Perempuan Tembakau

Moh. Noer

“Bunuh dia!” Gadis itupun lari terbirit-birit. Ia dikejar orang-orang kampung yang menganggapnya gila. Sudah berkali-kali ia dikejar warga yang tidak dikenalnya. Sebab dandanannya tidak seperti orang biasa. Ia pun sering tertawa sendiri dan terkadang menangis sendiri. Bukan karena ia gila, tapi ia teringat pada kekasih hatinya yang berada di Sumenep. Teringat ketika masa-masa ia memandang matahari. Teringat ketika senyum yang selalu ia biaskan setiap hari bersama kekasihnya. Sangat indah.

Andai saja ia tidak dipaksa menikah dengan pilihan orang tuanya. Andai saja ia diizinkan memilih. Dan andai saja usianya sudah pantas menikah, mungkin nasib tidak akan seburuk itu menimpanya. Tapi dasar orang tua Madura, selalu memaksa anaknya menikah di bawah umur. Tidakkah mereka mengerti bagaimana perasaan anaknya saat itu?

***

Namun kini, ia harus memakai baju itu-itu saja setiap hari. Keluarganya pun tidak ada yang tahu ke mana ia pergi. Sudah berpuluh orang dikerahkan untuk mencarinya. Hasilnya tetap nihil. Ia seperti ditelan lubang semut, tidak ada yang bisa menemuinya kecuali semut itu sendiri. Ia pun hidup seperti petani tembakau. Tapi warga yang bertemu dengannya tidak ada yang ramah. Ia selalu dijuluki manusia setengah setan, manusia setengah waras. Maka tiada hari baginya, kecuali lari dan lari.

Benar, hari adalah waktu yang lelah baginya. Ia ingin mengadu, tapi tempat mengadunya telah hilang bersama arus waktu yang ia lalui. Ia seperti orang-orang kampungnya, selalu mencari dan mencari. Meski ia sadar pencariannya sangat mustahil untuk terwujud, tapi ia tetap keras kepala. Ia yakin kekasihnya bersembunyi di tengah-tengah tembakau. Sebab itulah hidupnya tidak lebih dari petani tembakau di Sumenep.

Pada hari berikutnya, ia masih menjadi buruan warga yang menganggapnya manusia setengah setan. Bagaimana tidak, setiap tembakau yang ia lalui selalu beranak pinak tanpa batas. Dan ketika malam menyentuh suasana siang, ia menangis sembilu. Tangisnya selalu terdengar warga, tapi ketika warga mencarinya, ia telah hilang dari tempatnya yang semula. Ia menghilang bersama angin yang menyentuhnya. Sehingga mampu membuat setiap warga yang mendengar tangisnya  menggidik ketakutan. Apalagi ketika siang menjelang, tembakau yang ia lalui bertambah tanpa batas. Itulah kenapa warga yakin kalau ia adalah manusia setengah setan.

Sesekali ia mencari kekasihnya di tengah kota Sumenep, bertanya pada setiap warga yang ia jumpai. Berulangkali ia datangi tempat nongkrong kekasihnya, tepatnya di depan Taman Bunga. Ia hanya menjumpai laki-laki yang menganggapnya orang gila. Ke mana kekasih hatinya? Mungkinkah ia mengingat hari-hari yang dilalui bersamanya. Atau sebaliknya. Ia sekarang bersama perempuan lain di sekolah SMP barunya, bermesraan melupakan hari-hari indah ketika SD bersamanya. Mungkinkah Tuhan yang selama ini ia sembah melupakannya. Mengapa sampai saat ini ia masih belum dipertemukan dengan kekasih hatinya?

Lalu pada malam itu, di tengah tembakau yang mengelilinginya, ia mengingat kekasihnya kembali. Lamunannya terus melayang. Sampai ia tertidur di tengah tembakau. Pada saat tidurnya pulas, ia didatangi manusia yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Tapi ia mirip kekasihnya. Sangat mirip. Hanya saja yang membedakannya dari jenis pakaian yang serba hitam. Ia bercakap dengan orang misterius itu.

“Kamu siapa?” Ia memberanikan bertanya meski rasa gentar menyelimuti dadanya.

“Berdirilah, aku sudah lama menunggumu. Apakah kamu tidak mengenal kekasih hatimu yang selama ini engkau cari?”

“Benarkah kau Marjumin?”

“Menurutmu, aku terlihat seperti Marjumin palsu. Aku tetap Marjuminmu yang dulu.”

“Lalu kenapa kamu meninggalkan aku?”

“Aku tidak meninggalkanmu, aku hanya menunggumu di sini. Dan sekarang kamu telah berada di sisiku. Tidakkah kamu ingin memelukku?”

Wanita yang bernama Bukena itu langsung memeluk kekasihnya. Tidak terbayang berapa air mata yang telah ia keluarkan. Rasa bahagia tiba-tiba menjadi sahabatnya pada malam itu. Beberapa kali ia menatap orang yang memakai baju serba hitam itu. Ia  berusaha meyakinkan keraguannya. Tidak ada sama sekali perubahan. Laki-laki itu masih seperti Marjumin kekasihnya.

“Marjumin, peluklah aku, aku tidak ingin berpisah dengan kamu lagi!” laki-laki yang masih berumur 14 tahun itu semakin mempererat pelukannya.

“Aku pun juga tidak ingin meninggalkan kamu.” Meski banyak sekali pertanyaan yang bergemuruh di dalam dada perempuan itu, tapi ia berusaha untuk tetap menahannya. Ia tidak ingin membuat kekasihnya merasa terganggu. Biarlah hati mereka yang bicara. Untuk apalagi ia menanyakan hal-hal yang menurutnya sangat penting, toh sekarang kekasihnya telah berada di dekatnya.

Angin masih menemani perjumpaan mereka. Sesekali rembulan nampak di balik awan yang hitam. Munculnya semakin menambah romantis perjumpaan dua kekasih itu. Lalu pada detik selanjutnya tiba-tiba angin menjadi tidak bersahabat. Tiupannya menghasilkan beberapa ranting patah berhamburan. Daun-daun yang semula bergelantung di dahannya, kini terbang entah ke mana. Dalam sekejap tembakau itu berubah menjadi lahan yang tandus. Sebab tidak ada lagi tembakau hijau yang menempati lahan tersebut. Lalu perempuan itu, benar-benar di luar dugaan, ia berlari sangat jauh. Sementara Marjumin yang tadi ia jumpai lenyap bersama amukan angin yang sampai sekarang masih mengejarnya.

Dalam hitungan detik, ia tidak sadarkan diri. Ia sudah tidak tahu lagi keadaan tubuhnya. Sebab alam telah berubah gelap. Senyap. Sunyi. Dalam ketidaksadarannya ia mencoba untuk berdiri. Namun usahanya selalu gagal. Ia masih tidak putus asa. Akhirnya ia kembali sadar. Dilihatnya orang-orang yang mengitari tubuhnya yang terbaring lemas. Seketika itu pula ia menangis. Padahal baru tadi malam ia bertemu dengan kekasihnya. Lalu mengapa waktu begitu cepat mengambil kekasih kembali? Tidak adakah rasa kasihan pada  dua kekasih yang telah lama memendam rindu?

Ia sudah putus asa. Ia akan nurut semua kata orang tuanya. Biarlah ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai. Atau bahkan harus menikah di bawah umur. Sebab ia sudah tidak tahu lagi kemana pergi kekasihnya. Ia ingin memulai hidup baru. Ia tidak ingin terlalu banyak menyusahkan kedua orang tuanya lagi. Ia pulang dengan langkah gontai. Tubuhnya yang lemas ia paksa untuk terus berjalan. Meski ia merasa penat yang teramat sangat. Beberapa kali ia sandarkan tubuhnya di bawah pohon yang kebetulah berada di pinggir jalan. Tanpa terasa ia sudah hampir sampai ke rumahnya. Ia melewati pekuburan yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Di situ ada dua gundukan tanah yang baru digali. Namun ia tidak terlalu memperhatikan hal tersebut. Ia sudah rindu kepada ibunya.

Di rumahnya banyak sekali orang yang bertamu. Ia memaklumi hal itu, mungkin para tamu itu datang untuk membantu mencarinya. Tapi suatu keanehan yang teramat sangat, ketika ia melewati orang-orang tersebut tidak ada satu orangpun yang mau menegurnya. Begitupun ketika ia sampai di depan kakaknya, tidak ada hal yang istimewa atau acara peluk-pelukan. Semua tampak biasa. Dan air mata yang di alirkan dari mata kakaknya itu, menjadi tanda tanya besar di benak perempuan itu.

Ia mulai menduga tentang dua gundukan tanah yang berada tepat di samping rumahnya. Benarkah itu ibu dan bapaknya. Ia lalu memeluk kakaknya. Beberapa kali ia bertanya tentang ibu dan bapaknya. Namun pertanyaan yang ia lemparkan pada kakaknya hanya sunyi angin, menjadi jawaban kebisuan. Sebab kakaknya hanya menjadi patung. Tidak sedikitpun ia menghiraukan pertanyaan perempuan tembakau itu.

Di sudut rumah ia tidak menjumpai ibunya, di dalam kamar juga tidak ada. Ia keluar rumah, teringat pada gundukan tanah yang ia lalui tadi. Lalu tanpa sengaja ia membaca papan pengumuman yang ada di depan rumahnya.

“TELAH MENINGGAL DUNIA SEPASANG SUAMI ISTRI: MARJUMIN DAN BUKENA”

Perempuan itu ambruk. Dunia gelap menyapanya kembali. Lalu beruntun pertanyaan menghujam benaknya, kapan ia menikah dengan kekasihnya? Benarkah orang tuanya merestui hubungannya?

Sumenep, 29 Mei 2009

Moh. Noer Fauzi, santri kelas VI TMI Putra Al-Amien Prenduan asal Banjarmasin

Leave a comment