Fokus Utama: Remaja dan Katastrofi Globalisasi

Muhammad Iqbal

“Ratusan ribu anak bangsa dicengkeram setan narkoba. Mari kita bebaskan mereka.”

(Taufiq Ismail, Sastrawan)

Kata bijak Taufiq Ismail tersebut, merupakan bom kesadaran bagi kita untuk terlibat dalam permasalahan besar yang sedang menggerogoti bangsa Indonesia secara perlahan. Remaja bangsa ini telah menanggalkan baju idealisme sebagai pemuda, yang selama ini diisukan sebagai agent of change (lokomotif perubahan) menjadi baju hedonisme, konsumerisme dan sekularisme yang didapatkan dengan mudah dari pusat-pusat intertainment (diskotik, klub-klub malam, mal dan lain-lain) yang memiliki orientasi menciptakan manusia hedonis, konsumtif dan sekularis.

Remaja dan globalisasi adalah dua hal yang seringkali menjadi topik bahasan hangat dalam forum-forum diskusi. Karena memang keduanya memiliki peran penting dalam tatanan kehidupan suatu negara. Remaja dapat diartikan sebagai sosok manusia yang mengalami masa transisi, dari fase kanak-kanak menjadi dewasa.

Sedangkan globalisasi diartikan sebagai hubungan dengan peningkatan dan ketergantungan antara bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui investasi, perdagangan, budaya populer dan bentuk-bentuk interaksi lainnya, sehingga batas suatu negara menjadi kian dekat.

Globalisasi dan Remaja

Sebelum kita membahas lebih jauh dua hal ini, mari kita lihat keadaan remaja pada masa perjuangan kemerdekaan. Pada zaman tersebut, antara tahun 1920 hingga 1940-an para pemuda gencar menyuarakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka menyatukan visi-misi dalam wadah komite yang solid, semisal Jong Java, Jong Ambon, dan organisasi lainnya.

Semangat patriotisme dan tekad seperti inilah yang akhirnya melahirkan sumpah sakral pada 28 Oktober 1928, demi kesatuan bangsa, kesatuan tanah air, dan kesatuan bahasa, yang mereka sebut sumpah pemuda.

Pemuda bangsa kita kala itu memiliki nasionalisme dan patriotisme tinggi. Pemuda yang sarat akan etos kerja, rela berkorban demi kemaslahatan bangsa dan selalu berpikir idealis. Soekarno dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi menyebut pemuda Indonesia sediakala terkenal sebagai pemuda yang gagah berani, tidak gampang tunduk, perahu-perahunya melintasi samudera sampai ke India, Tiongkok, Madagaskar dan Persia.

Bukan hanya itu, beliau juga pernah menyinggung akan kekuatan para pemuda dalam salah satu pidatonya, “Berikan akau sepuluh pemuda maka akan kutaklukan dunia.” Ini menunjukan betapa pemuda memiliki kemampuan yang luar biasa.

Namun, gelombang globalisasi telah memaksa negara-negara berkembang untuk meniagakan aset-aset yang dimilikinya baik dalam bentuk sumber daya alam maupun khazanah kebudayaannya.

Trilogi Virus Kultur Barat

Arus globalisasi setidaknya membawa trilogi virus west culture (hedonisme, konsumtivisme, dan sekularisme), yang kesemuanya sama sekali tidak sejalan dengan norma-norma sosial Indonesia. Ironisnya, hal tersebut telah mendarah daging dalam jiwa-jiwa mereka.

Kegiatan mereka selalu dihabiskan untuk kongkow dengan gengnya demi mendapatkan kesenangan sejenak. Hingga populerlah kegiatan sex, drugs, party, dugem dan modus kriminalitas lainnya yang jauh dari nilai-nilai edukatif.

Saat ini, perilaku hedonis, konsumtif, dan sekularis selalu menjadi sahabat hidup pemuda kita. Faktanya bisa kita lihat pada saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN), banyak pelajar SMP dan SMA yang notabene berusia remaja, menempuhnya dengan cara tidak terhormat. Baik dengan cara mencari bocoran soal UAS, membawa contekan, bahkan dengan jual beli soal sekali pun. Hal tersebut bisa kita lihat dalam contoh kecil yang terjadi di kalangan pelajar kota Kediri, yang meniagakan soal unas dengan harga Rp 1 juta setiap soal.

Jalan Pencerahan

Begitulah perkembangan arus globalisasi, ia secara pesat menjadi sahabat bagi manusia yang dinamis demi pemenuhan kebutuhan mereka. Maka tidak mustahil, jika 20 tahun ke depan manusia dapat melakukan berbagai aktivitas hariannya hanya dengan menekan tombol robot yang selalu setia menemaninya.

Lalu solusi apa yang harus dilakukan guna membendung gaya hidup remaja yang cenderug negatif di tengah modernisasi ini? Kalau virus globalisasi tidak bisa kita nafikan dari kehidupan kita, setidaknya ada tiga alternatif yang bisa dijadikan langkah solutif mengimbangi arus globalisasi ini.

Pertama, Islamisasi budaya dan teknologi. Hal ini lebih penting daripada tindakan mengharamkan. Sebab hasrat manusia untuk berkembang tidak bisa dihentikan, sehingga jalan lain yang bisa dilakukan adalah merubah norma-norma yang ada menjadi norma Islami.

Kedua, peningkatan mutu pendidikan. Kita tentu masih ingat ketika pasukan militer AS menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945, tepat ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Namun pertanyaannya kenapa Jepang saat ini maju melampau Indonesia? Guru dan pendidikan, aktor utama kemajuan negara tersebut.

Ketika kota Hiroshima dan Nagasaki mengalami kehancuran, mereka tidak lagi berdebat tentang infrastruktur apa yang perlu dibenahi, akan tetapi “berapakah jumlah guru yang tersisa”. Fakta tersebut menunjukkan mutu pendidikan menjadi syarat utama peningkatan suatu negara. Dan hanya pendidikan yang berkualitas dapat melahirkan kaum terpelajar berkualitas di bidangnya.

Ketiga, peran serta orang tua. Orang tua sebagai lahan pendidikan pertama bagi anak, merupakan penentu warna dan corak sikap dan perilaku mereka. Maka penting bagi orang tua untuk mengarahkan anak, mulai dari cara berpakaian, berkomunikasi, dan kemampuan intelektual yang dibarengi dengan kematangan emosional serta spiritual. Ketiga aspek inilah yang dapat menentukan arah kehidupan pemuda.

Jadi fenomena westernisasi di kalangan remaja harus ditangani segera dengan melibatkan berbagai pihak, agar bangsa ini mampu survive dan mampu bersaing tanpa kehilangan jati diri. Semoga!

Moh Iqbal, santri kelas akhir TMI Putra Al-Amien Prenduan, asal Tangerang.

Leave a comment