Archive for ‘Feature Agama’

28/08/2009

Koreksi Mental Umat Lewat Fatwa

Jelas sudah sikap MUI tentang rokok dan Golput. Implikasinya kepada masyarakat menghasilkan histeria massal.

Sidang Ijtima’ Ulama Fatwa Ketiga Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang, Sumatera Barat (23-26/1/2009) lalu, menghasilkan beberapa fatwa, dua di antaranya segera disambut dengan polemik di tengah masyarakat dan pemberitaan media massa. Opini umat Islam Indonesia pun terbagi, pro dan kontra.

Fatwa pengharaman rokok bagi anak-anak dan wanita hamil disambut gembira Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Ikatan Ahli Kesehatan. Sejak awal mereka memang sudah mendatangi kantor MUI, membicarakan hukum merokok dan mengharap agar segera ditetapkan fatwa haramnya. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengharapkan angka perokok di kalangan anak akan terminimalisir dengan ditetapkannya fatwa haram ini.

Dukungan atas fatwa keharaman merokok bagi anak dan remaja juga mendapat sambutan hangat dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Alasan yang ditunjukkan adalah bahwa merokok mempunyai dampak negatif lebih tinggi dibanding dampak positifnya, bahkan nyaris tak ada dampak positifnya. Di Jakarta, Ketua Umum IPNU Idy Muzayyad mengatakan, bahwa merokok jelas-jelas membawa mudharat dan kerusakan, terutama bagi remaja, dan sama sekali tak ada manfaat dan kebaikan yang didapat.

Sementara kontroversi lain muncul menanggapi keputusan MUI tersebut. Pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, misalnya menilai, meski menghargai hasil ijtima’ tersebut, tapi tetap menyayangkan keputusan fatwa keharaman rokok. Menurutnya, sejak dulu NU telah memiliki pendapat bahwa merokok hanya diberi fatwa makruh, tak sampai haram.

Tak heran jika dalam rapat Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP), yang merupakan kumpulan 150 pondok pesantren se-Jawa Timur di Ponpes Mamba’ul Hikam Desa Mantenan, Udanawu, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, tercuat penolakan terhadap fatwa MUI tentang keharaman merokok. Alasannya, secara kultur, sosial, dan ekonomi, ketiadaan rokok berarti menghilangkan lapangan pekerjaan. Selain itu, keluarnya fatwa haramnya rokok membuat masyarakat bingung.

Selepas turunnya fatwa MUI tentang hukum rokok, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea Cukai) Anwar Supriyadi menyatakan terperangah. Pasalnya, fatwa itu akan berimbas terhadap penerimaan cukai negara dari industri rokok. Penerimaan cukai diprediksi turun hingga 10 persen.

Meski penerimaan cukai dari industri rokok akan menurun, Anwar tetap berpikir positif. Dia mengingatkan fatwa MUI itu bisa diambil hikmahnya karena berkaitan dengan kesehatan. Yang pasti, katanya, fatwa itu akan berpengaruh secara psikologis terhadap masyarakat yang mayoritas beragama Islam. “Hanya akan berpengaruh secara psikologis saja,” katanya.

Sementara, anggota DPR Drajad Wibowo berpendapat, fatwa MUI itu hanya gejolak psikologis yang sifatnya sementara. Menurutnya, masih terlalu dini untuk melihat dampak dari fatwa tersebut, apalagi terhadap penerimaan cukai yang dihasilkan dari industri rokok. “Bunga bank juga pernah dibilang haram. Tapi hingga kini umat Islam masih banyak yang menabung di bank-bank konvensional,” ujarnya.

Di Padangpanjang, Sumatera, tempat dikelurkannya fatwa tentang rokok, secara psikologis ternyata mempengaruhi pasar rokok di pulau itu. Penurunan permintaan rokok terutama dirasakan oleh industri rumahan rokok di pelosok daerah. Humas Pabrik Rokok Rizki, Amin Wahyu Hidayat, mengatakan, sekarang secara psikologis para perokok sudah terpengaruh fatwa itu. “Kami sangat terpukul apalagi fatwa MUI dikeluarkan di Padangpanjang. Padahal 70 persen pemasaran kami berada di Sumatra,” ujar Amin.

Haram Golput

Hal yang tidak kalah mengundang kontraversi adalah fatwa haramnya golongan putih (golput). Sebelum keluarnya fatwa ini, beberapa tokoh mengharap MUI mengeluarkan fatwa keharamannya. Sebut saja nama Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang respon kian banyaknya orang yang menganjurkan agar golput pada pemilu 2009 mendatang.

Sedangkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi tokoh terdepan pengusung anjuran golput. Ketika muncul fatwa haram golput dari MUI, sontak muncul tudingan bahwa fatwa ini hanya ”pesanan” dari golongan tertentu, khususnya para politisi.

Salah seorang ketua MUI, Drs Amidhan, membantahnya. Dalam diskusi Agama di Tengah Pergumulan Politik Identitas dan Perubahan yang diadakan Pengurus Besar Himpunan Mahasiwa Islam (PB HMI) beberapa lalu, ia menyampaikan bahwa keputusan politik pada sidang ijtima’ MUI hanya sebagai jalan untuk mencari pemimpin ideal.

Menurutnya jika ada pemimpin yang berjiwa jujur (shiddîq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tablîgh), mempunyai kemampuan (fathânah), dan memperjuangkan aspirasi umat Islam, maka wajib hukumnya bagi umat Islam untuk memilih. ”Tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya haram,” jelas. (Islah/Taufiq)

Histeri Massal

Bagi kalangan profatwa, segala fatwa MUI, khususnya yang mengharamkan rokok bagi remaja dan ibu hamil sangat signifikan secara moral masyarakat. Fatwa tentang rokok, khususnya, dinilai bisa melahirkan histeria massal untuk melindungi anak. “Walau mungkin tidak terlalu signifikan, tetapi sebagai isu massal, menunjukkan MUI memiliki sudut pandang yang bagus. Apalagi kerangkanya meminimilisir perokok. Fatwa itu biasanya memberi histeria massal,” ujar anggota Komisi VIII DPR DH Al Yusni.

Histeria Massal (Mass Hysteria), juga disebut collective hysteria (penyakit histeria kolektif), mass psychogenic illness (penyakit psychogenic massal), atau collective obsessional behavior (perilaku obsesif kolektif), adalah fenomena psikologi sosial yang merupakan manifestasi dari kemiripan gejala histris yang dialami lebih dari satu orang.

Histeria massal biasanya terjadi ketika sekelompok orang atau masyarakat mempercayai bahwa mereka tengah didera penyakit atau kepedihan yang sama. Dalam usulan Komnas Anak agar MUI mengeluarkan fatwa haram merokok telah jauh hari mendapat sambutan positif. Pengelompokan keinginan massa agar rokok segera diharamkan, khususnya bagi kalangan anak, merupakan histeria massal yang intinya ingin melindungi anak. Tak heran jika hasil fatwanya akan terbilang positif. (Taufiq)

28/08/2009

Ibadah Penenang Jiwa

Ibadah, termasuk membaca dan mendengarkan al-Qur`an, bukan sekedar ritual. Orang yang melaksanakannya akan meraih ketenangan jiwa.

Rahman, begitu kawan-kawan menyebutnya. Lelaki pintar dan cerdas kelahiran 1974 itu, mengabdi sebagai dosen di sebuah Perguruan Tinggi Islam di Yogyakarta. Kini, ia sedang mempersiapkan studi program S3. Perjalanan hidupnya seperti begitu mulus. Bersama istri dan seorang anak, ia hidup nyaman di sebuah komplek perumahan.

Melihat pola kehidupan Rahman yang begitu mulus, seorang karibnya, sebut saja GM, berkomentar, ”Semua itu berkah dari keistiqamahan Rahman membaca al-Qur`an.”

GM mengisahkan, walau Rahman termasuk aktivis kampus yang cukup sibuk, namun kebiasaan membaca al-Qur`an terus ia lakoni tanpa beban. Bahkan seperti menjadi hobi kesehariannya. Tak peduli kala sibuk maupun senggang.

Menurut GM, kebiasaan Rahman membaca al-Qur`an bukan lantaran embel-embel ”santri” yang melekat pada diri Rahman. Tapi sudah ”mendaging” menjadi sikap dan kebiasaan. ”Inilah berkah al-Qur`an,” tegas GM sekali lagi.

Menurut Syaikh Ibrahim ibn Isma’il, dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim, terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang kuat ingatan atau hapalan. Di antaranya, menyedikitkan makan, membiasakan ibadah shalat malam, dan membaca al-Qur`an sambil melihat mushaf.

Selanjutnya, penulis kitab yang mengupas tata krama mencari ilmu itu mengutarakan, ”Tak ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan daya ingat dan memberi ketenangan jiwa kepada seseorang, kecuali membaca al-Qur`an. Dan beribadah, seperti membaca al-Qur`an dan semacamnya, akan menjadikan jiwa manusia tidak gelisah.”

Pendorong Ketenangan

Pernyataan Syaikh Ibrahim di atas kasat menyatakan pesan, bahwa ibadah, seperti membaca al-Qur`an, sangat kuat memperpengaruhi daya ingat atau tingkat kecerdasan seseorang. Juga, menimbulkan pengaruh terhadap kesehatan jiwa.

Ini membenarkan hasil riset Dr. al-Qadhi, peneliti di Pusat Klinik Florida Amerika Serikat (AS), yang membuktikan bahwa hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur`an, seorang Muslim, baik yang mampu berbahasa Arab ataupun tidak, dapat merasakan besarnya perubahan fisiologis.

Pengaruh umum yang dirasakan objek-objek penelitiannya yang seluruhnya pendengar bacaan ayat-ayat al-Qur`an, ditemukan penurunan depresi dan kesedihan. Mereka juga kian merasakan ketenangan jiwa, dan terjauhi dari berbagai penyakit.

Penelitian al-Qadhi ditunjang peralatan canggih untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot dan kulit terhadap aliran listrik. Dari uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan al-Qur`an berpengaruh hingga 97%, dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.

Penelitian lain memperkuat temuan ini. Dalam sebuah laporan penelitian yang disampaikan dalam Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada 1984, disebutkan, al-Qur`an terbukti mampu mendatangkan ketenangan hingga 97%, bagi pendengarnya.

Diperkuat lagi oleh penelitian Muhammad Salim yang dipublikasikan Universitas Boston. Ia meneliti lima orang sukarelawan, terdiri dari tiga pria dan dua perempuan yang benar-benar tidak mengerti bahasa Arab, untuk diperdengarkannya bacaan al-Qur`an.

Setelah 210 kali tes dalam dua sesi memperdengarkan bacaan tartil al-Qur`an dan suara orang membaca bahasa Arab yang bukan dari al-Qur`an, disimpulkan sampai 65% responden mendapatkan ketenangan batin ketika mendengarkan bacaan al-Qur`an. Dan hanya 35% yang merasa tenang ketika mendengarkan bacaan bahasa Arab non al-Qur`an.

Menurut Dr. Nurhayati, psikolog asal Malaysia, seperti diungkapkan dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia, pengaruh ini nyata. Terlebih jika bacaan al-Qur`an diperdengarkan kepada bayi. Menurut penelitian Nurhayati, bayi berusia 48 jam yang diperdengarkan ayat-ayat al-Qur`an cenderung menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang.

Selain menjadi ibadah karena membacanya, bacaan al-Qur`an juga berpengaruh besar bagi kehidupan jasmani dan rohani pendengarnya. Bagi Nurhayati, jika mendengarkan musik klasik dapat memengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan emosi (EQ), bacaan al-Qur`an justru berlipat. Ia mampu mempengaruhi IQ dan EQ, dan SQ (kecerdasan spiritual) sekaligus.

Diakui oleh para pakar saat ini, kesuksesan seseorang akan semakin tinggi jika ditunjang sinergi tiga kecerdasan itu (IQ, EQ dan SQ). Maha Benar Allah yang telah menegaskannya dalam surah al-A’râf [7] ayat 204, al-Isrâ` [17] ayat 82, dan ar-Ra’d [13] ayat 28.

Psikologi Ibadah

Ibadah, termasuk membaca dan mendengarkan al-Qur`an dalam Islam ditempatkan kegiatan sinergis terkait alam akhirat dan kehidupan sehari-hari umat Islam. Prof Dr Komaruddin Hidayat, dalam buku Psikologi Ibadah menerangkan, rangkaian ibadah merupakan kurikulum suci yang sengaja dirancang Allah untuk memelihara kesucian dan keagungan rohani manusia.

”Ketika ibadah sudah mencapai titik puncak, maka tak akan ada gesekan antara penyembah dengan yang disembah. Jika jalannya lurus maka perjalanannyapun akan mulus. Jika ibadah tidak dilakukan dengan mudah atau tidak selaras, maka ibadah itu hanya bersifat takhayul, sesat, dan ritualistis belaka,” tandas Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, kepada Majalah Qalam, beberapa waktu lalu di Jakarta.

Menurutnya, secara garis besar, tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan kualitas jiwa, terdiri dari tiga maqam (tingakatan). Pertama, dzikir atau ta’alluq kepada Tuhan. Artinya, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati beserta pikiran kita kepada Allah, di manapun seorang mukmin berada. Kedua, takhalluq, pengejewantahan sifat-sifat Tuhan yang mulia, untuk dapat ditiru ke dalam sifat-sifat seorang mukmin. Rasulullah SAW, ”Takhallaq bi akhlâqillâh,” (Berakhlaklah dengan akhlak Allah).

Maqam ketiga, imbuh doktor bidang filsafat dari Universitas Ankara, Turki itu, adalah tahaqquq. Yaitu suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas diri sebagai seorang mukmin, yang dirinya sudah ”didominasi” sifat-sifat Tuhan, sehingga tercermin dalam perilaku yang serba suci dan mulia. (Sofyan Badrie)

28/08/2009

Kaum Muallaf, Pendakwah yang Efektif

Sofyan Badrie

Kian menyebarnya Islam ke penjuru dunia, salah satu faktornya adalah peran kaum muallaf yang gencar menyosialisasikan keyakinan barunya di lingkaran hidup mereka. Dakwah pragmatis mereka, sangat efektif menggaet para muallaf baru. Mereka adalah aset dakwah Islam.

Sejak duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1950-an, di desa Tanjung Belang, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Tama Sembiring kecil memang sudah sangat berminat dan menyenangi pelajaran sejarah. Nilai-nilai pelajaran itu pun selalu ia raih dengan bagus, antara delapan dan sembilan.

Dan dari pelajaran dan kajian sejarah itulah hatinya terketuk hidayah Islam. Ia mendapati bagaimana bagusnya Islam dalam ukiran sejarah penyebarannya yang penuh kedamaian, dan dijalankan penganutnya dengan penuh simpati.

Sejak lama, ia sering mengamati perilaku, tindak-tanduk, dan perangai beberapa gelintir orang Muslim di kampungnya. “Kok beda sekali dengan perangai kalangan orang non-Muslim,” cetus pria kelahiran 1938 ini.

Lahir dari keluarga petani yang belum beragama, atau penganut tradisi lokal Batak, Pelbegu, membuat Tama sering bimbang. Saat duduk di sekolah dasar, ada peraturan pemisahan tempat duduk berdasarkan agama.

Karena dianggap belum beragama, Tama harus duduk di barisan bangku murid yang tidak beragama. Ia gamang, “Saya termasuk bagian mana? Jika orang lain jelas agamanya, lalu saya bagaimana?”

Setelah merefleksikan diri dan melakukan kontemplasi, anak bungsu dari enam bersaudara ini bermusyawarah dengan beberapa kawan senasibnya yang sama-sama merasa tersisihkan. Hingga kemudian bersama enam kawannya, Tama bersepakat hendak menganut Islam pada tahun 1955. Remaja 15 tahun itupun diberi nama Islam, Muhammad Taher Tama Sembiring.

Setelah memeluk Islam, Tama sangat giat berdakwah. Walau menyadari masih dangkalnya ilmu keislaman yang dimiliki, tapi tak lekas surut ghîrah (semangat) jihadnya kepada Islam. “Banyak teman yang saya Islamkan. Barangkali lebih dari seratus hingga 200 orang,” papar pendiri Universitas Tama, Jagakarsa, Jakarta Selatan itu.

***

Ibarat jalan, hidayah adalah petunjuk dan rambu-rambu yang memandu kita untuk sampai tujuan. Agar petunjuk dan rambu-rambu berfungsi, orang yang hendak sampai ke tujuan harus mempersiapkan diri untuk mematuhi petunjuk dan rambu-rambu yang ada. Tanpa ketaatan dan kepatuhan, maka petunjuk dan rambu-rambu tak ada manfaatnya.

Orang yang mendapatkan hidayah Islam atau disebut muallaf, juga bisa dianalogikan dengan orang yang menemukan sinyal dan akses untuk berkomunikasi. Dengan sinyal itu, ia dapat berkomunikasi dengan Allah, memohon kepada-Nya agar memandu dirinya selama dalam perjalanan. Dan sinyal masing-masing orang berbeda kekuatannya, berdasarkan jauh-dekatnya ia dari sumber pemancar.

Agar sinyal yang dikirim dari pemancar dapat kita tangkap, maka pekerjaan pertama adalah menyiapkan pesawat yang dapat menangkap sinyal. Tanpanya, maka sinyal tidak mungkin menghampiri kita.

Buya Hamka pernah melukiskan, hidayah itu ibarat pesawat terbang. Kalau landasannya sederhana, bisa jadi yang mendaratnya akan seperti helikopter. Jika landasannya agak bagus, kira-kira pesawat sejenis capung yang akan mendarat. Kalau makin baik lagi landasannya, minimal sekelas pesawat Twin Otter akan mendarat. Semakin mantap dan khas landasannya, maka bisa jadi pesawat cassa atau jumbo jetlah yang bakal mendarat.

Sementara Prof. Dr. M. Quraish Shihab, pakar ilmu tafsir di Indonesia, bahkan satu-satunya mufassir di Asia Tenggara, menilai seringkali cahaya petunjuk (hidayah) itu datang secara tiba-tiba. Tanpa disertai analisis, bahkan kadang tak terpikirkan sebelumnya.

Kedatangannya bagaikan kilat, baik dalam sinar maupun kecepatannya. Sehingga manusia tak dapat menolak kehadirannya, namun tak juga dapat mengundangnya. Potensi untuk meraih cahaya petunjuk Allah itu ada di dalam diri setiap insan, walaupun peringkat kekuatannya berbeda-beda.

Ada yang sedemikian kuat, sehingga tak ubahnya seperti informasi yang didapat oleh indera. Si penerima akan begitu yakin. Tapi ada juga yang begitu lemah, hingga tak dapat dirasakan oleh di penerima, atau bahkan tak jarang tidak diaku kehadirannya.

Dalam surah an-Nûr [24] ayat 35, al-Qur`an melukisan cahaya ilahi yang menerangi langit, bumi dan isinya itu, bagaikan pelita yang diletakkan dalam lubang satu tembok yang tak tembus. Angin pun tak dapat menerpa untuk memadamkannya.

Pelita itu berkaca, bening kacanya bagai mutiara. Minyak yang menyalakan apinya adalah minyak zaitun yang istimewa. Yang pohonnya tumbuh di puncak bukit, sehingga tak pernah luput dari cahaya matahari, baik ketika terbit maupun saat dalam perjalanan terbenam. Minyaknya selalu hampir menyala, walau tak disentuh api. Nûr ’alâ nûr. Cahaya di atas cahaya.

Ciri Hidayah

Semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci tanpa dosa. Tetapi perjalanan hidup, kadangkala membelokkan kita dari jalan-Nya yang hakiki. Ada orang yang sudah tertutup jalan hidayahnya sejak lahir karena dilahirkan oleh orangtua yang tidak beriman.

Namun ada pula yang kehilangan sinyal hidayah di masa muda, karena lingkungan pergaulan telah menyeretnya ke lokasi yang jauh dari pemancar itu. Bahkan ada yang kehilangan hidayah di usia senja, karena godaan yang terlampau menggiurkan dirinya.

Dari sekian banyak yang tersesat jalan, di antara mereka ada orang-orang yang beruntung, karena berhasil menemukan kembali jalan kehidupan yang sebenarnya. Cara mereka mendapatkannya kembali bermacam-macam.

Ada yang menemukannya saat terkulai lemah di rumah sakit, atau kedamaian hati saat mendengar lantunan adzan maupun alunan ayat al-Qur`an. Ada pula berkat doa anaknya yang shalih, karena penelitian yang dilakukannya selaras dengan prinsip al-Qur`an, atau menemukannya lantaran kerap berziarah ke tempat-tempat ibadah.

Orang yang dikarunia hidayah itu, hatinya akan dipenuhi oleh cahaya. Dengan modal itu, mereka akan merasakan kelapangan dan keluasan dada untuk menerima dan melaksanakan ajaran Islam. Hati orang yang disinari cahaya hidayah, sama seperti rumah yang disinari oleh cahaya matahari atau listrik.

Sementara hidup tanpa cahaya hidayah, akan seperti hidup dalam gelap gulita yang menyesakkan, dan menggelisahkan. Ibarat rumah yang tidak berlistrik di malam hari yang kelam. Allah berfirman, ”Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.” (al-An’am [6]: 125)

Dalam sebuah riwayat disebutkan: Para sahabat Rasulullah SAW pernah bertanya, ”Apakah ada tanda-tanda untuk mengenal hidayah?” Rasulullah menjawab, ”Ya. Ciri-cirinya adalah kecenderungan untuk banyak memikirkan rumah abadi (akhirat), membuat jarak dengan rumah semu (dunia), dan selalu mempersiapkan diri menghadapi kematian.”

Aset Dakwah

Kata ”muallaf” yang mungkin begitu populer di telinga kita, sesungguhnya hanya disebut al-Qur`an hanya dalam satu ayat. Yaitu surah at-Taubah [9] ayat 60, “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, dan para muallaf yang dibujuk hatinya…”

Meski hanya dibicarakan dalam satu ayat, tapi terlihat gamblangnya Allah menempatkan konteks muallaf dalam tubuh umat Islam. Yaitu, statusnya yang harus ditempatkan dalam konteks sosiologis dan hubungan kemasyarakatan dengan baik. Saat mengamati, berkomunikasi dan bergaul dengan mereka, sudah seharusnya kita mengetahui psikologi para muallaf.

Secara sosiologis, dalam konsepsi Islam, mereka adalah sahabat-sahabat dan saudara-saudara kaum muslim. Sebagai muslim baru, mereka sangat membutuhkan teman, saudara seagama, sebagai tempat berlindung, pendukung, dan pembimbing. Setidaknya dari kecaman keluarga dan komunitas asal mereka.

Karena, dalam perpsektif sosiologis dan psikologis, perpindahan agama dan iman, bukanlah perkara sederhana. Beban psikologis dan sosiologis sangat berat menghadang mereka. Karena itulah kini telah muncul banyak ormas-ormas pembina muallaf seperti AMMA (Asosiasi Muslim Muhajirin dan Ansor), Karim Oey, Yayasan Rahmania (khusus muallaf warga asing), Jakarta International Moslem Society, dan lain-lain.

Di samping menjadi komunitas untuk pembinaan dan pemberdayaan, lembaga-lembaga seperti itu juga efektif menjaga dan meningkatkan wawasan keislaman kaum yang memang butuh perhatian itu.

Dalam aspek dakwah dan pengembangan syiar Islam, para muallaf sangat efektif menjadi penebar Islam ke berbagai lapisan, yang awalnya tidak tersentuh dakwah para dai muslim. Seperti diberitakan banyak media, Steve Poccaro, sahabat yang juga composer lagu-lagu Michael Jackson, bersama David Wharnsby dan Phillip Bubal, penulis dan sutradara dari trailer-trailer yang muallaf, mampu membimbing King of Pop Jacko menjadi muslim.

Kegigihan Cat Steven (Yusuf Islam) yang produktif mencipta lagu-lagu nasyid penuh pujian akan tauhid Allah, juga efektif mendakwahkan Islam di negaranya.

Di Indonesia jejak para muallaf tersebut bisa kita temukan antara lain pada diri Chrisye, WS Rendra, Dian Sastrowardoyo, Paquita Widjaya, atau Cindy Claudia Harahap, untuk kalangan budayawan, artis dan selebriti.

Untuk kalangan etnis Thionghoa antara lain ada Lie Kiat Teng (mantan menteri era Soekarno), Bob Hasan (mantan menteri rezim Soeharto), Karim Oey (pendiri PT Bintang Toejoeh), HM Syarif S Tanudjaja (Pengurus PITI), Verawaty Fajrin (atlet nasional bulutangkis), Handy Sucitra (Sekretrais Jenderal Asosiasi Perusahaan Depo dan Pergudangan Indonesia), Surya Madya atau Lie Sie Tiong (Yayasan Amma), Ario Wowor (Pengusaha) Nio Cwan Chung alias Dr Muhammad Syafii Antonio MSc, pakar bank syariah, dan lain-lain. Dakwah pragmatis mereka sebagai muallaf, sangat efektif menggaet para muallaf baru.

28/08/2009

Bola Salju Ateisme

Tata Septayuda Purnama

Resah dan kecewa terhadap Kristen, banyak penganut agama itu di negara-negara Barat, menyatakan dirinya keluar dari agamanya. Fenomena ateisme pun kian membukit.

Akhir Maret lalu, sekitar 100.000 orang Inggris dikabarkan mendownload Certificate of de-Baptism menyatakan diri keluar dari agama Kristen melalui internet. Inisiatif penyebaran formulir ini muncul dari kelompok yang menamakan dirinya National Secular Society (NSS).

Di samping terobosan melalui internet, kelompok ini juga rajin mengkampanyekan gagasan lewat iklan di bus-bus umum di Kota London, dengan tulisan provokatif “Mungkin Tuhan Tidak Ada. Jangan Khawatir dan Nikmati Hidup Anda.”

“Kami juga mencetak sertifikat dari kertas kulit, dan sampai sekarang sudah terjual 1.500 lembar. Satu lembarnya seharga tiga poundsterling,” tutur Presiden NSS Terry Sanderson (58).

Seorang warga Kota London, John Hunt (58), mengaku tertarik dengan kampanye ini. Karena kecewa telah dibaptis menjadi Kristen tanpa sekendak dirinya saat masih kecil. Menurut tradisi keluarganya, seorang anak harus dibaptis saat berusia lima tahun.

Hunt meminta seorang pendeta untuk menghapus namanya di Gereja Inggris. “Prosedur penghapusan nama baptis harus dengan memasang pengumuman di harian London Gazette,” ujar Hunt menirukan tanggapan pendeta itu. Begitulah mereka memberi peraturan, agar orang sulit keluar dari jerat gereja, dan tidak mengkonversi diri ke dalam agama lain.

Warga lainnya, Michael Evans (66), sangat kesal dengan tradisi pembaptisan terhadap anak-anak kecil. Menurutnya, tradisi itu termasuk bentuk pelecehan anak. Evans pernah menggugat agar baptis dirinya dibatalkan. Tapi Gereja Inggris menyatakan bahwa pihaknya tidak berwenang untuk menghapus catatan baptis seseorang. “Pernyataan keluar dari baptis adalah urusan individu dengan Tuhan,” tutur juru bicara gereja kepada AFP.

Akumulasi Kekecewaan

Kampanye de-bapstisme memang tengah marak di Inggris. Penyelenggara kegiatan ini menyatakan, bahwa tindakan mereka merupakan respon semakin ketatnya peraturan gereja yang mengungkung umat Kristen Inggris. Saat kunjungan ke Afrika beberapa waktu lalu, penggiat de-bapstisme kian kecewa dengan pernyataan Paus Benediktus XVI yang menganggap alat kontrasepsi kondom sebagai biang menyebar penyakit.

Perilaku politis Gereja Katolik saat ini sedang menemukan momentumnya untuk dipermasalahkan, tutur Sanderson. Di negara-negara mayoritas Katolik itu, ada keinginan untuk memberi pelajaran kepada gereja dengan cara meninggalkan mereka. Terlebih jika terjadi di negara dengan 72 persen penduduk yang menyatakan dirinya Kristen, seperti Inggris. Akumulusai kekecewan terhadap geraja selama ini, dianggap penyebab utama masyarakat Inggris mendukung upaya dan gerakan de-baptism.

Pakar Theologi Paul Murray dari Universitas Durham tidak sependapat dengan kesimpulan tersebut. “Itu bukan pengalaman saya,” tuturnya. Namun ia mengakui, di Inggris kini tengah terjadi arus perubahan terhadap iman orang-orang Kristen. “Kita hidup di suatu masa di mana Katolikisme dan kepercayaan lainnya diperdebatkan publik sejajar dengan para penganut pluralis dan sekularis,” imbuhnya.

Di Spanyol, Mahkamah Agung memenangkan tuntutan status seorang pria dari Valencia bernama Manuel Blat yang menyatakan dirinya telah keluar dari baptis. Di Italia, the Italian Union of Rasionalist and Agnostic (UAAR) memenangkan tuntutan mereka atas hak untuk keluar dari baptis pada tahun 2002. Dalam situsnya mereka juga bersedia membantu orang-orang yang ingin keluar dari baptis dengan menulis di sebuah kolom yang tersedia.

Menurut sekretaris UAAR Raffaelle Carcano, hingga saat ini, formulir yang ditampilkan di situsnya telah diunduh oleh 60.000 pengunjung sepanjang empat tahun terakhir. Ia mengaku, sekurang-kurangnya 2000 orang setiap bulan menulis formulir de-Baptism. Di Argentina, kelompok sekularis mengajak murtad bersama dengan mengusung slogan de-baptisme dengan jargon “Tidak atas Nama Saya”.

Walau mendapat tekanan dari banyak pihak, khususnya kalangan konservatif Kristen, tuntutan legalisasi gerakan de-baptisme terus diperjuangakan. Sanderson meminta kepada negara-negara Eropa lainnya untuk melegalkan aksi tersebut.

Sementara ini, kebanyakan dari kaum murtad Kristen itu memilih untuk tidak beragama, melakukan pencarian spiritual yang lebih relevan dengan kondisi diri mereka saat ini, atau memilih menjadi ateis.

Demokrasi yang menjamin mereka bebas menyatakan pendapat, termasuk mengemukakan keyakinan, mendorong banyak dari mereka untuk membanggakan keyakinan barunya. Khususnya ‘ketidak-beragamaan’, juga ‘ketidak-bertuhanan’ (ateis).

Dan fenomena bangga menjadi ateis pun rebak seperti jamur di musim hujan. Blog-blog maupun situs-situ internet, yang dikelola individu maupun kelompok, yang menyuarakan kebanggaan mereka menjadi ateis ramai bermunculan. Seperti http:atheistnexus.ning.com/, http:atheistnexus.org, dan lain-lain.

Para pembangga ketidak-bertuhanan itu, kebanyakan datang dari kalangan umat Kristen, yang memang cenderung tidak puas dengan doktrin agama maupun sistem pengelolaan agama oleh para agamawan Kristen. Dan tajamnya peningkatan kecenderungan ateisme ini, menjadi bola salju yang kian membesar dan memprihatinkan. Tentu menjadi PR para agamawan di sana untuk mengintrospeksi kinerjanya.

Kebingungan Mental

Menurut para ahli, orang ateis cenderung mengalami mental confusion (kebingungan mental) yang ditunjukkan oleh terjadinya perubahan status mental seseorang untuk tidak lagi dapat berpikir jelas. Sering kali, kebingungan ini mengarah pada hilangnya kemampuan untuk mengenali orang, tempat, waktu dan tanggal. Dalam konteks ateisme, menjadi tidak mengenal Tuhan.

Disorientasi yang umum muncul dalam kebingungan mental adalah melemahnya kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan. Dan kebingungan ini bisa timbul secara tiba-tiba maupun bertahap dari waktu ke waktu. Menurut para ahli, kebingungan mental memiliki beberapa penyebab, seperti akibat cedera fisik, kesalahan medis, faktor lingkungan, dan penyalahgunaan obat.

Dalam kasus rebaknya ateisme di Barat, hal yang paling banyak mempengaruhi adalah faktor lingkungan, yaitu modernitas. Perubahan lingkungan yang kian maju, mendorong perubahan gaya hidup hingga cenderung materialistik, dan menafikan peran Tuhan dalam keseharian.

Mengapa Banyak Ilmuan Menjadi Ateis?

Survei yang dimuat di majalah “Scientific American”, edisi September sepuluh tahun lalu menyebutkan, 90% rakyat Amerika ternyata masih percaya Tuhan. Dan persentase ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara Barat lainnya. Sedangkan yang terendah adalah Perancis dengan 32%. Tapi, di antara para ilmuan Amerika, hanya 10% yang mempercayai adanya Tuhan.

Dalam studi lain yang dimuat di majalah Nature disebutkan, bahwa dari seluruh anggota National Academy of Science atau LIPI-nya Amerika, hanya 7% yang mempercayai adanya Tuhan. Sementara dalam studi lain (Michael Shermer, 1999) disebutkan, semakin elit sebuah sekolah, biasanya akan semakin banyak para profesornya yang ateis.

Analisis umum yang bermunculan menilai, fenomena tingginya tingkat ateisme para ilmuan pintar itu, disebabkan oleh banyak sebab, di antaranya kecemburuan para ilmuan yang secara sosial tidak memiliki pengaruh sebesar kalangan agamawan, padahal secara kemampuan otak mereka lebih pintar. Atau kecenderungan elitisme sosial, karena kalangan ateis cenderung berada di lingkungan kaum-kaum tertentu, seperti kaum ilmuan, maka menjadi ateis merupakan kebanggaan untuk semakin elit.

Peers pressure, atau tekanan sejawat juga mungkin mempengaruhi. Sebab, kebanyakan para ilmuan di Barat memang cenderung ateis, dan membuat ilmuan yang “beriman” akan “malu” menunjukan keimanannya. Ateisme mereka mungkin juga disebabkan oleh secure atau kenyamanan.

Banyak penelitian membuktikan, semakin nyaman seseorang, maka akan semakin jauhlah ia dari Tuhan. Dalam tatanan sosial, masyarakat dengan tingkat ketidakpastian kehidupan yang tinggi, biasanya cenderung semakin religius, dibanding masyarakat yang hidup dalam tingkat ketidak-mapanan sosial.

Hal objektif yang umum diketahui, jabatan profesor di Amerika adalah jabatan paling “aman” di dunia. Karena, gaji mereka sangat besar, dan mereka juga mendapat jaminan kehidupan seumur hidup. Kenyamanan itulah yang mungkin membuat mereka menjadi ateis.

Sementara penelitian lain megindikasikan, semakin pinter seseorang, akan semakin kritislah ia terhadap dogma agama. Yang kemudian cenderung akan semakin meningkatkan keraguannya terhadap Tuhan.