psikologis gempa seperti paranoia teratasi.

Gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter, dengan pusat gempa berada di 57 kilometer barat daya Padang Pariaman, mengguncang sebagian wilayah Sumatera Barat, Rabu (30/9). Dilanjutkan gempa bumi berkekuatan 7,0 skala Richter, berpusat di 46 kilometer tenggara kota Sungai Penuh, mengguncang Jambi dan Bengkulu, Kamis (1/10). Korban jiwa dan luka-luka pun berjatuhan. Berbagai infrastruktur dan fasilitas publik mengalami kerusakan.

Gempa Sumatera ini seolah melengkapi episode gempa bumi di Indonesia. Berdasarkan data, gempa Sumatera adalah gempa bumi kesembilan dan kesepuluh yang menggoyang negeri ini sepanjang lima tahun terakhir. Dua gempa bumi hebat sebelum terjadi di Yogyakarta, Mei 2006, dan Pangandaran, Juli 2006.

Sebagai salah satu kawasan yang sangat rawan gempa bumi, dan disebut-sebut sebagai yang memiliki titik gempa bumi paling banyak di dunia, masyarakat Indonesia seharusnya telah memiliki kesiapan, baik psikis maupun fisik, menghadapi setiap kemungkinan terjadinya gempa bumi.

Namun faktanya, dibandingkan dengan penduduk sejumlah negeri lain yang juga berada di kawasan rawan gempa bumi, seperti Jepang, Rumania, dan Selandia Baru, kebanyakan penduduk kita sejauh ini tampaknya masih kurang siap menghadapi kemungkinan terjadinya gempa bumi.

Sejumlah kalangan menilai, salah satu penyebab kekurangsiapan ini adalah masih minimnya pendidikan kesiap-siagaan menghadapi bencana alam yang diperuntukkan untuk anak-anak sekolah maupun umum. Akibatnya, masyarakat tak banyak mengetahui cara bertindak secara rasional dan tepat saat bencana alam terjadi.

Padahal, memiliki pengetahuan yang mumpuni ihwal kesiapsiagaan menghadapi bencana alam sangat penting untuk mengurangi risiko yang lebih buruk ketika terjadi bencana alam.

Khusus menyangkut pendidikan di sekolah, Ketua Umum Himpunan Pengembangan Kurikulum Indonesia S. Hamid Hasan menyatakan, kurikulum pendidikan di Indonesia masih minim orientasi kepada kehidupan. Melihat fakta tingkat kerawanan gempa bumi di negeri ini, sudah selayaknya pendidikan tentang gempa menjadi salah satu pelajaran yang perlu lebih banyak diajarkan di sekolah-sekolah kita, sebagai bagian dari kesiapsiagaan menghadapi bencana alam.

Sebagai sebuah mata pelajaran yang berorientasi pada kehidupan nyata, pendidikan gempa bumi ini idealnya bisa diajarkan dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah. Namun tidak harus membuat mata pelajaran baru bagi pendidikan ini. Pendidikan gempa bumi dapat diberikan melalui mata pelajaran yang sudah ada, seperti Geografi.

Umum berlaku di negara-negara lain, pendidikan gempa bumi diintegrasikan dengan pelajaran lain. Di Jepang, pelajaran ini diajarkan dalam pelajaran Geosains (Chigaku). Di Selandia Baru diajarkan dalam pelajaran Geografi.

Menyusul gempa bumi dahsyat yang terjadi di kawasan Vrancea tahun 1990, pemerintah Rumania segera berinisiatif meluncurkan program nasional pendidikan gempa bumi bagi publik secara berkala dan berkesinambungan. Untuk menunjang program ini, pemerintah Rumania menerbitkan buku panduan (manual) praktis gempa bumi untuk orangtua, anak-anak, guru, staf sekolah, tenaga medis, dan berbagai kategori profesi lainnya, serta masyarakat luas yang bermukim di daerah-daerah rawan gempa bumi.

Dalam sebuah wawancara dengan salah satu radio nasional (5/9), Direktur Pendidikan Anak Usia Dini Departemen Pendidikan Nasional Sujarwo menegaskan, persoalan-persoalan gempa bumi sangat penting untuk diinformasikan baik melalui jalur formal maun non formal kepada peserta didik.

Untuk anak usia dini mislahnya, pengenalan terhadap permasalahan terkait gempa dapat dilakukan dengan taraf sederhana dan divisualkan secara nyata. Seperti rumah roboh, tanah longsor, hingga datangnya tsunami, sehingga mereka dapat dengan mudah menangkap apa itu gempa dan akibatnya terhadap kehidupan baik manusia, alam dan binatang.

Meskipun pelajaran mengenai kegempaan selama ini sudah dimasukkan ke dalam mata pelajaran Geografi, namun menurut Sujarwo, taraf pendalamannya agak kurang. Apalagi mengenai praktik menghadapi bencana gempa. Di negara-negara yang berpotensi gempa seperti Jepang, imbuh Sujarwo, latihan evakuasi bencana gempa sudah diajarkan secara praktik kepada anak didik di bangku sekolah sejak dini hingga perguruan tinggi. “Ini perlu juga dilakukan di Indonesia,” tandasnya.

Pulihkan Mental Korban

Dahsyatnya trauma yang diakibatkan bencana gempa bumi menuntut perlu dilakukannya pemulihan psikologi bagi para korban sesegera mungkin. Mereka tak hanya membutuhkan perbaikan fisik bangunan rumah maupun infrastruktur lain yang porakporanda. “Tapi juga butuh pemulihan traumatik,” ujar Pakar sosiologi dari Universitas Garut (Uniga) Prof. Dr. Ieke Sartika Iriani menanggapi akibat dari dahsyatnya terjang gempa tektonik Tasikmalaya berkekuatan 7,3 Skala Richter, Rabu (2/9).

Menurutnya, pendampingan terhadap para korban itu hendaknya dilakukan terus-menerus, dan jangan “tabrak lari” (hanya sekejap) kemudian dibiarkan. Keberlanjutan bisa melibatkan masyarakat, unsur Pemda dan kalangan perguruan tinggi, termasuk lintas sektor teknis terkait, seperti BKKBN.

Sedangkan implementasinya, dapat dilakukan berdasarkan pendelegasian tugas pokok dan fungsi, guna mendiagnosis kelompok anak-anak, pelajar, dewasa serta kalangan lanjut usia (lansia) secara berkesinambungan.

Hasil pemulihan tersebut, imbuh tegas Ieke, tak bisa ditentukan berdasar dimensi waktu saja, namun sejauh mana intensitas dan kualitas pendampingannya.

Pengalaman dari Garut menunjukkan, sekurangnya terdapat 53 pengungsi korban gempa yang mengalami gangguan jiwa, lima di antaranya berkondisi parah. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Gabupaten Garut dr H. Hendy Budiman, M.Kes, mereka antara lain kerap terlihat gelisah dan cemas, akibat dihantui berbagai ketakutan yang berlebihan (paranoid). Mereka sering uring-uringan dengan makna pembicaraan yang tak jelas. Bahkan ada yang terus-menerus melamun atau diam membisu, hingga sangat sulit diajak berkomunikasi.

Akibat trauma setelah rumahnya hancur diterjang gempa, guncangan jiwa yang para pelajar sulit lekas pulih sepenuhnya. Untuk beberapa waktu, bahkan ada pelajar yang sempat mogok sekolah. Untuk itu hingga kini mereka masih mendapat pendampingan psikolog dari UNICEF.

Boks

Mental Paranoid

Trauma berlebihan yang dialami para korban gempa paling rentan membuat mereka mengidap penyakit paranoia atau bermental paranoid.

Paranoia merupakan penyakit mental di mana seseorang meyakini bahwa orang lain atau sesuatu akan membahayakan dirinya. Paranoia juga didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan kecurigaan yang tidak rasional/logis (Kamus Webster).

Penderita skizofrenia paranoid, umumnya ditandai simptom/ indikasi berikut ini:

1. Delusi atau waham, berupa keyakinan palsu yang dipertahankan. Waham memiliki beberapa jenis: Waham Kejar (delusion of persecution), yaitu keyakinan bahwa orang atau sesuatu sedang mengancam membahayakan diri penderita. Waham ini menjadikan penderita selalu curiga terhadap segala hal, dan akan berada dalam ketakutan karena merasa diperhatikan, diikuti, atau diawasi.

Jenis lainnya, Waham Kebesaran (delusion of grandeur). Yaitu keyakinan bahwa diri si penderita memiliki suatu kelebihan dan kekuatan, atau merasa menjadi orang penting.

Terakhir, Waham Pengaruh (delusion of influence). Adalah keyakinan bahwa kekuatan dari luar sedang mencoba mengendalikan pikiran dan tindakan si penderita.

2. Halusinasi. Yaitu persepsi palsu, atau menganggap suatu hal ada dan nyata, padahal sesungguhnya hanya khayalan.

3. Kelainan gejala motorik. Dapat dilihat dari ekpresi wajah yang aneh dan khas, diikuti gerakan tangan, jari, lengan dan cara berjalan yang aneh.

4. Gangguan emosi.

5. Penarikan sosial (social withdrawl). Pada umumnya penderita paranoia tidak menyukai orang lain, dan menganggap orang lain tidak menyukai dirinya, sehingga ia hanya memiliki sedikit teman.

Leave a comment