Kaum Muallaf, Pendakwah yang Efektif

Sofyan Badrie

Kian menyebarnya Islam ke penjuru dunia, salah satu faktornya adalah peran kaum muallaf yang gencar menyosialisasikan keyakinan barunya di lingkaran hidup mereka. Dakwah pragmatis mereka, sangat efektif menggaet para muallaf baru. Mereka adalah aset dakwah Islam.

Sejak duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1950-an, di desa Tanjung Belang, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Tama Sembiring kecil memang sudah sangat berminat dan menyenangi pelajaran sejarah. Nilai-nilai pelajaran itu pun selalu ia raih dengan bagus, antara delapan dan sembilan.

Dan dari pelajaran dan kajian sejarah itulah hatinya terketuk hidayah Islam. Ia mendapati bagaimana bagusnya Islam dalam ukiran sejarah penyebarannya yang penuh kedamaian, dan dijalankan penganutnya dengan penuh simpati.

Sejak lama, ia sering mengamati perilaku, tindak-tanduk, dan perangai beberapa gelintir orang Muslim di kampungnya. “Kok beda sekali dengan perangai kalangan orang non-Muslim,” cetus pria kelahiran 1938 ini.

Lahir dari keluarga petani yang belum beragama, atau penganut tradisi lokal Batak, Pelbegu, membuat Tama sering bimbang. Saat duduk di sekolah dasar, ada peraturan pemisahan tempat duduk berdasarkan agama.

Karena dianggap belum beragama, Tama harus duduk di barisan bangku murid yang tidak beragama. Ia gamang, “Saya termasuk bagian mana? Jika orang lain jelas agamanya, lalu saya bagaimana?”

Setelah merefleksikan diri dan melakukan kontemplasi, anak bungsu dari enam bersaudara ini bermusyawarah dengan beberapa kawan senasibnya yang sama-sama merasa tersisihkan. Hingga kemudian bersama enam kawannya, Tama bersepakat hendak menganut Islam pada tahun 1955. Remaja 15 tahun itupun diberi nama Islam, Muhammad Taher Tama Sembiring.

Setelah memeluk Islam, Tama sangat giat berdakwah. Walau menyadari masih dangkalnya ilmu keislaman yang dimiliki, tapi tak lekas surut ghîrah (semangat) jihadnya kepada Islam. “Banyak teman yang saya Islamkan. Barangkali lebih dari seratus hingga 200 orang,” papar pendiri Universitas Tama, Jagakarsa, Jakarta Selatan itu.

***

Ibarat jalan, hidayah adalah petunjuk dan rambu-rambu yang memandu kita untuk sampai tujuan. Agar petunjuk dan rambu-rambu berfungsi, orang yang hendak sampai ke tujuan harus mempersiapkan diri untuk mematuhi petunjuk dan rambu-rambu yang ada. Tanpa ketaatan dan kepatuhan, maka petunjuk dan rambu-rambu tak ada manfaatnya.

Orang yang mendapatkan hidayah Islam atau disebut muallaf, juga bisa dianalogikan dengan orang yang menemukan sinyal dan akses untuk berkomunikasi. Dengan sinyal itu, ia dapat berkomunikasi dengan Allah, memohon kepada-Nya agar memandu dirinya selama dalam perjalanan. Dan sinyal masing-masing orang berbeda kekuatannya, berdasarkan jauh-dekatnya ia dari sumber pemancar.

Agar sinyal yang dikirim dari pemancar dapat kita tangkap, maka pekerjaan pertama adalah menyiapkan pesawat yang dapat menangkap sinyal. Tanpanya, maka sinyal tidak mungkin menghampiri kita.

Buya Hamka pernah melukiskan, hidayah itu ibarat pesawat terbang. Kalau landasannya sederhana, bisa jadi yang mendaratnya akan seperti helikopter. Jika landasannya agak bagus, kira-kira pesawat sejenis capung yang akan mendarat. Kalau makin baik lagi landasannya, minimal sekelas pesawat Twin Otter akan mendarat. Semakin mantap dan khas landasannya, maka bisa jadi pesawat cassa atau jumbo jetlah yang bakal mendarat.

Sementara Prof. Dr. M. Quraish Shihab, pakar ilmu tafsir di Indonesia, bahkan satu-satunya mufassir di Asia Tenggara, menilai seringkali cahaya petunjuk (hidayah) itu datang secara tiba-tiba. Tanpa disertai analisis, bahkan kadang tak terpikirkan sebelumnya.

Kedatangannya bagaikan kilat, baik dalam sinar maupun kecepatannya. Sehingga manusia tak dapat menolak kehadirannya, namun tak juga dapat mengundangnya. Potensi untuk meraih cahaya petunjuk Allah itu ada di dalam diri setiap insan, walaupun peringkat kekuatannya berbeda-beda.

Ada yang sedemikian kuat, sehingga tak ubahnya seperti informasi yang didapat oleh indera. Si penerima akan begitu yakin. Tapi ada juga yang begitu lemah, hingga tak dapat dirasakan oleh di penerima, atau bahkan tak jarang tidak diaku kehadirannya.

Dalam surah an-Nûr [24] ayat 35, al-Qur`an melukisan cahaya ilahi yang menerangi langit, bumi dan isinya itu, bagaikan pelita yang diletakkan dalam lubang satu tembok yang tak tembus. Angin pun tak dapat menerpa untuk memadamkannya.

Pelita itu berkaca, bening kacanya bagai mutiara. Minyak yang menyalakan apinya adalah minyak zaitun yang istimewa. Yang pohonnya tumbuh di puncak bukit, sehingga tak pernah luput dari cahaya matahari, baik ketika terbit maupun saat dalam perjalanan terbenam. Minyaknya selalu hampir menyala, walau tak disentuh api. Nûr ’alâ nûr. Cahaya di atas cahaya.

Ciri Hidayah

Semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci tanpa dosa. Tetapi perjalanan hidup, kadangkala membelokkan kita dari jalan-Nya yang hakiki. Ada orang yang sudah tertutup jalan hidayahnya sejak lahir karena dilahirkan oleh orangtua yang tidak beriman.

Namun ada pula yang kehilangan sinyal hidayah di masa muda, karena lingkungan pergaulan telah menyeretnya ke lokasi yang jauh dari pemancar itu. Bahkan ada yang kehilangan hidayah di usia senja, karena godaan yang terlampau menggiurkan dirinya.

Dari sekian banyak yang tersesat jalan, di antara mereka ada orang-orang yang beruntung, karena berhasil menemukan kembali jalan kehidupan yang sebenarnya. Cara mereka mendapatkannya kembali bermacam-macam.

Ada yang menemukannya saat terkulai lemah di rumah sakit, atau kedamaian hati saat mendengar lantunan adzan maupun alunan ayat al-Qur`an. Ada pula berkat doa anaknya yang shalih, karena penelitian yang dilakukannya selaras dengan prinsip al-Qur`an, atau menemukannya lantaran kerap berziarah ke tempat-tempat ibadah.

Orang yang dikarunia hidayah itu, hatinya akan dipenuhi oleh cahaya. Dengan modal itu, mereka akan merasakan kelapangan dan keluasan dada untuk menerima dan melaksanakan ajaran Islam. Hati orang yang disinari cahaya hidayah, sama seperti rumah yang disinari oleh cahaya matahari atau listrik.

Sementara hidup tanpa cahaya hidayah, akan seperti hidup dalam gelap gulita yang menyesakkan, dan menggelisahkan. Ibarat rumah yang tidak berlistrik di malam hari yang kelam. Allah berfirman, ”Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.” (al-An’am [6]: 125)

Dalam sebuah riwayat disebutkan: Para sahabat Rasulullah SAW pernah bertanya, ”Apakah ada tanda-tanda untuk mengenal hidayah?” Rasulullah menjawab, ”Ya. Ciri-cirinya adalah kecenderungan untuk banyak memikirkan rumah abadi (akhirat), membuat jarak dengan rumah semu (dunia), dan selalu mempersiapkan diri menghadapi kematian.”

Aset Dakwah

Kata ”muallaf” yang mungkin begitu populer di telinga kita, sesungguhnya hanya disebut al-Qur`an hanya dalam satu ayat. Yaitu surah at-Taubah [9] ayat 60, “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, dan para muallaf yang dibujuk hatinya…”

Meski hanya dibicarakan dalam satu ayat, tapi terlihat gamblangnya Allah menempatkan konteks muallaf dalam tubuh umat Islam. Yaitu, statusnya yang harus ditempatkan dalam konteks sosiologis dan hubungan kemasyarakatan dengan baik. Saat mengamati, berkomunikasi dan bergaul dengan mereka, sudah seharusnya kita mengetahui psikologi para muallaf.

Secara sosiologis, dalam konsepsi Islam, mereka adalah sahabat-sahabat dan saudara-saudara kaum muslim. Sebagai muslim baru, mereka sangat membutuhkan teman, saudara seagama, sebagai tempat berlindung, pendukung, dan pembimbing. Setidaknya dari kecaman keluarga dan komunitas asal mereka.

Karena, dalam perpsektif sosiologis dan psikologis, perpindahan agama dan iman, bukanlah perkara sederhana. Beban psikologis dan sosiologis sangat berat menghadang mereka. Karena itulah kini telah muncul banyak ormas-ormas pembina muallaf seperti AMMA (Asosiasi Muslim Muhajirin dan Ansor), Karim Oey, Yayasan Rahmania (khusus muallaf warga asing), Jakarta International Moslem Society, dan lain-lain.

Di samping menjadi komunitas untuk pembinaan dan pemberdayaan, lembaga-lembaga seperti itu juga efektif menjaga dan meningkatkan wawasan keislaman kaum yang memang butuh perhatian itu.

Dalam aspek dakwah dan pengembangan syiar Islam, para muallaf sangat efektif menjadi penebar Islam ke berbagai lapisan, yang awalnya tidak tersentuh dakwah para dai muslim. Seperti diberitakan banyak media, Steve Poccaro, sahabat yang juga composer lagu-lagu Michael Jackson, bersama David Wharnsby dan Phillip Bubal, penulis dan sutradara dari trailer-trailer yang muallaf, mampu membimbing King of Pop Jacko menjadi muslim.

Kegigihan Cat Steven (Yusuf Islam) yang produktif mencipta lagu-lagu nasyid penuh pujian akan tauhid Allah, juga efektif mendakwahkan Islam di negaranya.

Di Indonesia jejak para muallaf tersebut bisa kita temukan antara lain pada diri Chrisye, WS Rendra, Dian Sastrowardoyo, Paquita Widjaya, atau Cindy Claudia Harahap, untuk kalangan budayawan, artis dan selebriti.

Untuk kalangan etnis Thionghoa antara lain ada Lie Kiat Teng (mantan menteri era Soekarno), Bob Hasan (mantan menteri rezim Soeharto), Karim Oey (pendiri PT Bintang Toejoeh), HM Syarif S Tanudjaja (Pengurus PITI), Verawaty Fajrin (atlet nasional bulutangkis), Handy Sucitra (Sekretrais Jenderal Asosiasi Perusahaan Depo dan Pergudangan Indonesia), Surya Madya atau Lie Sie Tiong (Yayasan Amma), Ario Wowor (Pengusaha) Nio Cwan Chung alias Dr Muhammad Syafii Antonio MSc, pakar bank syariah, dan lain-lain. Dakwah pragmatis mereka sebagai muallaf, sangat efektif menggaet para muallaf baru.

Leave a comment