Refleksi: Hidup

Moh. Misky

Pada suatu malam, yaitu sekitar pukul  23.39 WIB, aku dan keluargaku dikagetkan oleh suara yang mirip dengan suara tangis anak kecil. Semakin lama, semakin jelas di telingaku. Jujur, bulu romaku merinding mendengarmya dan kami pun berpikir yang bukan-bukan dibuatnya. Bla… bla…bla…. Pasalnya, tiga hari sebelum kejadian itu salah seorang putri tetanggaku dikabarkan meninggal dunia, apalagi setelah diperhatikan secara seksama suara tangisan tersebut memang bersumber dari arah di mana si anak di kuburkan.

Tapi, alhamdulillah, setelah diselidiki lebih jauh, eh ternyata suara itu hanyalah suara musang yang lagi sekarat, sebagaimana diamini oleh para tetanggaku yang kebetulan hadir ketika itu. Aku kembali lega. Tenang. Pikiran kotorku pun lenyap seketika. Akhirnya, aku dan keluargaku bisa tidur kembali seperti semula.

Dari kejadian ini aku mendapat pelajaran berharga sekaligus sedikit bisa membaca permainan hidup dan dapat mengetahui bagaimana aneka pandang manusia terhadap suatu hal. Selama ini diakui atau tidak, kita mudah percaya pada sesuatu yang sifatnya tidak pasti, kita terlalu sibuk mengurus hal-hal kecil dengan mengabaikan hal yang jauh lebih besar dan menjanjikan

Begitu juga, seringkali kita takut pada masalah yang sama sekali belum tentu terjadi, khawatir akan hal yang keberadaannya perlu dipertanyakan, dan cenderung terhanyut dan pasrah pada apa yang kita dengar, kita lihat, dan kita rasakan, tanpa peduli bahwa semuanya bisa saja menipu.

Ironisnya lagi, kita belum berani hidup tanpa orang lain. Dalam artian, kita berbuat dan bertindak semata-mata karena dirasa sesuai dengan suara mayoritas bukan lahir dari hati dan atas dasar kebenaran. Akibatnya, jika ini dibiarkan paling tidak hidup kita akan kacau, berantakan, dan berlalu tanpa makna yang pada gilirannya kita hanya akan menjadi “bulan-bulanan” atau bayang-bayang hidup yang semu.

Jadi, tidak berlebihan rasanya jika Socrates, seorang filosof Yunani dengan tegas menyatakan, “Hidup yang tidak direfleksikan, tidak layak diteruskan”. Lalu, apa hubungannya pengalamanku di atas dengan masalah refleksi hidup? Yang jelas, andaikan pada akhir kisah di atas tetap tidak diketahui bahwa suara tangisan itu sebenarnya adalah suara musang yang tengah sekarat, besar kemungkinan kita tidak bakal cuma berpikir yang “bukan-bukan” malah bakal berprasangka yang “tidak-tidak”.

Sekali lagi, hidup memang perlu direfleksikan agar kita tidak sekadar ikut-ikutan dan percaya begitu saja pada keadaan.

Moh. Misky, santri kelas V TMI Al-Amien Prenduan asal Sampang.

Leave a comment