Kerja Berat Pemimpin Bangsa (Edisi 2)

Pemilihan Presiden tinggal beberapa hari lagi. Euforia pemilihan presiden secara langsung kedua, menggelora hingga pelosok tanah air. Di pojok-pojok tempat, ruangan dan alam terbuka, masyarakat sangat aktif berdiskusi, menilai dan memilah calon pilihan yang mereka anggap layak memimpin tanah air tercinta mereka. Asa mereka hanya satu: ingin perbaikan.

Perbaikan dalam semua sektor. Dari yang prinsip, hingga yang mengawang dan ideal. Tiga calon yang ada, seperti diungkap calon wakil presiden (Cawapres) Wiranto, memang merupakan sosok-sosok terpilih dari ratusan juta anak bangsa ini. Mereka memang pilihan dari yang terbaik atau yang terburuk. Karena sistem yang telah dibuat, seperti ketiadaan calon independen, memaksa hanya merekalah calon yang “jadi” pilihan.

Benarkah mereka sosok-sosok terpilih yang mewakili aspirasi nyata rakyat Indonesia? Ataukah mereka hanya “simbol” pilihan yang terbatas itu? Sementara ini, harus kita terima kenyataan, bahwa hanya merekalah yang dapat kita pilih.

Secara umum, skema perpolitikan Indonesia tengah kembali ke masa lalu, dengan terbelahnya opini politik dalam unsur nasionalis dan religius. Ketika Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memilih Boediono sebagai calon wakilnya, banyak kalangan kecewa, karena ragu dengan kereligiusan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu. Bola panas isu jilbab non-jilbab istri pasangan ini sempat mengemuka.

Bagi kalangan agamis, itulah salah satu pertanda kekurang religiusan. Tapi ironisnya, partai-partai yang berkonstituen muslim, malah berkoalisi dengan pasangan itu. Apakah ini bertanda gambar, simbol dan yel-yel “Allahu Akbar” saat mereka kampanye harus luluh dengan jerat iming-iming kursi di pemerintahan? Apa yang tengah terjadi?

Wallahua’lam. Sisanya, masyarakat muslim kembali harus menentukan pilihannya secara rasional menurut taraf intelektualitas dan keyakinan masing-masing. Sulit rasanya untuk kembali percaya dan mengekor pada partai, ormas, atau apapun afiliasi sosial-politik yang ada. Sebab, pemimpin negara mendatang, harus menjadi milik semua golongan.

Secara mental, bola-bola liar perubahan aliansi politik dalam koalisi maupun kampanye Pilpres yang mungkin telah “mengecewakan”, akan membuat masyarakat muslim kian cerdas. Cerdas secara mandiri menentukan pilihan tertepat bagi diri mereka, lepas dari jaring aliansi politik, apalagi primordialisme seperti masa lalu.

Tinggal calon pemimpinnya yang diuji, sampai sejauh mana kiprah mereka telah terbukti “diminati” masyarakat. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang tengah miris, umumnya akan mendorong mereka mencari pemimpin yang mampu berperan sebagai “pelindung”. Pelindung dalam kelaraan hidup yang terus menjepit.

Sosok pengemong juga akan menjadi pilihan mereka. Karena kebanyakan rakyat Indonesia memang masih butuh “emongan” yang dapat menentramkan hati mereka. Bukan dengan janji, tapi bukti dan aksi. Jangan lagi kita terus dibodohi oleh janji-janji yang tak terbukti.

PR pemimpin mendatang sangat berat. Bukan hanya sektor ekonomi yang harus dipulihkan. Tapi moralitas dan mental masyarakat juga harus disehatkan segera, agar menjadi bangsa yang maju dengan kebaikan, kebesaran dan keshalihan jiwa dan raga.

Leave a comment