Kepribadian Sukses ala New Psycho-Cybernetics

Akhmad Sudrajat M.Pd

Pengawas Bimbingan dan Konseling Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kuningan, Dosen FKIP Universitas Kuningan

Maxwell Maltz dalam buku The New Psycho-Cybernetics (2004), memberi resep tentang gambaran kepribadian sukses, dengan rumusan akronim yang mudah diingat. Yaitu: SUCCESS.

Berikut ini saripati resep yang Maxwell sodorkan, mungkin akan berguna bagi Anda, dan tentunya sebagai bahan refleksi bagi saya sendiri.

Pertama, Sense of direction (kesadaran akan arah). Carilah sasaran yang layak Anda capai. Lebih baik lagi kalau Anda tetapkan suatu proyek. Putuskanlah apa yang Anda inginkan dari satu situasi. Lihatlah ke depan, jangan ke belakang. Milikilah selalu sesuatu di depan Anda untuk dijadikan harapan.

Kembangkan “nostalgia masa depan” ketimbang masa lalu. “Nostalgia masa depan” itu bisa membuat Anda awet muda. Bahkan tubuh Anda pun takkan berfungsi dengan baik, jika Anda tak lagi menjadi seorang pencapai sasaran dan tidak mempunyai harapan apa-apa lagi. Karena alasan inilah seringkali seseorang meninggal dunia tak lama setelah pensiun.

Kalau Anda tidak berupaya mencapai sasaran, tidak memandang jauh ke depan, maka sesungguhnya Anda tidak benar-benar hidup.

Selain sasaran-sasaran murni pribadi Anda sendiri, milikilah setidaknya satu sasaran yang bukan pribadi, di mana Anda bisa menghubungkan diri. Berminatlah dalam proyek tertentu untuk membantu sesama, bukan karena wajib, melainkan atas kemauan Anda sendiri.

Kedua, Understanding (pengertian). Pengertian bergantung pada komunikasi yang baik. Anda tidak akan bereaksi tepat kalau informasi yang Anda tindaklanjuti itu keliru dalam mengartikannya.

Untuk mengatasi suatu masalah secara efektif, Anda harus mengerti sifat sejatinya. Kebanyakan kegagalan kita dalam berhubungan antarmanusia adalah karena salah pengertian. Kita berharap orang lain beraksi dan memberi respons serta mencapai kesimpulan yang sama seperti kita dari serangkaian fakta atau keadaan.

Manusia bereaksi terhadap gambaran mental mereka sendiri, bukan terhadap segala apa adanya. Kebanyakan reaksi atau posisi orang lain itu bukanlah dimaksudkan untuk membuat kita menderita, sebagai keras kepala atau berniat jahat, melainkan karena mereka artikan dan tafsirkan situasinya secara berbeda-beda. Mereka hanyalah bereaksi sesuai dengan apa yang bagi mereka tampaknya benar dalam situasinya.

Mengakui ketulusan orang lain ketika keliru, ketimbang menganggapnya sengaja atau berniat jahat, akan membantu melancarkan hubungan antarmanusia, dan melahirkan pengertian yang lebih baik di antara mereka.

Tanyakanlah kepada diri sendiri, ”Bagaimana hal ini tampaknya bagi dia?” “Bagaimanakah ia menafsirkan situasi ini?” “Bagaimanakah perasaannya tentang hal ini?” Cobalah mengerti mengapa ia bersikap seperti itu.

Seringkali kita ciptakan kebingungan ketika kita tambahkan opini kita sendiri terhadap fakta-fakta yang ada dan sampai pada kesimpulan yang keliru (fakta versus opini).

Fakta: Dua orang teman sedang berbisik-bisik dan berhenti ketika Anda datang.

Opini: Pasti mereka sedang menggosipkan aku (reaksi negatif).

Jika Anda dapat menganalisa situasi secara tepat dan dapat memahami bahwa tindakan kedua teman Anda itu bukan dimaksudkan untuk menjengkelkan Anda, maka niscaya Anda pun dapat memilih respon yang lebih tepat dan produktif.

Kita harus dapat melihat kebenaran dan menerimanya, entah baik atau buruk. Seringkali kita warnai data yang diperoleh dengan ketakutan, kecemasan, atau hasrat kita sendiri.

Bertrand Russell pernah mengatakan, bahwa salah satu alasan mengapa Hiltler kalah dalam Perang Dunia Kedua adalah karena ia tidak sepenuhnya memahami situasinya. Para pembawa berita buruk dihukum. Tak lama kemudian, tak seorang pun berani mengatakan yang sebenarnya. Mungkin hal ini pula salah satu faktor yang menyebabkan kejatuhan Soeharto dengan kebiasaan laporan Asal Bapak Senang (ABS)nya.

Ketiga, Courage (keberanian). Mempunyai sasaran dan memahami situasinya, belumlah cukup. Anda harus mempunyai keberanian untuk bertindak, sebab hanya dengan tindakan, maka sasaran, hasrat dan kepercayaan dapat dijabarkan menjadi kenyataan.

Seringkali, perbedaan antara orang yang sukses dengan pecundang, bukan karena kemampuan atau ide yang lebih baik. Tapi karena keberanian bertaruh atas ide-idenya sendiri untuk mengambil resiko yang diperhitungkan, dan untuk bertindak.

Kita sering membayangkan keberanian sebagai perbuatan kepahlawanan di medan pertempuran, ketika kapal kandas, atau dalam suatu krisis. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, pun sesungguhnya menuntut adanya keberanian. Jangan berdiam diri yang hanya akan membuat Anda semakin terperangkap. Bersedialah membuat beberapa kesalahan, menderita sedikit kepedihan untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan.

Berlatihlah sikap berani dengan “hal-hal kecil”, jangan tunggu hingga Anda bisa menjadi pahlawan besar dalam krisis yang parah. Dengan melatih berani dalam hal-hal kecil, kita dapat mengembangkan kuasa dan talenta untuk bertindak berani dalam urusan-urusan yang lebih penting.

Keempat, Charity (amal/belas kasih). Kepribadian sukses ditandai adanya minat dan menghargai sesama. Kepribadian ini akan menghormati martabat, masalah, dan kebutuhan sesamanya. Ia akan memperlakukan sesama sebagai manusia, ketimbang sebagai pion dalam permainan mereka sendiri. Ia sadar bahwa setiap orang adalah makhluk Tuhan dan individu yang unik yang layak diberikan martabat dan penghormatan.

Adalah fakta psikologis, bahwa perasaan kita tentang diri sendiri cenderung berhubungan dengan perasaan kita tentang orang lain. Kalau seseorang merasa beramal kepada orang lain, ia pasti akan mulai merasa beramal terhadap dirinya sendiri.

Orang-orang yang merasa bahwa manusia itu tidak penting, tidak mungkin menghormati dan menghargai dirinya sendiri.

Salah satu metode yang paling dikenal dalam mengatasi rasa bersalah adalah berusaha berhenti mengutuk, membenci, menyalahkan orang lain atas kesalahan-kesalahan mereka. Anda akan mengembangkan citra diri yang lebih baik dan lebih memadai, kalau Anda mulai merasa bahwa orang lain itu lebih berharga.

Memperlakukan semua orang dengan hormat adalah amal. Oleh sebab itu, kebaikan itu tidak selalu dibalas secara individual dan seketika. Anda tidak bisa memandangnya sebagai transaksi, tetapi harus memandangnya sebagai konstribusi diri Anda terhadap masyarakat.

Kelima, Esteem (harga diri). Dari segala perangkap dan kejatuhan dalam kehidupan ini, harga diri adalah yang paling mematikan dan paling sulit diatasi. Karena harga diri adalah lubang yang dirancang dan digali oleh tangan kita sendiri, yang terangkum dalam ungkapan, “Percuma, aku tak bisa melakukannya.”

Waspadalah terhadap pencuri kebahagiaan, yaitu kritikus di dalam diri sendiri. Ketika kritikus dalam diri sendiri mulai merendahkan kita, hendaknya kita tak ragu-ragu berteriak, “Hentikan!” Lalu menyuruhnya kembali ke pojok asalnya yang gelap, ia pantas dihukum karena meragukan kita.

Berhentilah membawa-bawa gambaran mental tentang diri sendiri sebagai individu yang kalah mampu dibanding orang lain. Rayakanlah kemenangan Anda, entah besar atau kecil. Kenalilah dan pupuklah kekuatan-kekuatan Anda. Dan terus ingatlah diri sendiri bahwa Anda bukanlah kesalahan-kesalahan Anda.

Kata “menghargai diri”, secara harfiah berarti menghargai nilai diri. Mengapa manusia takjub melihat bintang-bintang, bulan, luasnya samudera, indahnya bunga atau matahari terbenam, tetapi harus merendahkan diri sendiri? Bukankah semua itu karya Sang Khalik yang juga menciptakan kita?

Menghargai nilai diri sendiri bukanlah egoisme. Kecuali jika Anda berasumsi bahwa Andalah yang berjasa menjadikan diri sendiri. Janganlah rendahkan produk Tuhan, hanya karena Anda sendiri yang kurang tepat menggunakannya. Jadi, rahasia terbesar dalam membangun harga diri adalah memulai usaha untuk menghargai sesama. Hormatilah manusia manapun sebagai makhluk Tuhan yang unik dan sungguh sangat berharga.

Latihlah memperlakukan sesama Anda sebagai manusia yang berharga, maka harga diri Anda pun akan meningkat. Sebab, harga diri sejatinya bukan berkat hal-hal yang hebat yang telah Anda perbuat, tetapi berkat menghargai diri sendiri apa adanya sebagai makhluk Tuhan.

Keenam, Self confidence (kepercayaan diri). Kepercayaan diri dibangun dari pengalaman sukses. Ketika kita pertama kali memulai sesuatu, mungkin kepercayaan diri kita kecil, karena kita belum belajar dari pengalaman bahwa kita bisa sukses. Ini berlaku dalam urusan apa saja, entah belajar sepeda, berbicara di depan publik, atau aktivitas lainnya.

Adalah sangat benar, bahwa sukses akan melahirkan sukses. Sekecil apapun kesuksesan seseorang, dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk meraih sukses yang lebih besar. Teknik penting untuk memupuk kepercayaan diri adalah dengan mengingat setiap kesuksesan yang dicapai di masa lalu, dan berusaha melupakan kegagalan di masa lalu.

Tetapi, apa yang sering dilakukan kebanyakan orang? Mereka justru sering menghancurkan kepercayaan diri sendiri dengan mengingat-ingat aneka kegagalan yang mereka tanam dalam emosi, sementara kisah suksesnya terlupakan. Akhirnya, kepercayaan diri mereka pun hilang.

Tidak menjadi masalah, seberapa sering Anda gagal di masa lalu. Yang paling penting adalah upaya sukses yang seharusnya diingat, dikuatkan dan direnungkan.

Kalau kita amati kesuksesan orang lain, hampir semua kesuksesannya tak pernah dilalui melalui jalan lurus. Tapi mereka harus menempuhnya secara zig-zag. Maka, gunakanlah segala kekeliruan dan kesalahan-kesalahan, sebagai cara untuk belajar, lalu singkirkan itu dari pikiran kita.

Ketujuh, Self acceptance (penerimaan diri). Penerimaan diri artinya menerima diri kita saat ini apa adanya. Tentunya dengan segala kesalahan, kelemahan, kekurangan, kekeliruan, maupun aset dan kekuatan-kekuatan kita. Kita harus menyadari semua kesalahan dan kekurangan-kekurangan kita, sebelum kita dapat mengoreksinya.

Orang yang paling nelangsa dan tersiksa di dunia ini, adalah mereka yang terus berupaya meyakinkan diri sendiri atau orang lain, bahwa mereka adalah lain dari apa yang sesungguhnya. Tak ada kelegaan atau kepuasan ketika Anda akhirnya menanggalkan segala kepura-puraan dan bersedia menjadi diri sendiri. Berusaha mempertahankan kepura-puraan, bukan saja menjadi tekanan mental yang hebat. Tapi juga akan terus menuntun pada kekecewaan dan frustrasi.

Mengubah citra diri tidaklah berarti mengubah diri Anda. Tapi mengubah gambaran mental, estimasi, konsepsi, dan kesadaran Anda akan diri sendiri. Kita bisa mengubah kepribadian kita, tapi tak akan dapat mengubah dasar diri kita.

Belajarlah menjadi diri sendiri apa adanya, dan mulailah dari sana. Belajarlah untuk secara emosional mentolerir ketidaksempurnaan diri Anda. Penting kita sadari secara intelektual berbagai kekurangan diri kita, tetapi jangan sampai kita membenci diri sendiri karenanya. Jangan membenci diri sendiri karena Anda tidak sempurna. Tak ada seorang pun yang sempurna, dan mereka yang pura-pura dirinya sempurna, akan terkurung dalam kenelangsaan.

Sumber Bacaan:

Maxwell Maltz, The New Psycho-Cybernetics, (alih bahasa: Arvin Saputra, editor Lyndon Saputra), Batam: Interaksara, 2004

Leave a comment