Berkarir Tetap Bertanggungjawab

Umu Kalsum dan Nida Arifin

Perkembangan zaman menuntut kaum wanita tak hanya berkutat pada persoalan domestik rumahtangga, tapi juga publik. Mungkinkah dilakukan seimbang dan bertanggungjawab?

Sariati, 54 tahun, ibu enam anak yang semuanya sarjana, sukses menjadi ibu rumahtangga sekaligus pedagang sembako. Suaminya Burhanuddin, 58 tahun, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah departemen. Keduanya tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah.

Sebelum menikah pada 1970, Sariati pernah bekerja sebagai karyawan swasta. Tapi kemudian ia memutuskan berhenti bekerja pada 1974, ketika anak pertamanya lahir. Ia ingin mengurus suami dan rumahtangganya, dan yang terpenting ingin mendampingi anak-anaknya hingga tumbuh dewasa.

Setelah anak-anaknya dewasa, pada 1997 ia mulai bekerja lagi, tapi tidak sebagai karyawan. Soal waktu menjadi pertimbangannya untuk bekerja di luar rumah. Ia lalu membuka usaha kecil-kecilan sebagai pedagang sembako, dan alhamdulillah sukses.

Bagi Sariati, yang enggan menyampaikan omzet tokonya, menjadi wanita karir itu tak harus di kantor atau membuka bisnis besar-besaran. Kalau sudah mampu menjalankan usahanya sendiri secara ulet, itu sudah bisa disebut wanita karir. ”Dengan banyak waktu dan menjadi teman untuk anak, itu jauh lebih membahagiakan daripada berkarir dengan berlimpah materi tapi keluarga tidak bahagia,” tandas Sariati.

Sikap seperti Sariati, sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Urusan wanita karir dalam arti bekerja di luar rumah, bukanlah hal yang aneh alias biasa-biasa saja dalam Islam. Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah, adalah seorang pedagang besar. Beberapa putri sahabat juga bekerja.

Setelah dinikahi Zubair ibn Awam, Asma binti Abu Bakar berkata tentang dirinya, “Aku membantu semua pekerjaan di rumah Zubair. Aku mengangkat timba dan mengambil air minum. Aku membawa biji tanaman di atas kepala dari kebun.”

Aisyah dan Ummu Sulaim juga membantu tentara Islam dalam perang Uhud sambil membawa air dan segala kebutuhan mereka. Demikian pula Aminah binti Qais al-Ghifariah. Ia mengalami luka berat dalam perang Khaibar. Maka setelah perang berakhir, Rasulullah mengalungkan sebuah kalung di leher Aminah sebagai tanda penghargaan. Kalung tersebut terus ia kenakan hingga akhir hayatnya.

Karir dan Tanggungjawab

Kodrat wanita tak boleh tergeserkan oleh sebuah karir. Alangkah hebatnya seorang wanita yang memiliki karir, tapi mampu tetap bertanggungjawab menjalani kodratnya sebagai ibu bagi anak-anak dan istri bagi suaminya.

Allah SWT menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik berbeda. Secara alami (Sunnatullâh), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya, yaitu menghidupi keluarga secara layak.

Sementara wanita mengemban tugas sangat berat untuk mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak, serta menstruasi, yang tak jarang membuat kondisi fisiknya labil. Tepatlah jika al-Qur`an menegaskan, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Qs. Luqmân [31]: 14)

Oleh karena itu, Islam menghendaki agar wanita dapat melakukan pekerjaan atau karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya dalam bekerja. Tapi, banyak aspek yang harus tetap dijaga: kehormatan diri, kemuliaan, ketenangan, dan menjauhkan diri dari pelecehan dan pencampakan.

Islam tidak melarang wanita beraktifitas di luar tanggungjawab rumahtangga. Dalam al-Qur`an banyak sekali ayat yang menerangkan bahwa laki-laki dan wanita yang berbuat baik akan mendapat pahala dan ganjaran yang sempurna. Barangsiapa yang menentukan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, maka Allah akan menghidupkan mereka kembali di Akhirat kelak dengan penghidupan yang baik.

Dalam tradisi keilmuan, Rasulullah SAW sering mengajari para wanita tentang berbagai ilmu. Bahkan Aisyah RA istri beliau sering mengajari para Sahabat yang laki-laki berbagai ilmu, khususnya terkait ilmu hadits. Sementara Siti Khadijah RA, terkenal sebagai istri Rasulullah yang sukses menjadi pedagang dan entrepreneur.

Namun tak boleh dilupakan, usaha dan kerja yang dilakukan wanita tak boleh bertentangan dengan syariat agama. Juga tanpa melupakan fungsi dan perannya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak. Tujuan dan niat usaha dan bekerja harus benar-benar demi kebaikan. Seperti membantu ekonomi keluarga atau ingin mengabdikan diri pada agama, bangsa dan negara.

Self Management

Pertanyaan yang kemudian muncul, mungkin atau bisakah kaum wanita menyeimbangkan diri antara tugas mengurus rumahtangga dan pekerjaan yang dituntut zaman?

Sejatinya itu mungkin dan bisa. Kenapa? Karena keseimbangan itu tidak ditentukan oleh hal-hal yang di luar diri seseorang, melainkan oleh bagaimana ia mengatur apa yang ada di dalam dirinya (self management).

Saat ini banyak perempuan yang menjadi ibu rumahtangga sekaligus bekerja (berkarir), dan berhasil. Penulis Asma Nadia, 37 tahun, membuktikan bahwa menjadi ibu rumahtangga yang baik tak berarti harus memupuskan harapan kita untuk berkarir di bidang yang kita sukai.

Ibu dua anak ini memilih dunia tulis-menulis sebagai bidang yang ditekuninya. Saat ini, sudah 33 buku ia tulis, sehingga namanya pun populer di kalangan pembaca. Salah satu bukunya, Catatan Hati Seorang Istri, menjadi buku best seller dan membawa Asma sebagai penulis baru yang disegani.

Menurut istri Isa Alamsyah ini, ketika seorang perempuan sudah memutuskan untuk bekerja, ia harus punya kemampuan mengatur waktu yang baik. ”Hal ini agar anak-anak tetap melihat nilai plus dari ibunya. Dan jangan pernah membawa pekerjaan kantor ke rumah,” tandasnya.

Selain itu, yang tak kalah penting, adalah meluruskan niat dalam bekerja. Untuk apa dan siapa? ”Kalau untuk menyejahterakan anak dan keluarga, itu akan lebih baik,” ujar Asma yang bersama suaminya pernah dinobatkan sebagai Pasangan Kompak dari Majalah Ayah Bunda tahun 2000.

Syarat Halal Karir Wanita

Pada prinsipnya wanita Muslimah tidak diwajibkan bekerja maupun mencari nafkah. Kewajiban itu ada di pundak suaminya, dan jika belum bersuami, menjadi tanggungjawab ayah atau walinya (QS al-Baqarah [2]: 233, dan an-Nisâ` [4]: 34). Rasulullah SAW juga pernah berpesan kepada para Sahabatnya, “Kalian wajib memberi mereka (kaum wanita) makan dan pakaian yang patut.” (HR Muslim)

Berkarir, maksudnya bekerja di luar rumah, membawa banyak persoalan. Karenanya Allah berfirman, “Hendaklah kaum wanita tetap di rumahnya, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dulu.” (QS al-Ahdzâb [33]: 33)

Tapi karena tuntutan, saat ini banyak wanita terpaksa turut mencari nafkah. Fenomena ini sejatinya tidak terus menjadi polemik dan perdebatan. Karena, kondisi seperti ini bukan hal baru, dan bukan hanya terjadi sekarang. Dalam al-Qur’an surah al-Qashash ayat 23 diceritakan kisah dua orang putri Nabi Syua`ib AS yang berlelah bekerja dan antri mengambil air untuk minum ternak mereka, karena sang ayah, Nabi Syu’aib, yang bertugas menafkahi sudah lanjut usia.

Banyak keutamaan mengapa Islam memberi dispensasi dan tidak membebani wanita tanggungjawab untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri, apalagi orang lain. Salah satunya, memberi mereka peluang untuk mendidik anak dan mengurus suami. Dengan fokus terhadap pekerjaan ini, mereka juga akan terlindungi dari pelecehan atau penistaan.

Namun, usaha wanita untuk bekerja dan mendapat penghasilan guna meringankan beban keluarga, bukanlah sesuatu yang haram. Karena pada prinsipnya, Islam mengarahkan kaum wanita agar tetap dapat mengutamakan tugas fitrahnya, sekalipun saat bekerja. Ia tetap harus mengedepankan tugas mengurus rumahtangga dan mendidik anak bersama suami, tidak melanggar fitrah dan syariat, kehormatan diri dan keluarga juga harus terus dijaga.

Andai mau bekerja, pekerjaan yang dilakukan hendaknya benar-benar yang membutuhkan penanganan wanita, dan sesuai fitrah kewanitaannya. Seperti dokter kandungan, perawat, guru, dosen, dan pekerjaan relevan lainnya. Saat bekerja, juga tak boleh bercampur dengan laki-laki. Jam kerjanya tak boleh melebihi kewajiban pokok untuk mengurus keluarga. Di samping harus ada persetujuan ayah, suami, atau saudara laki-laki yang bertanggungjawab atas dirinya.

Dengan begitu, wanita akan tetap dapat menjaga jati dirinya sebagai hamba Allah yang shalihah. Lalu, siapakah wanita shalihah itu? Rasulullah menerangkannya, “Wanita yang menyenangkan jika dipandang, menurut jika diperintah, tidak mengingkari diri dan hartanya dengan sesuatu yang dilarang.” (HR Nasa`i).

====

Boks 1

Karir House Wife

“Ibu rumahtangga juga capek loh. Harus mikirin masakan hari ini, merawat dan mengajari anak, belum lagi urusan beres-beres rumah. Dulu saya merasa iri dengan wanita karir, tapi setelah menjalani amanah sebagai house wife, ternyata banyak hal menjadi lebih bermakna daripada wanita karir. Asalkan kita bisa mengikuti perkembangan zaman, yang tentunya positif,” aku seorang wanita yang menyebut dirinya “Cutemom cantik” di blog tempat curah hatinya.

Jelas, menjadi ibu rumahtangga, tak selalu harus menjadi inferior, tak punya kebanggaan karena tidak berkarir di gedung-gedung pencakar langit, misalnya di daerah/kawasan bisnis.

Menjadi ibu rumahtangga sekaligus menjadi pemilik usaha rumahan (home industry) bisa menjadi salah satu alternatif bentuk aktualisasi diri wanita Muslimah dalam komunitas sosial maupun masyarakatnya.

Ada tiga kelebihan menjadi ibu rumahtangga sekaligus menjadi pemilik home industry:
– Punya banyak waktu memberi perhatian kepada anak.

– Usaha di rumah, memberi tambahan pendapatan keuangan keluarga. Bahkan bagi sebagaian orang menjadi sumber pendapatan utama keluarga.

– Usaha di rumah, memberi banyak waktu untuk bisa belajar berproses mengembangkan usaha.

– Usaha di rumah, umumnya dapat dimulai dari modal yang kecil, biaya operasional yang lebih kecil, dan dapat dimulai kapan saja.

===

Boks 2

Resiko Wanita Karir

Ruang aktivitas wanita kian melebar. Yang dulunya hanya berkutat di seputar domestik, kini telah merambah wilayah publik. Tapi imbasnya, banyak masalah timbul. Dr Muhammad Albar (Wanita Karir dalam Timbangan Islam: Kodrat, Kewanitaan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual), menangkap beberapa fenomena umum. Di antaranya:

– Diskriminasi pemilik modal terhadap upah dan perlakuan terhadap buruh wanita.

– Eksploitasi sosok dan tubuh wanita untuk kepentingan bisnis.

– Dengan berbaurnya wanita dan pria, terjadi peningkatan perselingkuhan dan perzinahan.

– Desakralisasi institusi keluarga.

– Karena merasa sudah punya penghasilan sendiri, sebagian wanita karir cenderung merasa tak lagi tergantung pada suaminya, dan suka berpolah seenaknya.

– Urusan rumahtangga dan pengawasan anak-anak terbengkalai.

– Tidak harmonisnya kelurga. Akibatnya, angka cerai, khususnya di kota-kota besar, terus menikat tajam tiap tahunnya.

– Pakaian kerja yang tidak menutupi aurat, cenderung memancing syahwat dan mendorong terjadinya pelecehan seksual.

====

Boks 3

Rambu Karir Wanita

Islam tidak melarang seorang Muslimah untuk belajar atau bekerja. Bahkan Islam tak menghendaki wanita hanya tinggal diam di dalam rumah. Tapi, bagi yang ingin berperan dalam kerja maupun kegiatan sosial, ada aturannya:

Izin suami

Dalam sebuah hadis disebutkan, Rasulullah SAW melarang istri berpuasa atau mempersilahkan tamu asing masuk ke dalam rumah, selain atas izin suami. (HR Muttafaq ‘alaihi)

­ Mengutamakan tuntutan rumahtangga ketimbang tuntutan kerja

Rasulullah bersabda, “Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suami dan atas anak-anaknya. Ia akan diminta pertanggungan jawab tentangnya.” (HR Muttafaq ‘Alaih)

– Menghindari ikhitâth, atau bercampur dengan laki-laki, sebab akan menimbulkan fitnah. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Leave a comment