Stop Trafficking

Malam hari di sebuah lapangan terbuka, sekumpulan anak-anak perempuan berusia 13-17 tahun yang masih perawan berdiri didampingi germo masing-masing. Bak di pasar hewan, para konsumen (laki-laki hidung belang) berseliweran dan melihat-lihat “barang dagangan” yang dipamerkan itu.

Mereka berpindah dari satu anak ke yang lain, memeriksa, bertanya harga, tawar-menawar, dan kalau cocok langsung mengikat transaksi. Keperawanan –yang oleh para laki-laki hidung belang sering dianggap “jamu”— pun direnggut pembelinya malam itu juga.

Mirip pelelangan manusia di zaman perbudakan tentunya. Tapi kejadian itu benar-benar pernah terjadi di Surabaya. Kasusnya ditemukan sejumlah aktivis anti-trafficking Surabaya pada 2003.

Dari mana anak-anak malang itu datang? Mereka berasal dari daerah-daerah miskin seperti Bojonegoro, Malang selatan, atau kawasan Gunung Kawi. Mereka direkrut para calo dengan iming-iming pekerjaan mapan di Surabaya. Para calo itu umumnya “senior” mereka, perempuan mantan pekerja seks dari desa yang sama.

Calo-calo inilah mata rantai pertama penjualan manusia, khususnya anak-anak (trafficking) untuk dieksploitasi secara seksual, kini populer disebut eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) yang menipu keluarga-keluarga sangat miskin dan berpendidikan rendah.

Setelah anak-anak itu dibawa ke Surabaya, mereka difoto, lalu foto-foto itu diedarkan di kalangan germo di lokalisasi Bangunsari dan Tambak Asri. Anak-anak itupun mulai dilelang. Selain dengan media foto, pelelangan kadang dihelat di rumah calo atau tempat yang disepakati calo maupun germo.

Dalam beberapa kasus, yang bertindak sebagai calo justru ibu anak-anak itu sendiri, yang berasal dari kampung-kampung kumuh di sekitar lokalisasi. Sang ibu akan mengantar anaknya kepada para germo di kedua lokalisasi tersebut.

Setelah sepakat harga, para calo menyerahkan anak-anak ini kepada germo dan ditempatkan di wisma-wisma kecil milik muncikari. Rata-rata, anak-anak ini dihargai Rp 500 ribu sampai satu juta rupiah. Anak-anak inilah yang lalu dibawa pemilik barunya untuk dilelang terbuka.

Sementara di Kudus, seperti dikabarkan Surya Online, untuk mengelabui dan menghindari hukum, modus trafficking berkembang dengan bentuk tawaran kerja ke luar pulau dengan gaji tinggi. Menurut Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak pada Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus, Endang Erowati, pelaku biasanya mendatangi rumah calon korbannya dan saat pemberangkatan juga tanpa dilengkapi surat keterangan dari pemerintah desa setempat.

Awal tahun ini, jaringan penjualan manusia lintas pulau ini terbongkar, dan lima korban yang akan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersil (PSK) di lokalisasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, berhasil diselamatkan. Berdasarkan penelusuran tim JPPA, ternyata orang tua korban memang termakan bujukan pelaku untuk tidak mempedulikan aturan atau kelengkapan surat-surat kerja.

****

Berbagai kasus trafficking yang menimpa perempuan dan anak-anak terus terjadi. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) setiap bulan mencatat ratusan bahkan ribuan kasus trafficking. Kementerian Pemberdayaan Perempuan mencatat, sebanyak lima Provinsi di Indonesia merupakan daerah yang rawan terjadinya trafficking, khususnya penjualan perempuan baik ke luar dan dalam negeri. Yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di Jawa Barat, daerah yang rawannya adalah Karawang, Indramayu, dan Sukabumi. “Ketiga daerah ini diduga sebagai pemasok perempuan yang dipekerjakan sebagai penghibur,” kata Deputi Perlindungan Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Subagyo.

Di dalam negeri, lanjut Subagyo, setidaknya ada dua kota yang menjadi tujuan trafficking, yaitu Kepulauan Riau dan Kota Batam. Sedangkan di luar negeri, Malaysia, Singapura dan Taiwan menjadi destinasinya.

Menurut penelitian, penyebab terjadinya kejahatan ini adalah karena dominasi tekanan ekonomi, plus lapangan kerja yang semakin sempit, dan tingkat pendidikan yang rendah. Hasil seminar perdagangan anak dan perempuan beberapa waktu lalu mencatat, 40 persen penyebabnya adalah akibat tekanan ekonomi dan kemiskinan, 30 persen karena tidak tersedianya lapangan kerja, 20 persen karena faktor pendidikan yang rendah, dan 10 persen karena tidak adanya pemahaman terhadap trafficking itu sendiri.

Selain faktor kemiskinan, budaya patriarkhi yang meletakkan perempuan sebagai manusia kelas dua atau sebagai obyek seks, juga mendorong kuatnya trafficking terjadi. Pola hidup konsumtif yang telah menjangkiti masyarakat hingga level pedesaan, sistem ekonomi neo-liberal yang meletakkan masyarakat sebagai pemirsa produk-produknya, dan lemahnya sistem hukum, serta peran negara yang lemah, menambah faktor domino penyebab terjadi kejahatan ini.

Pada sebuah kesempatan rapat koordinasi tentang trafficking, Menkokesra Aburizal Bakrie menyatakan kelegaannya atas pujian Pemerintah Amerika Serikat dalam laporan tahunan tentang trafficking atas kemajuan dan konsistensi Indonesia dalam upaya menghapus kejahatan ini selama enam tahun terakhir.

Namun, upaya ini, imbuh Ical, panggilan akrab Menkokesra, pujian ini jangan melenakan. Karena pekerjaan penghapusan kejahatan ini masih panjang. Sadar dengan akar masalah kejahatan ini adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan, maka usaha menghapusnya harus sejalan dengan upaya penanggulangan kemiskinan, serta peningkatan pendidikan dan keterampilan. “Selain itu harus ada perluasan kesempatan kerja dan lapangan kerja,” ucap Ical.

Untuk menghapus kejahatan yang tidak berperadaban ini, rasanya harus menggaet seluruh aspek bangsa, dari pemerintah hingga masyarakat. Sebab, akan sulit berharap budaya jahiliah ini terhapuskan hanya dengan menyerahkan pada individu atau kelompok-kelompok secara terpisah, tanpa kerjasama dan koordinasi sinergis semua elemen bangsa.

Peran agama sangat signifikan dalam usaha ini. Ia dapat berperan menjadi pendukung moral, sekaligus pemberi tawaran-tawaran solutif bagi pihak-pihak yang intens terlibat dalam penanganan kasus-kasus trafficking. Khususnya tokoh agama dan masyarakat.

=======

Boks

Hadd bagi Penjahat ‘Trafficking’

Anak adalah bagian manusia yang memilki hak dasar yang sama seperti orang dewasa. Al-Qur`an sangat menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak asasi anak. Ayat 151 surah al-An’âm [6] menegaskan, ”Janganlah kalian bunuh anak-anakmu karena kemiskinan yang menimpamu. Kami yang akan memberi rejeki kepadamu juga anak-anakmu.” Jelas, alasan ekonomi keluarga tak dapat dijadikan pembenar untuk merebut masa depan anak.

Membunuh, bukan hanya berarti menghabisi nyawa secara fisik, tapi juga menjadikan masa depan mereka suram. Karena, secara prinsip, anak memiliki hak hidup bagian dari hifdz an-nafs, dan hak memperoleh pendidikan yang layak bagian dari hifdz al-aql. Menterlantarkan anak tanpa dibekali ekonomi dan pendidikan yang memadai, adalah bagian dari pembunuhan terencana terhadap masa depan anak.

Ayat kesembilan surah an-Nisâ` [4] ditegaskan, “Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka (keturunan) anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka.”

Sayyid Abdurrahman ibn Muhammad ibn Husain ibn Umar, dalam kitab Bughyah Musytarsyidîn menuturkan, menjual anak-anak atas dasar alasan apapun adalah haram. Tugas utama negara adalah menjamin kesejahteraan ekonomi warganya. Jika negara tak mampu melaksanakannya, maka masyarakat berkewajiban melaksanakan tugas tersebut. Jika negara dan masyarakat tak mampu menjamin kesejahteraan ekonomi rakyat, sehingga mereka terjerumus ke dalam kejahatan trafficking, maka berdosalah mereka semua.

Menurut Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkâm as-Sulthâniyyah mengutip pendapat Imam Syafi’i dan Maliki, bila seorang mencuri budak anak-anak maupun anak-anak yang merdeka, hukuman yang menanti adalah potong tangan. Sementara madzhab Hanafi menilai, hukuman bagi pelaku trafficking adalah ta’zîr, yang jenis dan kadarnya diserahkan pada kebijakan pemerintah. Tapi jika kejahatan itu telah sampai pada taraf yang membahayakan kemanusiaan, hukuman penjara hingga hukuman mati patut diganjarkan. Sebab, sudah termasuk dalam kategori mufsidunâ fil-ardh, yang hukumannya sangat berat dalam ajaran al-Qur’an.

Dampak dari perdagangan anak berupa terpisahnya anak dari orangtuanya, termasuk jenis salah satu kabâ`ir yang diharamkan Islam. Ibu dan ayah, telah kehilangan masa depan hidup dan buah hatinya akibat kejahatan ini. dalam kategori hukum, pembunuhan terencana terhadap masa depan anak juga telah terjadi. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia (pelaku) dan orang-orang yang dikasihinya di hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi)

Boks 2

Metamorfosis Pelacuran Anak

1997 – 2003 2004 – Sekarang

Modus Penipuan Korban dijanjikan pekerjaan. Calo hanya masuk ke desa-desa. Korban dijanjikan beasiswa atau magang kerja. Calo masuk ke sekolah-sekolah, desa-desa, atau via internet. Modus penculikan juga mulai marak.

Motif Kemiskinan. Kemiskinan dan gaya hidup.

Pola Trafficking Korban didera kemiskinan, keluar dari rumah, hidup di jalanan dan berinteraksi dengan anak jalanan/kriminal, terlibat narkoba dan seks bebas, lalu dilacurkan. Selain miskin, korban ditekan tuntutan gaya hidup, orangtua tak bisa memenuhi, lari ke jalan, bertemu teman/pacar, terlibat narkoba dan seks bebas, lalu dilacurkan melalui germo.

Cara Praktik Terang-terangan di jalanan. Terselubung di kafe, pub, diskotek, via SMS atau HP.

Sindikat Tidak ada, yang ada “solidaritas jalanan” (germo, pacar, loper koran, anak jalanan, dll). Ada, didominasi germo yang tersebar di masing-masing titik.

Harga Di lokasi non-lokalisasi berkisar Rp 125 ribu – Rp 300 ribu. Di lokalisasi Rp 25 ribu – 100 ribu. Di non-lokalisasi Rp 500 ribu – Rp 1 juta. Di lokalisasi Rp 50 ribu – Rp 100 ribu.

* Anak yang dilacurkan berusia 12 – 17 tahun.

* Sember data: Tim Litbang Surabaya Post

Leave a comment