Reward-Punishment Berantas Korupsi

Y. Dian Indraswari

Aktivis Pusat Kajian Global Civil Society (Pacivis) FISIP UI, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Kekhususan Intervensi Sosial

Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely (Lord Acton). Kata-kata bijak merupakan pernyataan yang sangat populer ketika orang membicarakan tentang kekuasaan dan hubungannya dengan korupsi. Korupsi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak berkaitan dengan ekonomi-politik dan kekuasaan tetapi seringkali orang lupa bahwa ada dimensi manusia sebagai pelaku korupsi.

Samuel Huntington dalam buku Political Order in Changing Societies, mendefinisikan korupsi sebagai “behavior of public officials which deviates from accepted norms in order to serve private ends (1968: 59). Korupsi merupakan perilaku menyimpang dari para pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Berkaitan dengan definisi tersebut, jelas terlihat bahwa korupsi tak hanya menyangkut aspek hukum, ekonomi, dan politik, tapi juga menyangkut perilaku manusia yang menjadi bahasan utama ilmu psikologi.

Sayangnya, ranah psikologi, khususnya di Indonesia, masih berorientasi pada sektor industri. Secara umum bidang yang diminati psikologi berkutat pada sumber daya manusia untuk kepentingan ekonomi dan psikologi konsumen. Dimensi sosial, khususnya psikologi dan perilaku korupsi hampir tak pernah dibicarakan, apalagi menjadi kajian akademis. Padahal problem korupsi di Indonesia menjadi persoalan besar, dan sering disebut sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa).

Indeks Persepsi Korupsi hasil survei Tranparency International dalam lima tahun terakhir skornya cuma naik 0,5 dari 1,9 (2001) ke 2,4 (2006) sehingga Indonesia masih bertahan dalam kelompok negara terkorup. Governance Assessment Survey (2007) UGM-PGR terhadap enam indikator tata kelola pemerintahan (governance) versi Bank Dunia di 10 provinsi dan 10 kabupaten, salah satunya menyimpulkan, pungutan liar (pungli) masih lazim, dan pemberantasan korupsi terhambat keseriusan pemerintah dan lembaga bukan pemerintah.

Ragam Korupsi

Alatas (1975: 46) menyebutkan ciri-ciri korupsi. Antara lain: Biasanya melibatkan lebih dari satu orang; Melibatkan keserbarahasiaan kecuali telah berurat berakar; Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik (tidak selalu uang); Pelaku biasanya berlindung di balik pembenaran hukum; Pelaku adalah orang yang mampu mempengaruhi keputusan; Mengandung penipuan kepada badan publik atau masyarakat umum; Pengkhianatan kepercayaan; Melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif; Melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban; Dan kepentingan umum di bawah kepentingan khusus.

Lebih lanjut Alatas (1975: 46) menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab korupsi. Antara lain: Ketiadaan/kelemahan kepemimpinan dalam posisi kunci yang mempengaruhi tingkah laku menjinakkan korupsi; Kelemahan pengajaran agama dan etika; Konsumerisme dan globalisasi; Kurangnya pendidikan; Kemiskinan; Tidak adanya tindak hukuman yang keras; Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti-korupsi; Struktur pemerintahan; Dan perubahan radikal/transisi demokrasi.

Menurut Aditjondro (2003: 22) ada tiga model lapisan korupsi. Yaitu: Pertama, Korupsi Lapis Pertama. Berupa penyuapan (bribery) dengan prakarsa yang datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik, atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) diprakarsai untuk meminta ‘balas jasa’ yang datang dari birokrat atau petugas pelayanan publik lainnya.

Kedua, Korupsi Lapis Kedua. Yaitu jejaring korupsi (cabal) antara birokrat, politisi, aparat penegakan hukum dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Biasanya ada ikatan nepotistis di antara beberapa anggota jejaring korupsi, yang dapat berlingkup nasional.

Ketiga, Korupsi Lapis Ketiga. Yaitu jejaring korupsi (cabal) berlingkup internasional, dengan kedudukan aparat penegakan hukum pada model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga penghutang dan/atau lembaga-lembaga internasional yang punya otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terpilih oleh pimpinan rezim yang jadi anggota jejaring korupsi internasional tersebut.

Namun Irwan (2003: 32) menegaskan, bahwa korupsi tidak selalu harus menyangkut hubungan segitiga antara pemerintah, bisnis dan masyarakat, baik di level nasional maupun internasional. Korupsi dapat terjadi di bidang-bidang yang tidak langsung berhubungan dengan pemerintah dan bisnis.

Menurut Irawan, ada empat lingkar pelaku korupsi: Pertama, korupsi yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan bisnis. Kedua, korupsi yang melibatkan kreditor multilateral, pemerintah pusat dan daerah. Ketiga , korupsi yang melibatkan LSM dan lembaga donor asing. Dan keempat, korupsi yang baik pelaku maupun korban adalah rakyat kelas menengah ke bawah.

Perilaku Korupsi

Berbicara tentang perilaku korupsi, dari kacamata psikologi tak lepas dari pengaruh aliran behaviorisme. Tokoh berpengaruh dari aliran ini salah satunya adalah J.B Watson (1878-1958) yang terkenal dengan stimulus-response theory.

Ia mempelajari bahwa setiap tingkah laku pada hakikatnya merupakan tanggapan atau balasan (response) terhadap rangsang (stimulus), karena itu rangsang sangat mempengaruhi tingkah laku manusia. Watson bahkan sampai pada kesimpulan bahwa setiap perilaku ditentukan dan diatur oleh rangsang. Perilaku korupsi tak akan terjadi jika tak ada stimulus dari luar. Stimulus dapat berupa rangsangan uang dan kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi.

Yang dimaksud dengan rangsang (stimulus) adalah peristiwa baik yang terjadi di luar maupun di dalam tubuh manusia yang memungkinkan tingkah laku terjadi. Perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya rangsang itu disebut “tingkah laku balas” (response). Hubungan stimulus-response yang sudah sangat kuat akan menimbulkan “reflex” yaitu tingkah laku balas yang dengan sendirinya timbul bila terjadi suatu rangsang tertentu. Reflex dalam teori rangsang-balas merupakan dasar dari proses belajar.

Teori Watson ini dikembangkan lebih jauh oleh B.F. Skinner dan C.L Hull. Istilah yang juga sering digunakan dalam teori-teori rangsang balas adalah dorongan (drive). Menurut kaum mediationist (Hull dan lain-lain), dorongan adalah semacam energi (daya) yang mengarahkan individu kepada pilihan tingkah laku tertentu. Pilihan-pilihan tingkah laku ini ditimbulkan oleh kebutuhan (need).

Di era modernitas saat industrialisasi dan konsumerisme tumbuh subur, kebutuhan (need) menjadi meningkat, sehingga pemenuhan kebutuhan seakan tidak mencapai pemuasan, hingga merangsang orang melakukan korupsi untuk pemenuhan kebutuhannya.

Dengan demikian, kebutuhan dan dorongan merupakan variabel atau faktor yang ada antara rangsangan dan tingkah laku balasnya. Seringkali kebutuhan dan dorongan berjalan searah. Misalkan, seseorang butuh barang-barang mewah lalu ia memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi, maka ia akan melakukannya. Tapi ada kalanya dorongan tak sejalan dengan kebutuhan. Seperti meski ada kebutuhan tapi gaji pas-pasan, namun jika tak ada dorongan, maka orang tak akan melakukan tindakan korupsi.

Dollard dan Miller (1941) sepaham dengan Hull tentang ada dua dorongan pada manusia: primer dan sekunder. Dorongan primer adalah dorongan bawaan, seperti lapar, haus, sakit dan seks. Dorongan sekunder adalah dorongan-dorongan yang bersifat sosial yang dipelajari, seperti dorongan untuk mendapatkan upah, pujian, penghargaan dan sebagainya.

Namun demikian, Skinner tidak menganggap penting konsep dorongan ini. Konsep ini menurut Skinner hanya menggambarkan kuat lemahnya suatu perilaku tertentu. Dorongan tidak mempunyai peranan penting dalam proses hubungan rangsang-balas. Skinner mengemukakan tiga fungsi dari rangsang yang diistilahkan sebagai pembangkitan (elicition), diskriminasi (discrimination) dan penguat (reinforcement).

Pembangkitan adalah rangsang langsung yang menimbulkan tingkah laku balas. Seperti melihat uang atau makanan yang langsung membangkitkan air liur. Pada rangsang diskriminasi hanya merupakan pertanda, misalkan suara penjaja makanan atau iming-iming penyuapan. Sedangkan rangsang penguat adalah untuk memperkuat atau memperlemah perilaku. Contohnya pujian, dorongan lingkungan atau hukuman.

Konsep-konsep lain yang sering dikemukakan dalam teori rangsang-balas adalah penyamarataan (generalization) dan diskriminasi (dicrimination). Penyamaraan adalah proses ketika suatu rangsang menimbulkan balas yang pernah dipelajari dari rangsang lain serupa atau hampir serupa. Contoh: seseorang melakukan pelanggaran, kemudian mempelajari bahwa dapat terhindar dari tilang dengan menyogok polisi. Dengan beberapa kali melakukannya, ia dapat melakukan generalisasi bahwa semua polisi bisa disuap.

Konsep diskriminasi berlaku sebaliknya. Diskriminasi berarti timbulnya tingkah laku balas yang berbeda terhadap rangsangan yang berbeda-beda pula. Contoh: kasus penyuapan di tubuh KPU beberapa tahun lalu (Mulyana W. Kusuma kepada Khairiansyah dari BPK). Ternyata, penyuapan tidak berhasil dalam semua kasus. Hal ini kemungkinan menimbulkan efek jera untuk melakukan penyuapan pada auditor BPK.

Perilaku korupsi juga dapat dipelajari melalui prinsip-prinsip psikologi belajar yang dikemukakan Miller dan Dollard (1941). Menurutnya, ada empat prinsip belajar: dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku balas (response), dan ganjaran (reward). Keempat prinsip ini sangat kait mengait dan dapat saling dipertukarkan.

Dalam tindakan korupsi, juga melewati prinsip belajar ini yaitu ada dorongan baik internal, seperti kebutuhan (need), atau eksternal seperti dari sesama pegawai publik atau atasan. Kemudian, ada isyarat atau kesempatan, sehingga terjadi tindakan (respons). Perilaku ini dapat diperkuat dengan reward atau diperlemah dengan sistem punishment.

Rekomendasi Psikologi Sosial

Fenomena korupsi di Indonesia dapat dipahami secara kultural melalui pendapat Huntington. Menurutnya, korupsi memerlukan “some recognition of the differences between public role and private interest” (1968: 60).

Huntington memberi ilustrasi tentang peran publik dan kepentingan pribadi lewat peran seorang raja. Jika budaya politik yang berlaku tidak membedakan peran raja sebagai seorang pribadi dan perannya sebagai raja, maka tak mungkin orang dapat menuduh raja melakukan korupsi ketika ia menggunakan dana-dana publik.

Lebih lanjut menurut Hunttington, ”some notion of this distiction, however, is necessary to reach any conclusion as to whether the action of the king are proper or corrupt” (1968: 60). Pejabat di Indonesia semestinya juga bisa membedakan ranah peran publik dan kepentingan pribadi.

Tindakan salah, seperti perilaku korupsi, adalah penyalahgunaan wewenang sebagai pribadi. Sehingga jika ia (pejabat) memikirkan kepentingan masyarakat luas, idealnya ia akan berani mengakui kesalahan dan menanggung resiko perbuatan. Hal ini masih sangat jarang kita jumpai pada diri pejabat publik di negeri ini.

Dalam strategi pemberantasan korupsi, rekomendasi yang bisa diberikan dalam kerangka psikologi sosial adalah perlunya memperkuat reward-punishment. Meski UU Anti-Korupsi telah dibuat beserta perangkat UU yang lengkap, namun sampai kini belum ada terapi kejut yang dapat membuat para koruptor jera. Selain itu perlu juga dipikirkan mekanisme reward atau penghargaan bagi para pejabat, masyarakat, tokoh agama, dan khususnya whistle blowers yang berani menolak dan berjasa memberantas tindakan korupsi.

Bahan Bacaan

George Junus Aditjondro, Jurnal Wacana: Bukan Persoalan Telur dan Ayam: Membangun Suatu Kerangka yang Lebih Holistik bagi Gerakan Anti-Korupsi di Indonesia, Yogyakarta: Insist Press, 2003.

H.S Ahimsa-Putra, Jurnal Wacana: Korupsi di Indonesia: Budaya atau Politik Makna?, Yogyakarta: Insist Press, 2003.

Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1975.

Mochtar Buchori, Pendidikan Anti Korupsi, Kompas 21 Februari 2007.

S.P. Huntington, Political Order in Changing Societis. New Haven: Yale University Press, 1968.

Alexander Irwan, Jurnal Wacana: Pemberantasan Korupsi sebagai Gerakan Budaya, Yogyakarta: Insist Press, 2003.

Syahrul Mustofa dkk, Mencabut Akar Korupsi, Mataram: Somasi, 2003.

Sarlito W Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1983.

Pramono U Tantowi, Membasmi Kanker Korupsi, Jakarta: PSAP, 2004.

Leave a comment