Fokus Utama: Kenakalan dan Anarkisme Remaja

Abd. Qadir Jailani & Moh. Hasbi Maulana

Semenjak era reformasi disusul demokrasi yang mewarisi bangsa kita Indonesia, berbagai kemelut dan polemik yang terjadi juga semakin menjadi-jadi dan terbuka bebas. Misalnya, banyak aktifitas-aktifitas sia-sia yang dilakukan oleh berbagai kalangan yang mereka berdalih atas nama demokrasi yang dibarengi dengan aspirasi-aspirasi yang dilontarkan, akan tetapi  hal itu justru lebih menimbulkan kemudharatan dan pergolakan.

Hal ini sebenarnya menjadi persoalan yang ikut merangsang para remaja hidup dalam gaya glamour, hedonis, dan ujung-ujungnya anarkis atau nakal. Dari sinilah  timbulnya pertama kali tindakan anarkisme remaja, khususnya terhadap miras yang dikonsumsi.

Awalnya, para remaja ingin mencoba-coba miras/bir dan semacamnya atau hanya sekedar buat penghilang stress dari pergaulan problematis yang sedang dialami. Padahal,  justru sejatinya miras/bir itu mendatangkan bahaya yang mengancam perkembangan psikologi/mental mereka dikarenakan miras/bir dan semacamnya memang terbuat dari alkohol yang dalam konsep Islam diharamkan untuk dikonsumsi. Dan lebih sayang lagi, pada akhirnya mereka ketagihan.

Maka, karena sangat rentannya para remaja tergiur oleh hal-hal yang hedonis, glamour, dan anarkis, kalau boleh dibilang, kita tidak memerlukan bom untuk menghancurkan negeri ini, cukup para remaja/pemuda saja yang menjadi alatnya. Karena pemuda merupakan tonggak estafeta bangsa, jika  pemudanya rusak maka sebuah negara akan rusak. Itulah nilai filosufis dari pada pepatah yang berbunyi, “pemuda harapan hari esok.”

Kenakalan Remaja

Masalah kenakalan remaja mulai mendapat perhatian yang khusus sejak dibentuknya suatu peradilan untuk anak-anak nakal atau juvenile court pada tahun 1899 di Cook County, Illinois, Amerika Serikat. Pada waktu itu, peradilan tersebut berfungsi sebagai pengganti orang tua si anak yang memutuskan perkara untuk kepentingan si anak dan masyarakat. Dalam pandangan umum, kenakalan anak di bawah umur 13 tahun masih dianggap wajar. Sedangkan kenakalan anak di atas usia 18 tahun dianggap merupakan salah satu bentuk kejahatan.

Kenakalan remaja yang terjadi belakangan ini yang banyak dimotori oleh para pelajar, bukan dikarenakan mereka tidak tahu akibat-akibat negatif yang ditimbulkan, melainkan karena dorongan rasa keingintahuan terhadap sesuatu. Keingintahuan ini seringkali dilampiaskan dengan cara yang salah, seperti rasa ingin tahu terhadap narkotika, seks bebas, dan lainnya.

Walaupun mengkonsumsi narkotika tersebut sangat berbahaya seperti yang dikatakan Direktorat Reserse Narkoba Polda Jatim bahwa perilaku mengkonsumsi narkotika akibatnya merugikan pemakainya secara fisik dan psikis sekaligus hukuman penjara. Sebagaimana  UU No.22  Th 1997 tentang Pelanggaran Hukum: Pertama, pengguna/pemilik  narkotika (Pasal 78) dihukum  penjara  paling lama  10  tahun  dan denda  500 juta. Kedua, pengedar narkotika (Pasal 82) penjara 20 tahun  dan denda 1 milyard. Ketiga, produsen narkotika (Pasal 80) dengan ancaman hukuman mati, penjara seumur hidup,  dan denda 2  milyar.

Meski demikian, kenakalan remaja seperti yang tersebut di atas masih berlangsung normal. Oleh karenanya, perlu kiranya peranan dari orang tua dan pemerintah untuk menanggulangi persoalan tersebut.

Anarkisme di Kalangan Remaja

Anarkisme di kalangan remaja sudah menjadi menu utama bagi para penegak hukum pada umumnya. Betapa tidak, dari berbagai kasus yang terjadi seperti tawuran, narkotika, dan anarkisme lainnya, mayoritas remaja menjadi pemeran utamanya. Dari berbagai kasus yang terjadi tentunya yang harus bertanggung jawab adalah para orang tua. Karena Orang tua merupakan aktor utama terhadap pengembangan sifat, sikap, dan prilaku remaja, sehingga apabila orang tua berperan aktif, maka anarkisme di kalangan remaja dapat diminimalkan.

Tindakan anarkisme tersebut biasanya merupakan implementasi terhadap keinginan-keinginan remaja yang tidak tercapai dan tidak terpenuhi, seperti tidak lulus dalam Ujian Akhir Nasioanl (UAN), ditinggal pacar; atau juga karena faktor lingkungan keluarga dan sekitarnya, seperti broken home.

Sebuah Solusi

Oleh karena itu, remaja yang semestinya menjadi tongkat estafeta para orang tua harus lebih diperhatikan oleh semua pihak, lebih-lebih orang tua. Karena orang tua merupakan sentral dari penanggulangan anarkisme yang dilakukan oleh remaja. Tentu juga, peranan masyarakat dan pemerintah diharapkan dalam hal ini.

Di samping itu, juga harus diperhatikan—paling tidak—dua hal berikut: Pertama, pemilihan teman sepermainan, sebab perilaku teman yang satu sangat memengaruhi kondisi perilaku yang lainnya. Kedua, memerhatikan dengan seksama budaya-budaya asing yang masuk, sebab budaya-budaya asing di era global ini sangat  bebas berkeliaran di sekitar kita tanpa mengenal ruang dan waktu, sedangkan budaya itu lebih banyak  yang mengusung hal-hal  yang berbau nafsu; hidup hedonis, amoral, dan anarkis.

Abdul Qodir Jailani, Santri Kelas V TMI Al-Amien Prenduan asal Lenteng & Moh. Hasbi Maulana, Santri Kelas IV TMI Al-Amien Prenduan

Leave a comment