Mengubah Jiwa Pengemis

Sofyan Badrie

Puluhan pengemis terlihat ramai di setiap pintu masuk Masjid Istiqlal, Sabtu (29/8) dini hari. Mereka, yang terdiri dari orang buta, wanita-wanita tua, dan anak-anak kecil, menggelar koran dan bekas kardus untuk tidur di teras-teras dan selasar masjid terbesar di Asia Tenggara itu.

Saat azan Subuh berkumandang, mereka mulai bangun dan melancarkan aksi. Menunggu para jamaah shalat Subuh datang, sambil menadahkan tangan, mereka cegat setiap orang yang hendak masuk ke masjid.

Hira, seorang pengemis perempuan yang dijumpai Majalah Qalam, beberapa waktu lalu, di teras pintu al-Fattah, mengaku telah mengemis di masjid tersebut sejak awal Ramadhan tahun ini. Menurutnya, Ramadhan memang selalu menjadi berkah bagi dirinya dan dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). “Lumayanlah, untuk penghasilan bagi pengangguran seperti saya,” kata perempuan yang tinggal di pinggir rel Stasiun Senen, Jakarta Pusat.

Hal serupa dilakukan Epa, pengemis perempuan yang berusia lebih muda. Sambil menggendong putri semata wayangnya, berhari-hari ia telah berkeliaran di sekitar Istiqlal. Epa mengaku, selain mendapatkan uang cukup, ia juga memperoleh makanan di masjid tersebut. Masjid Istiqlal memang selalu menyediakan makanan untuk sahur dan buka puasa. “Madang kami diberi uang banyak oleh jamaah dari India dan Arab,” ujarnya.

Aliudin, petugas pengatur pintu keluar di Masjid Istiqlal, mengatakan, sejak hari pertama Ramadhan para pengemis memang mulai membeludak dan datang dari segala penjuru Jakarta. Mereka biasanya datang menjelang Maghrib dan pulang setelah Subuh.

Awalnya, para petugas keamanan berusaha mengusir mereka. Namun, saking banyaknya, terpaksa dibiarkan saja. “Kalau sudah diusir, mereka sering kembali lagi,” kata Aliudin.

Fenomena Sosial

Fenomena maraknya pengemis hampir terjadi di seluruh wilayah di Jakarta. Tak hanya di masjid-masjid, di perempatan-perempatan jalan juga kian banyak ditemui para pengemis yang menunggu pemberian makanan atau uang dari para pengguna jalan.

Ditanya pendapatnya mengenai hal ini, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Ma’ruf Amin, mengatakan, perilaku mengemis dilarang jika dengan tujuan memanfaatkan momen Ramadhan. “Jika mereka adalah orang-orang yang memanfaatkan momen untuk mengeruk keuntungan, perbuatan mereka itu dilarang agama. Begitu juga, jika mengemis di tempat-tempat yang mengganggu lingkungan, seperti di perempatan-perempatan jalan atau jembatan penyeberangan,” katanya kepada Majalah Qalam beberapa waktu lalu di Jakarta.

Ia mengimbau agar segera dilakukan penertiban. Tapi, MUI Pusat tidak mengharamkan kegiatan mengemis ini. Menurut Ma’ruf, fenomena ini harus dilihat dulu konteksnya. Dalam sebuah hadits sangat jelas disebutkan laangan untuk meminta-minta, kecuali jika dalam keadaan sangat terpaksa. Dan bisa jadi, pengemis yang marak belakangan ini memang benar-benar butuh untuk menafkahi keluarga, dan mereka tengah menganggur atau sedang dililit hutang. “Karena itu, latar belakang sosial ekonomi perbuatan meminta-minta harus dikaji secara mendalam,” tegas Ma’ruf.

Tugas Negara

Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nasir, memandang fenomena membeludaknya pengemis di bulan Ramadhan adalah cermin buruknya mental orang-orang miskin. “Lembaga-lembaga negara maupun keagamaan, wajib merasa terpanggil untuk menciptakan spirit bagi orang-orang ini,” katanya.

Yang pertama yang harus diciptakan, kata Haedar, adalah etos kerja. “Karena hasil dari bekerja, bagaimanapun, lebih mulia daripada meminta-minta,” tegasnya. Kedua, etos untuk aji mumpung atau tidak memanfaatkan bulan Ramadhan hanya untuk mengemis. Dan ini berlaku bagi semua orang, bukan hanya para pengemis.

Namur Haedar tidak sepakat jika mengemis diharamkan. “Sebaiknya jangan meletakkan masalah mengemis sebagai masalah teologis semata. Namun juga sebagai masalah kebijakan negara agar ada penyelesaian masalah secara komprehensif,” katanya.

Negara, imbuh Haedar, seperti tertera dalam UUD 1945 memiliki peran untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak telantar. Sayangnya saat ini, banyak hak-hak orang miskin terenggut oleh orang-orang yang berkecukupan. Karenanya, menjadi tugas negara dan para pejabat publik untuk memecahkan masalah ini melalui kebijakan negara.

Bulan Ramadhan, kata Haedar, harus dijadikan oleh setiap Muslim sebagai bulan muhâsabah, bulan introspeksi diri. “Kita harus mengadaptasikan nilai-nilai puasa kita menghadapi persoalan kemanusiaan, seperti fenomena pengemis ini,” katanya menandaskan.

Boks 1

Mengubah Jiwa Pengemis

Psikolog Koentjoro dari Universitas Gajahmada (UGM) pernah meneliti kehidupan pengemis di Desa Karangrejek dan Mojolegi, Yogyakarta. Keadaan alam yang tandus mendukung penduduk desa itu menjadi pengemis, ditambah mereka miskin materi dan miskin motivasi.

Dari penelitiannya, ia menemukan, mengemis sudah menjadi tradisi warisian, atau kemiskinan yang menghasilkan kemiskinan. “Inilah kaitan profesi pengemis dengan kemiskinan struktural,” kata Koentjoro. Rantai kemiskinan itu bersambung, sebab tak ada lagi motivasi untuk maju di kalangan pengemis.

Sebenarnya, menurut Koentjro, yang dibutuhkan para pengemis bukanlah sedekah, tapi upaya membangkitkan motivasi mereka agar tidak menularkan jiwa mengemis. “Mental mereka harus diperbaiki agar mau berjuang memperbaiki keadaan,” tegas dosen psikologi Universitas Gadjah Mada ini.

Koentjro menemukan fakta, para pengemis asal kedua desa itu memang miskin. Bukan karena mereka malas bekerja. Tapi sayangnya, kebiasaan penduduk dua desa untuk mengemis sudah menjadi kultur di balik kemiskinan yang mendera mereka. Sehingga di sana ada pemeo, “Mengemis pekerjaan halal, tidak melanggar ajaran agama dan peraturan pemerintah.”

Pandangan hidup ini, imbuh Koentjro, lama kelamaan melunturkan harga diri mereka. Dan mereka menjadi “miskin lahir batin”. Dari hasil observasinya, ia menemukan sudah tak ada lagi motivasi penduduk di sana untuk berprestasi. Di sisi lain, seperti kebanyakan masyarakat desa, mereka miskin informasi yang bisa mengembangkan wawasan pikiran mereka.

Seperti lingkaran setan, mentalitas rapuh ini berinteraksi dengan terbatasnya lahan penduduk di sana untuk bertani. Buahnya adalah kemiskinan, yang mereka tutupi dengan jalan mengemis. Karena penghasilan dari mengemis tidak buruk, dan cukup untuk mereka hidup, kegiatan ini pun mereka jadikan profesi. ”Mereka lalu kehilangan peluang untuk mengubah kemiskinan,” ujar pemenang kedua lomba penelitian kongres perkumpulan ilmu sosial (HIPIIS) ke-6 di Yogyakarta itu.

Koentjoro bersama tim yang terdiri dari istrinya dan seorang rekan psikolog, mencoba memecahkan lingkaran setan ini. Meraka berusaha menemukan ikhtiar yang efektif untuk mengubah mentalitas penduduk kedua desa itu.

Mereka coba terapkan metode AMT (Achievement Motivation Training). Dasar pemikiran metode ini: motivasi meningkatkan prestasi berkaitan langsung dengan naiknya penghasilan. Dalam percobaannya, mereka libatkan 120 penduduk dua desa ini, yang diajarkan norma, latihan kecermatan, dan diskusi. Persepsi diri mereka juga dipertajam.

Kemudian, tim Koentjoro membawa penduduk ke berbagai pusat industri, termasuk pusat industri rumah tangga dan pusat pemasaran produk kerajinan. Upaya ini untuk memperlihatkan kepada penduduk bahwa masih banyak jalan lain bagi mereka untuk meninggalkan profesi pengemis. Lalu dengan bantuan modal dari dinas sosial, para pengemis itu didorong agar berusaha.

Upaya itu berhasil. Taraf hidup penduduk pun berhasil naik, setelah Koentjoro dan tim menerapkan metode gabungan AMT, bantuan modal, dan karya wisata: memperkenalkan sarana dan pranata usaha.

Keunggulan metode gabungan ini tampak pada hasil tes. Terdapat perbedaan mencolok antara hasil tes sebelum rehabilitasi dan sesudahnya. Dan untuk pertama kali, penduduk tertarik pada wirausaha. Padahal sebelumnya, dinas sosial sudah berkali-kali menggelontorkan bantuan dana untuk mengubah kebiasaan mereka.

Boks 2

Peran Pendidikan

Hal terpaling dan menentukan di balik fenomena pengemis adalah faktor pendidikan. Dari sekian ribu pengemis yang terjaring oleh dinas sosial di Jakarta, misalnya, hampir dapat dipastikan mereka tak pernah mengenyam pendidikan yang memadai. Tidak jarang mereka adalah anak-anak putus sekolah. Bahkan, mereka ada yang tak pernah mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan sama sekali.

Walhasil, mereka tak memiliki wawasan dan kecakapan hidup, sehingga mereka sulit bersaing di dunia kerja. Karena tidak memiliki pekerjaan dan tak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka menjadi kelompok sosial yang terpinggirkan. Mengemis pun menjadi jalan keluar bagi mereka.

Leave a comment