Studi "Conditioning"

Hasan Basrie Alcaff

Dosen STMIK Raharja dan STIBA Lepisi Tangerang, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhamadiyah Jakarta

Berbicara tentang teori belajar, tak akan lepas dari sudut pandang psikologi belajar. Terlebih, dengan pesatnya perkembangan psikologi dewasa ini yang melahirkan aneka teori tentang belajar. Hasilnya, pesat sekali bermunculan beberapa aliran psikologi pendidikan, semisal psikologi behavioristik, kognitif, hingga humanistik. Seorang ahli psikologi refleksologi terkenal dari Rusia, bernama Ivan Pavlov, dapat kita jadikan contoh kajian.

Dalam percobaannya ia gunakan seekor anjing, yang moncongnya dibedah hingga kelenjar ludahnya berada di luar pipi. Anjing itu lalu ia masukkan ke dalam sebuah kamar gelap, dengan memberi sebuah lubang tempat menyodorkan makanan atau menyemprotkan cahaya di depan moncongnya. Pada moncong yang dibedah, ia pasangkan selang yang dihubungkan dengan tabung di luar kamar, untuk mengetahui keluar atau tidaknya air liur saat percobaan berlangsung.

Hasilnya, dari moncong anjing itu keluarlah air liur, yang merupakan reaksi terhadap warna sinar atau bunyi tertentu. Dari sana ia menyimpulkan, bahwa gerakan refleks dapat dipelajari dan dapat berubah karena mendapat latihan. Dan dari percobaannya itu, Ivan dapat membedakan dua macam refleks; refleks bersyarat dan refleks yang dipelajari.

John B. Watson, menjadi orang Amerika Serikat pertama yang mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian Ivan Pavlov. Watson berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadi refleks atau respons bersyarat melalui stimulus pengganti. Karena, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi emosional, berupa takut, cinta, dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan stimulus respons baru melalui conditioning.

Saat Watson menggunakan seekor tikus dan kelinci dalam percobaannya, ia dapati bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah atau dilatih. Anak-anak yang mulanya tidak takut kepada kelinci, dapat dibuat menjadi takut kepada kelinci. Anak itu juga dapat dilatih hingga menjadi tak takut lagi kepada kelinci.

Menurut teori conditioning, belajar merupakan suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (condition) yang kemudian menimbulkan reaksi. Syarat-syarat tersebut di antaranya adalah latihan yang berkelanjutan (kontinu). Dalam teori ini ditekankan pula, bahwa segala tingkah laku manusia pun merupakan hasil conditioning. Atau hasil latihan maupun kebiasaan bereaksi terhadap syarat atau perangsang tertentu yang dialami dalam kehidupan.

Sayangnya, teori ini masih menyimpan kelemahan. Yaitu tesis bahwa yang dimaksud belajar hanya belajar yang terjadi secara otomatis dalam aktivitas tertentu saja. Seperti belajar sebuah keterampilan, atau pembiasaan anak-anak terhadap sebuah keterampilan.

Untuk melengkapi kelemahan ini, tak salah kiranya kita lengkapi dengan pemahaman teori Conditioning Guthrie sebagai pendamping teori-teori lainnya. Teori Guthrie pada dasarnya memperluas penemuan Watson yang selanjutnya menemukan cara atau metode untuk mengubah kebiasaan yang kurang baik dalam belajar.

Menurut Guthrie, untuk menggunakan kebiasaan yang tidak baik, harus dilihat dalam rentetan unit-unit tingkah laku pelajar. Kebiasaan buruk itu kemudian harus diupayakan untuk dihilangkan, dan menggantinya dengan yang lain, atau yang seharusnya.

Selain metode di atas, dalam usaha mengubah tingkah laku atau kebiasaan pada manusia maupun hewan, masih banyak beberapa metode lain yang perlu kita pahami lebih lanjut. Di antaranya Metode Reaksi Berlawanan (Incompatible Response Method), Metode Membosankan (Exhaustive Method), dan Metode Mengubah Lingkungan (Change of Environment Method). Selamat mengkaji!

Leave a comment