Ketika Kepemimpinan Berpijak pada Figur

Islahuddin/Ahmad Taufiq

Masyakarat Indonesia ternyata masih cenderung subyektif dalam berdemokrasi. Figur tokoh politisi masih menguasai bingkai dinamika politiknya. Loyalitas berlebihan terhadap figur, akan melahirkan taqlîd yang negatif.

Pemilu telah berlalu, dan hasilnya pun telah diketahui oleh masyarakat Indonesia. Partai Demokrat bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menempati peringkat pertama, kemudian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar menempati urutan selanjutnya. Dilanjutkan PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura dan Gerindera mendudukkan wakilnya di parlemen karena lolos dari parlementery trashold (PT) 2,5%.

Walaupun banyak permasalahan, pemilu legislatif ini berjalan cukup lancar. Namun, pemilu kali ini meninggalkan sebuah dilema, khususnya dalam institusi partai politik, berupa masalah rotasi kepemimpinan yang berjalan lambat. Partai-partai saat ini banyak yang bertumpu pada figur tokoh.

Menanggapi masalah ini, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan menilai, sebenarnya tidak masalah jika parpol mengandalkan figur pemimpinnya, sepanjang kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan berjalan dengan baik. Namun dalam perjalanan banyak parpol, terlihat jelas lambannya laju rotasi kepemimpinan. Periodisasi kepemimpinan yang relatif lama, menjadikan kader baru lamban mencuat.

Kenaikan suara hampir 300 yang dipeloleh PD misalnya, memperjelas bahwa kesuksesan ini memperlihatkan makin mengentalnya politik figur di Indonesia. Masyarakat memilih PD bukan memandang partai atau calon anggota legislatifnya, tapi melihat figur SBY. Pilihan seperti itu juga terjadi pada PDI-P dan Partai Gokar. Namun, untuk Golkar, kekuatan figurnya terfragmentasi, tidak terikat pada satu figur tunggal.

Menurut pengamat politik Syamsuddin Haris sebenarnya ada beberapa partai yang mencoba keluar dari bayang-bayang figur, seperti Golkar, PAN, dan PKS. Menurut Haris, politik figur sebenarnya dapat diatasi dengan pendidikan politik yang baik. Namun, selama ini hal tersebut tidak dilakukan partai politik. Tokoh politik yang menjadi figur pun menikmati posisi dan kultus masyarakat atas diri mereka.

Contoh lain dari ketergantungan pada figur terlihat pada PKB. Partai yang identik dengan Abdurrahman Wahid (Gusdur) ini, di pemilu 2004 mampu memperoleh suara 10,57%, tapi di Pemilu 2009 turun menjadi sekitar 5,1%. Banyak pengamat menilai hal ini disebabkan oleh perpecahan di dalam tubuh parpol itu, antara kubu Muhaimin Iskandar dengan Gusdur. Figur Muhaimin Iskandar, belumlah mampu mempersatukan warga NU yang selalu bertindak berdasarkan pengaruh kiai-kiai yang padu di NU, seperti untuk mengusung Gusdur pada Pemilu 2004. Kehilangan figur kepemimpinan, telah membuat massa partai yang berbasis terbesar di Jawa Timur ini, seperti anak ayam kehilangan induknya dan siap digiring ke tempat induk baru. Suara massa NU/PKB pun pecah dan mencari tempat singgah yang lebih nyaman dan tentram.

Sementara penurunan perolehan suara PPP dari 8,15% pada Pemilu 2004 menjadi 5,3% pada 2009, juga diindikasikan karena ketiadaan figur dalam partai berlambang Ka’bah ini. Pada 2004, partai ini masih memiliki Hamzah Haz. Sebelumnya ada Zainuddin MZ yang dengan popularitas tinggi mampu memobilisasi massa pemilih.

Tapi di lain kasus, ada kemungkinan tokoh sentral partai tetap menjadi nahkoda partai, walau ia tak mempunyai posisi strategis di partainya. Amin Rais ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN, misalnya, yang seakan memiliki kewenangan organisasi lebih besar daripada Sutrisno Bachir yang nota bene ketua DPP.

Hal ini terbukti dengan manuvernya mengumpulkan ketua DPW PAN seluruh Indonesia di rumahnya beberapa waktu lalu, kemudian disusul dengan mengadakan rapat kerja nasional (rakernas) di Yogyakarta. Hal inilah yang membuat pengurus DPP khususnya Sutrisno Bachir “tersinggung”.

Memang kharisma nama-nama seperti Megawati di PDIP, Gus Dur di PKB, dan Amien Rais di PAN, sering tampak lebih besar dari partainya sendiri. Sehingga terlihat sulitnya pelembagaan partai-partai politik, karena sebagian besar partai besar baru pun terpaku pada ketokohan tertentu.

Bahkan, banyaknya faksi dalam partai tidak begitu nampak, karena adanya tokoh sentral di dalamnya. Misalnya faksi-faksi yang sangat majemuk di dalam PDI-P, tak bisa melahirkan konflik terbuka karena kepemimpinan kharismatik Megawati di partai ini. Para elite di sekitar Mega pun bersaing untuk mendapat tempat paling dekat dengan Mega.

Dalam pola semacam ini, selama Megawati dapat bertahan, rivalitas elite di sekitarnya dapat dikendalikan. Namun yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana PDIP pasca-Megawati, sebagaimana PD pasca-SBY.

Pemimpin Kharismatik

Masalah kepemimpinan tak hanya menjadi hantu pada partai politik. Organisasi lain seperti organisasi massa (ormas), juga banyak nyaris mengalami hal serupa. Hal ini terjadi di organisasi sekelas Nahdlatul Ulama (NU).

Menurut Ketua Umum NU KH. Hasyim Muzadi, pola kepemimpinan kharismatik sebagaimana dalam kultur organisasi, harus diimbangi dengan manajemen keorganisasian yang lebih rapi. Jika tidak, gerakan kultural dalam NU malah akan menghilang. “Kepemimpinan kharismatik memang akan lebih tahan lama ketimbang kepemimpinan rasional. Tetapi, yang kharismatik ini ada lemahnya juga,” kata Hasyim dalam sebuah acara.

Menurut pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Malang itu, dalam pola kepemimpinan kharismatik, tata keorganisasian hanya bertumpu pada sosok dan cenderung berubah-ubah format jika kepemimpinan berubah. “Maka sekarang kita harus melakukan perbaikan-perbaikan organisasi di segala lini. Jadi, siapapun yang akan menjadi pengurus NU ke depan, relnya harus sama dengan pengurus sebelumnya,” kata Hasyim.

Selain itu, menurut Hasyim, dalam pola kepemimpinan kharismatik, keinginan untuk memiliki organisasi lebih besar daripada mengabdi. Akibatnya pada beberapa kasus, misalnya dalam pengelolaan lembaga pendidikan, sering terjadi perebutan kepemilikan, hingga hal penting dalam pengembangan pendidikan pun terabaikan.

Bukan hanya itu pesantren juga bisa terancam jika hanya mengandalkan figur dalam setiap kegiatannya, baik sebagai sebuah komunitas, lembaga pendidikan atau organisasi. Bertumpu pada seorang kiai tanpa mempersiapkan regenerasi yang matang, hanya akan mengantarkan lembaga itu ke ambang kehancurannya sendiri, tandas Hasyim.

=================

Boks 1

Afeksi Figur

Afeksi (affection) secara harfiah adalah semacam status kejiwaan yang disebabkan oleh pengaruh eksternal. Istilah ini sering digunakan untuk menjelaskan hubungan antara dua orang atau lebih, yang lebih dari sekedar rasa simpati atau persahabatan.

Dalam sebuah lembar presentasinya, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani menuliskan, dalam fenomena perjalanan demokrasi di Indonesia, tercuat gejala mengautnya aliansi masyarakat terhadap partai politik maupun figur tertentu berdasarkan kecenderungan afektif (emosional), daripada rasional.

Menurut banyak pakar, hubungan seperti ini cenderung melahirkan pemilih loyal yang akan membantu stabilitas dukungan pada partai. Tapi di lain, lahirlah pemilih “buta”, yang subyektif dan tidak peduli benar atau salah partai yang ia senanginya. Segalanya selalu dianggap benar.

Selain itu, subyektifitas akan menumbuhkan sikap pasrah, ketidakmerdekaan berpikir, fanatisme dan sifat-sifat negatif sejenis. Masing-masing sikap ini hanya melahirkan kecenderungan taqlid buta yang negatif kepada figur tertentu. Bahayanya, loyalitas berlebihan itu, pada akhirnya sangat rentan melahirkan kekerasan politik hingga fisik, terlebih ketika para loyalis merasa figurnya dirugikan atau dizhalimi.

=================

Boks 2

Pembodohan

Bagi Herry Tjahjono, Corporate Culture Therapist dan penulis buku The XO Way: 3, perilaku pemilih dan politik Indonesia memang masih lebih dipengaruhi aspek afeksi daripada sikap lainnya, seperti aspek kognisi (rasional).

Fakta memperlihatkan, saat Pemilu, nyaris tak ada satu partai pun yang memaparkan program-programnya secara rasional. Hampir semua partai hanya mengampanyekan hal-hal yang bersifat normatif yang berisi ribuan janji-janji manis. Kelamahan ini kemudian dimanfaatkan para juru kampanye untuk mempermanis semua “materi pembodohan”, dengan menyertakan aneka materi yang serba bersifat sentimen (emosi) primordial.

Dominannya “psikologi figur”, menjadi bukti dalam kemenangan Partai Demokrat dalam Pemilu April lalu. Fenomena ini menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia masih lebih mementingkan faktor who (siapa) daripada what (apa visinya).

Implikasinya, “Kita masih didominasi hal-hal yang bersifat “sensasi” (who: sosok, figur, kemasan, kulit, dan lain-lain), daripada “esensi” (what: program, output, isi, inti, dan lain-lain),” tandas Herry.

Leave a comment