Gaya Debat Kandidat

Kandidat perempuan dan pria, ketika berdebat langsung, lebih suka mengadopsi gaya komunikasi tradisional masing-masing.

Untuk kedua kalinya dalam sejarah Amerika Serikat, kandidat perempuan tampil dalam debat terbuka kepresidenan. Pada 1984, Geraldine Ferraro tampil sebagai kandidat perempuan, dan baru 24 tahun kemudian, di akhir 2008, bangsa Amerika menyaksikan kandidat wakil presiden Sarah Palin tampil dalam debat kepresidenan menentang lawannya Joe Biden.

Boleh jadi, rakyat Indonesia akan menyaksikan debat kandidat seperti itu, bila nanti Megawati Soekarnoputri benar-benar maju sebagai calon presiden menantang Susilo Bambang Yudhoyono yang juga telah memastikan maju kembali sebagai kandidat presiden. Debat terbuka antarmereka boleh saja terjadi sebagaimana layaknya di Amerika. Namun kita tak bisa membayangkan kira-kira seperti apa gaya debat terbuka mereka itu bakal terjadi.

Sebuah studi yang dilakukan Universitas Missouri, AS, berhasil mengungkap fakta bahwa kandidat calon perempuan dan pria, ketika berdebat langsung dalam acara tatap-muka (head-to-head), lebih suka mengadopsi gaya komunikasi tradisional masing-masing.

Mitchell McKinney, Guru Besar tamu ilmu komunikasi di Universitas Missouri melakukan studi itu bersama Mary Banwart, profesor komunikasi Universitas Kansas. Ia menjelaskan, bahwa dalam politik, sifat stereotip “maskulin” seperti sikap ambisius dan tabah, serta memiliki kepemimpinan yang kuat dan keterampilan administratif, lebih dihargai ketimbang sifat “feminin”, seperti belas kasihan dan berorientasi keluarga.

Studi, yang diterbitkan dalam jurnal Communication Studies (Studi Komunikasi) itu, melakukan pengujian terhadap sejumlah nama kandidat gubernur dan senat di Amerika Serikat, yang sibuk dengan debat-debat kampanye berbau gender yang ditayangkan di televisi.

McKinney menemukan, kandidat perempuan lebih suka menggunakan apa yang disebut strategi komunikasi “maskulin”, dibanding rekan-rekan pendamping mereka yang pria. Sebaliknya, para kandidat pria cenderung sering mengadopsi “gaya feminin” dalam mengemukan tanggapan di debat-debat mereka.

Menurut McKinney, kandidat perempuan suka mengeluarkan jurus-jurus serangan personal terhadap lawan mereka yang pria selama 58 persen waktu yang tersedia untuk menanggapi. Bandingkan dengan para kandidat pria yang menyerang lawan mereka yang perempuan selama 45 persen dari waktu mereka untuk tanggapan debat.

Selain itu, dari segi tema debat, para kandidat perempuan juga lebih suka mengangkat isu-isu tradisional “maskulin”, dibanding para kandidat pria. Seperti soal kejahatan, pertahanan, pajak dan anggaran belanja. Terungkap pula, bahwa para kandidat perempuan lebih suka memuji-muji pengalaman dan pencapaian keberhasilan mereka sendiri.

Menurut McKinney, dengan menjadi pendebat yang lebih agresif, merupakan upaya mereka menjauhkan diri dari apa yang disebut isu-isu “feminin”. Para politisi perempuan tadi sedang berusaha mengalahkan anggapan lama yang mempertanyakan kemampuan kandidat perempuan untuk berkuasa. “Mereka juga menentang stereotip bahwa kandidat pria memiliki kekuatan atau kemampuan politis yang lebih besar, dan mempunyai pengalaman politik yang lebih kuat,” jelasnya.

Sebaliknya, para kandidat pria malah lebih suka menekankan sifat-sifat feminin. Seperti kepekaan dan kerjasama, dalam menjual diri mereka. Para pria ini lebih suka mengemukakan isu-isu “feminin”, dibanding para kandidat wanita. Seperti masalah-masalah perempuan, pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Studi yang dilakukan pada akhir 2008 itu, berhasil mengungkap fakta, ketika kandidat perempuan dan pria bertatap muka (face-to-face) di atas mimbar debat, mereka menyadari sepenuhnya stereotip-stereotip gender. Mereka pun memberi jawaban-jawaban dengan strategi beradaptasi gender. “Masing-masing mengadopsi strategi komunikasi dan gaya yang karakteristiknya mengacu pada gender sebaliknya,” kata McKinney.

Studi tersebut memang dilakukan di Amerika Serikat. Tapi, tampaknya, hasil studi tadi bisa berlaku di Tanah Air. Karena, isu-isu gender tidaklah tabu diungkapkan, bahkan menjadi komoditas politik yang sangat menjanjikan pendulangan suara. Kita lihat saja nanti dalam kampanye nasional. (ahmadie/sciencedaily)

BOX

Tiada Gap Gender di Pemilu

Kathleen Dolan dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat, baru-baru ini melakukan riset untuk mengetahui reaksi para pemilih terhadap kandidat atau calon perempuan, dan apakah afinitas gender berhubungkan dengan keputusan keduanya dalam memilih. Temuan riset menyajikan hasil menarik.

Riset tersebut dilakukan dengan menguji data Studi Pemilihan Umum Nasional (National Election Study, NES). Dolan mencoba memperhatikan afinitas gender, serta isu-isu lain seperti keinginan memiliki representasi khas gender pada isu-isu politis tertentu, dan keanggotaan partai politik, baik calon kandidat maupun pemilih.

Ternyata, hasil riset tak menemukan gap atau jurang pemisah gender yang konsisten atau berlebihan yang mendukung kandidat perempuan. Sebaliknya, informasi tentang kandidat dan sikapnya mengenai isu-isu penting, tampaknya lebih dijadikan pertimbangan oleh pemilih dalam menentukan pilihannya.

“Bersama meningkatnya perempuan yang ikut dalam pemilu, kami pun berusaha meningkatkan pemahaman kami menyangkut dinamika kompleks peningkatan pencalonan mereka,” Kathleen Dolan menyimpulkan dalam artikelnya, Is There a ‘Gender Affinity Effect’ in American Politics?: Information, Affect, and Candidate Sex in U.S. House Elections, yang dimuat jurnal Political Research Quarterly.

Kaum wanita terkadang mendukung kandidat perempuan. Tapi, mereka mengevaluasinya dengan cara yang sama, seperti semua kandidat lainnya dievaluasi, melalui lensa pertimbangan-pertimbangan personal dan politik dalam beragam bentuk. Kadang-kadang, ini mengarah ke situasi di mana kaum wanita lebih suka mendukung kandidat perempuan dibanding pria. Namun dalam situasi ini, jenis kelamin kandidat barangkali hanyalah salah satu dari sekian banyak bahan pertimbangan penting yang lain.

Leave a comment