Penyakit Maknawi

Emmalia Sutiasasmita

Kandidat Magister Psikologi Islam, Universitas Indonesia

Kesehatan adalah mahkota bagi kehidupan manusia yang harus selalu dijaga dan dilestarikan. Kebahagiaan dan kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat, telah menjadi orientasi utama yang diajarkan Islam, dan dinyatakan tak lepas dari nilai kesehatan.

Kecenderungan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keinginan mencapai kebahagiaan, memang telah dilindungi oleh syariat Islam. Tapi, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, syariat memberi batas tegas agar tidak terbawa hawa nafsu secara tak terkendali (kemunkaran). Seperti cara hidup hedonis yang cenderung ingin memuaskan segala keinginan, dan kerap melampaui batas keseimbangan rohani dan jasmani.

Falsafah menyesatkan ini harus dihindari. Salah satu jalan dengan memiliki jiwa yang sehat secara fisik dan metafisik. Sebab, jiwa yang sehat, pasti akan menghadirkan hidup bahagia dan membahagiakan. Kinerja, kepedulian dan kasih sayang juga akan meningkat, dendam akan tiada, diri menjadi tegar dan penuh sabar diri, emosi pun bisa terkendali. Pribadi yang berjiwa sehat, juga akan menjadi pribadi yang mengasyikkan kala berinteraksi.

Dalam sebuah ungkapan dinyatakan, ”Al-’aqlus-salîm fîl jismis-salîm,” (Di dalam akal yang sehat, terdapat jiwa yang sehat pula). Ungkapan tersebut melahirkan kaidah agar kita mendahulukan penjernihan akal dan jiwa dari segala sesuatu yang merugikan. Seperti rasa iri, dengki, dendam, dan perbuatan maksiat.

Kaidah itu juga mengajarkan kita untuk memupuk hal-hal baik. Seperti berpikir positif, tawakal, dan menjaga kesucian hati, yang akan berimplikasi pada komponen fisik. Antara lain membuat metabolisme tubuh teratur, aliran darah lancar, tenang beribadah, hingga semangat menjalankan aktivitas sehari-hari pun muncul.

Pribadi yang sehat secara fisik, mental (jiwa), dan biologis adalah awal untuk menemukan kebahagiaan hakiki. Karena Allah menyukai pribadi yang kuat secara fisik dan mental. Juga, dengan kesehatan, manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Kemunafikan

Di samping penyakit fisik, hal yang paling penting untuk dijaga dari penyakit adalah kesucian hati. Penyakit hati atau penyakit maknawi (al-maradh al-ma’nawi), secara qur`ani disebut dalam firman Allah, ”Di dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Qs. al-Baqarah [2]: 10) Maksudnya, penyakit hati berbentuk kemunafikan atau sikap acuh dalam menerima kebenaran.

Penyakit ini timbul akibat kekosongan hati dari penjagaan, taufîq, pemeliharaan dan dukungan Allah. Maka, al-maradh (penyakit) di sini mengandung arti kegelapan (azh-zhulmah), atau kiasan bagi sesuatu yang menimpa seseorang yang menodai kesempurnaan dirinya. Seperti sifat marah, lupa, akidah yang buruk, dengki, dan lain-lain yang menodai dirinya dan mengakibatkan rusaknya rohani. Dan kerusakan ini lebih dahsyat daripada kerusakan jasmani.

Hakikat penyakit maknawi atau penyakit hati, disebut juga sebagai kemunafikan. Orang-orang munafik biasa suka menipu, menampakkan keimanan padahal terus dalam kekafiran. (Qs. 2:10, 5:52, 8:49, 9:125, 22:53, 24:50, 33:22 dan 60, 47:20 dan 29).

Mereka tak sadar, saat mereka menipu, sebenarnya mereka hanya menipu diri sendiri. Sebab, akibat perbuatan menipu, mereka akan merasakannya sendiri. Yaitu bertambahnya penyakit hati yang mereka derita, karena tak lekas sadar diri. Seperti dinyatakan dalam surah al-Baqarah ayat 2 di atas.

Selain melakukan penipuan, orang munafik juga cenderung mempunyai penyakit penyimpangan hati. Seperti disebutkan dalam banyak ayat-ayat al-Qur`an dengan kata az-zaigh (penyimpangan) (Qs. 3:7, 3:8, 61:5, 4:142-143). Az-zaigh berarti berpaling dari kebenaran, yang bermakna penyimpangan, dan merupakan fitnah. Orang-orang yang yang tak tahu bahwa diri mereka terjerumus ke dalam syubhat dan kesamaran, maka mereka akan masuk dalam kesesatan. Dengan kesesatan ini, berarti hati mereka telah dicondongkan kepada kesesatan yang ada.

Bergabungnya kecondongan kepada kesesatan dengan penyakit hati, merupakan salah satu sifat orang-orang munafik. Sifat seperti ini dapat kita temui pada sikap mereka yang tidak konsisten dalam menghadapi perubahan. Ucapan mereka pun mudah berubah-ubah.

Pembagian hati

Menurut para Sahabat Rasulullah, seperti Abu Sa’id al-Khudri RA, hati manusia dibagi menjadi empat jenis: Pertama, qalbun ajrad, hati yang di dalamnya terdapat pelita yang gemilang, dan inilah hati orang-orang yang beriman. Kedua, qalbun aghlaf, yaitu hati orang-orang kafir. Ketiga, qalbun mankûsh, yaitu hati orang-orang munafik yang sebenarnya mengetahui tapi kemudian ingkar, atau hati yang melihat tapi kemudian buta. Keempat, qalbun mutaraddid, berupa hati yang di dalamnya ada materi keimanan dan kemunafikan, ia akan condong kepada pemenang antara kedua materi tersebut. (HR. Ahmad dalam Musnad)

Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, hati terbagi menjadi tiga: Pertama, hati yang sehat, yaitu hati yang menjadikan pemiliknya selamat di hari Kiamat kelak. Hati seperti ini adalah hati yang selamat dari syahwat yang menjauhi larangan Allah dan syubhat yang bertentangan dengan perintah-Nya. Serta hati yang senantiasa mengutamakan keridhaan Allah dalam segala hal. Hati jenis ini dikatakan sebagai hati yang hidup, tunduk, lembut dan sadar.

Kedua, hati yang mati. Yaitu hati yang tidak memiliki kehidupan, tak bisa lagi mengenal Allah, tak mengikuti perintah-Nya, dan tak tahu lagi mana yang Allah cintai atau ridhai. Hati yang mati akan terus bergelimang bersama syahwat dan kelezatannya, dan mengutamakan hawa nafsu. Ia akan kering kerontang, dan kemudian mati.

Ketiga, hati yang sakit. Yaitu hati yang masih memiliki kehidupan, namun terjangkit penyakit hati. Hati seperti ini memiliki dua kecenderungan, terkadang ditarik oleh materi yang baik, dan terkadang kepada yang buruk. Ia akan condong kepada materi yang menyenangkan. Hati jenis ini akan dekat kepada keselamatan, tapi juga rentan kepada kehancuran. Maka, hati-hatilah dengan hati kita.

Bahan Bacaan:

Ahmad Husain Ali Salim, Al-Maradh wa asy-Syifâ` fi al-Qur`ân (Terapi al-Qur`an untuk Penyakit Fisik dan Psikis Manusia), Astana Buana Sejahtera, Jakarta.

Leave a comment