Sugesti Sembuh Ala Ponari

Tak ubahnya bocah cilik lainnya yang lugu, namun dengan batu yang ada di genggamannya ia berubah menjadi “dewa penolong”.

Januari lalu, hujan mengguyur Dusun Kedungsari, Jombang, Jawa Timur, saat itulah kilat menyambar sebongkah batu berbentuk kepala belut yang dipegang Ponari, bocah kelas tiga SD itu. Entah siapa yang mempunyai ide pertama, batu dimasukkan ke dalam air dan beramai-ramailah orang menjadikannya sebagai obat sakti yang bisa menyembuhkan semua penyakit. “Ini bisa menyembuhkan kanker, jantung dan paru-paru,” ujar Ponari dalam suatu kesempatan.

Nalar sehat bisa saja tak percaya. Namun sejak batu itu ditemukan, ribuan orang setiap harinya rela antri menunggu “berkah” batu petir. Ponari tak lagi bisa bersekolah, bangku tempat ia biasa duduk belajar dibiarkan kosong. Semakin hari jumlah manusia yang datang tidak memperlihatkan tanda-tanda akan berkurang. Bahkan, kian berjubel berdesak-desakan. Akibatnya, empat orang tewas terhimpit dan kelelahan berdesakan.

Para calon pasien yang datang bukan monopoli kalangan tertentu. Irasionalitas telah menjelma dan menjangkiti banyak orang. Banyak masyarakat percaya, bahkan mengaku sembuh setelah mendapat pengobatan tak lazim itu. Ketika pengobatan Ponari terpaksa dihentikan, masyarakat ada yang nekat mengais air yang mengalir dari kamar mandi Ponari, untuk dijadikan obat.

Tak hanya air sumur Ponari. Sumur tetangganya pun juga diminati. Saking banyak jumlah pasien, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, pernah mengusulkan, agar Bupati Jombang membuatkan tandon air. Sehingga orang-orang bisa langsung mengambil air melalui kran-kran yang ada, dan Ponari tak terganggu dengan banyaknya pasien. Usul Kak Seto ini terasa menandakan bahwa pengobatan Ponari sulit dihentikan.

Bukan Karena Ponari

Menurut dosen Fakultas Psikologi di Universitas Darul Ulum Jombang, Dra. Denok Wigati, Msi., kepercayaan terhadap mitos dan stereotipe masih sangat lekat dalam masyarakat Indonesia. Jika diprosentase, 75% masyarakat cenderung lebih percaya mitos ketimbang ilmu pengetahuan.

Begitu rebak kabar tentang “kelebihan” Ponari, banyak masyarakat lekas percaya. Meski cara pengobatan dengan air yang dicelup batu itu nampak tak lazim, mereka tidak mempermasalahkan. “Apalagi setelah beberapa orang yang berobat mengaku sembuh, muncul sugesti,” ungkap Wigati.

Sugesti adalah perasaan atau pendapat yang benar-benar tanpa kritik. Dalam diri orang yang tersugesti, baik penalaran, rasio, dan logika sudah tak berlaku lagi.

Wigati menjelaskan, ada dua jenis orang paling mudah tersugesti. Pertama, orang yang sedang dalam krisis mental. Misalnya, orang yang sudah lama tertimpa penyakit. Meski sudah menghabiskan biaya besar untuk berobat, penyakitnya tak kunjung sembuh, dan saat mendengar suatu pengobatan di luar nalar dan dikabarkan ampuh, ia ingin segera mencoba.

Kedua, orang yang kurang percaya diri. Misalnya, menganggap bahwa penyakitnya di luar jangkauan medis. Orang yang beranggapan seperti itu, cenderung mencari pengobatan yang tak lazim pula.

Wigati melihat, semua orang yang datang ke tempat Ponari sudah tersugesti. Dalam perasaan mereka sudah tertanam kuat, bahwa mereka akan sembuh setelah meminum air ”khas” Ponari. Dengan kuatnya sugesti itu, aspek lain, seperti penalaran dan logika, semakin melemah.

Dalam keadaan jiwa yang tenang, tiga faktor dalam jiwa manusia (aspek kognisi –penginderaan-, afeksi –perasaan-, dan konasi –dorongan-), sama besarnya. Tapi jika ada energi fisik dominan di salah satu aspek, maka aspek lainnya akan mengecil. Seperti halnya jika faktor afeksi yang menguat hebat, kognisi dan konasi pun seakan menghilang.

Di tingkatan yang lebih dahsyat, sugesti akan menimbulkan hipnosa. Seperti umum diketahui, hipnosa bisa membuat orang melakukan hal-hal di luar kendali dirinya. Padahal, hipnotis hanyalah “memainkan” perasaan seseorang.

Menurut Wigati, hal inilah yang terjadi pada diri orang-orang yang sembuh setelah meminum air Ponari. Memang banyak pasien Ponari yang mengaku sudah melakukan pengobatan medis, bahkan dengan teratur, namun belum ada hasil.

Dari sisi pemberi sugesti, biasanya juga memiliki dua ciri: orang yang terpercaya, dan orang yang berwibawa. Dalam konteks Ponari, bocah SD yang prestasi akademiknya sebenarnya tidak membanggakan, ia bisa dimasukkan dalam kategori pertama. Ponari semakin dipercaya, karena tak sedikit orang yang mengaku sembuh. Ditambah membeludaknya pengunjung di kampung Ponari, yang memunculkan kesan bahwa pengobatan alternatif itu manjur, dan membuktikan banyak orang yang percaya padanya.

Belum lagi latarbelakang kisah mistis Ponari yang disambar petir. Bahkan ada orang yang mengaitkan penemuan batu ”petir” Ponari itu dengan kisah Ki Ageng Sela, salah satu tokoh di Mataram Islam yang menangkap dan memenjarakan petir. ”Sepertinya faktor pendidikan dan ekonomi masyarakat kita masih terkait dengan fenomena ini,” pungkas Wigati.

Sementara itu, dosen Psikologi Universitas Diponegoro, Hastaning Sakti berpendapat, sugesti ini antara lain disebabkan karena masyarakat tengah dihinggapi rasa kurang percaya pada hal-hal yang bersifat medis. Karena perawatan medis biasanya membutuhkan proses panjang hingga pasien bisa sembuh. Selain itu, hasil yang didapat melalui pengobatan medis, biasanya menampak sedikit demi sedikit. “Masyarakat sekarang lebih suka hal yang instan. Tak mau repot menunggu lamanya proses,” katanya.

Dukun Baru

Pengobatan ala Ponari yang mendatangkan calon pasien dengan jumlah sangat fantastis itu, kini rupanya mengundang munculnya ”dukun-dukun” baru. Salah satunya bocah cilik bernama Dewi Sulistyowati (14 tahun) asal Dusun Pakel, Desa Brodot, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Jombang. Berhembus kabar bahwa Dewi juga menggunakan media batu sebagai alat pengobatan.

Achmad Ikhsannuddin (32 tahun), warga Dusun Kebondalem RT 2/1, Desa Kebondalem Kecamatan Bangorejo, Banyuwangi juga mengaku juga memiliki batu ”petir”. Laki-laki tuna netra ini menemukan batu di bawah pohon kelapa yang tersambar petir pada 1990, sebelum menjadi tuna netra.

Setelah Jombang dan Banyuwangi, muncul lagi Irfan Maulana (6 tahun), asal Kampung Baru, Desa Kamal, Bangkalan Madura. Bocah ini sejak 12 Februari lalu telah melakukan pengobatan dengan media yang juga berasal dari batu. Sungguh ironis keluguan bangsa ini. (Islah)

Leave a comment