Jelas sudah sikap MUI tentang rokok dan Golput. Implikasinya kepada masyarakat menghasilkan histeria massal.
Sidang Ijtima’ Ulama Fatwa Ketiga Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang, Sumatera Barat (23-26/1/2009) lalu, menghasilkan beberapa fatwa, dua di antaranya segera disambut dengan polemik di tengah masyarakat dan pemberitaan media massa. Opini umat Islam Indonesia pun terbagi, pro dan kontra.
Fatwa pengharaman rokok bagi anak-anak dan wanita hamil disambut gembira Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Ikatan Ahli Kesehatan. Sejak awal mereka memang sudah mendatangi kantor MUI, membicarakan hukum merokok dan mengharap agar segera ditetapkan fatwa haramnya. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengharapkan angka perokok di kalangan anak akan terminimalisir dengan ditetapkannya fatwa haram ini.
Dukungan atas fatwa keharaman merokok bagi anak dan remaja juga mendapat sambutan hangat dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Alasan yang ditunjukkan adalah bahwa merokok mempunyai dampak negatif lebih tinggi dibanding dampak positifnya, bahkan nyaris tak ada dampak positifnya. Di Jakarta, Ketua Umum IPNU Idy Muzayyad mengatakan, bahwa merokok jelas-jelas membawa mudharat dan kerusakan, terutama bagi remaja, dan sama sekali tak ada manfaat dan kebaikan yang didapat.
Sementara kontroversi lain muncul menanggapi keputusan MUI tersebut. Pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, misalnya menilai, meski menghargai hasil ijtima’ tersebut, tapi tetap menyayangkan keputusan fatwa keharaman rokok. Menurutnya, sejak dulu NU telah memiliki pendapat bahwa merokok hanya diberi fatwa makruh, tak sampai haram.
Tak heran jika dalam rapat Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP), yang merupakan kumpulan 150 pondok pesantren se-Jawa Timur di Ponpes Mamba’ul Hikam Desa Mantenan, Udanawu, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, tercuat penolakan terhadap fatwa MUI tentang keharaman merokok. Alasannya, secara kultur, sosial, dan ekonomi, ketiadaan rokok berarti menghilangkan lapangan pekerjaan. Selain itu, keluarnya fatwa haramnya rokok membuat masyarakat bingung.
Selepas turunnya fatwa MUI tentang hukum rokok, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea Cukai) Anwar Supriyadi menyatakan terperangah. Pasalnya, fatwa itu akan berimbas terhadap penerimaan cukai negara dari industri rokok. Penerimaan cukai diprediksi turun hingga 10 persen.
Meski penerimaan cukai dari industri rokok akan menurun, Anwar tetap berpikir positif. Dia mengingatkan fatwa MUI itu bisa diambil hikmahnya karena berkaitan dengan kesehatan. Yang pasti, katanya, fatwa itu akan berpengaruh secara psikologis terhadap masyarakat yang mayoritas beragama Islam. “Hanya akan berpengaruh secara psikologis saja,” katanya.
Sementara, anggota DPR Drajad Wibowo berpendapat, fatwa MUI itu hanya gejolak psikologis yang sifatnya sementara. Menurutnya, masih terlalu dini untuk melihat dampak dari fatwa tersebut, apalagi terhadap penerimaan cukai yang dihasilkan dari industri rokok. “Bunga bank juga pernah dibilang haram. Tapi hingga kini umat Islam masih banyak yang menabung di bank-bank konvensional,” ujarnya.
Di Padangpanjang, Sumatera, tempat dikelurkannya fatwa tentang rokok, secara psikologis ternyata mempengaruhi pasar rokok di pulau itu. Penurunan permintaan rokok terutama dirasakan oleh industri rumahan rokok di pelosok daerah. Humas Pabrik Rokok Rizki, Amin Wahyu Hidayat, mengatakan, sekarang secara psikologis para perokok sudah terpengaruh fatwa itu. “Kami sangat terpukul apalagi fatwa MUI dikeluarkan di Padangpanjang. Padahal 70 persen pemasaran kami berada di Sumatra,” ujar Amin.
Haram Golput
Hal yang tidak kalah mengundang kontraversi adalah fatwa haramnya golongan putih (golput). Sebelum keluarnya fatwa ini, beberapa tokoh mengharap MUI mengeluarkan fatwa keharamannya. Sebut saja nama Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang respon kian banyaknya orang yang menganjurkan agar golput pada pemilu 2009 mendatang.
Sedangkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi tokoh terdepan pengusung anjuran golput. Ketika muncul fatwa haram golput dari MUI, sontak muncul tudingan bahwa fatwa ini hanya ”pesanan” dari golongan tertentu, khususnya para politisi.
Salah seorang ketua MUI, Drs Amidhan, membantahnya. Dalam diskusi Agama di Tengah Pergumulan Politik Identitas dan Perubahan yang diadakan Pengurus Besar Himpunan Mahasiwa Islam (PB HMI) beberapa lalu, ia menyampaikan bahwa keputusan politik pada sidang ijtima’ MUI hanya sebagai jalan untuk mencari pemimpin ideal.
Menurutnya jika ada pemimpin yang berjiwa jujur (shiddîq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tablîgh), mempunyai kemampuan (fathânah), dan memperjuangkan aspirasi umat Islam, maka wajib hukumnya bagi umat Islam untuk memilih. ”Tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya haram,” jelas. (Islah/Taufiq)
Histeri Massal
Bagi kalangan profatwa, segala fatwa MUI, khususnya yang mengharamkan rokok bagi remaja dan ibu hamil sangat signifikan secara moral masyarakat. Fatwa tentang rokok, khususnya, dinilai bisa melahirkan histeria massal untuk melindungi anak. “Walau mungkin tidak terlalu signifikan, tetapi sebagai isu massal, menunjukkan MUI memiliki sudut pandang yang bagus. Apalagi kerangkanya meminimilisir perokok. Fatwa itu biasanya memberi histeria massal,” ujar anggota Komisi VIII DPR DH Al Yusni.
Histeria Massal (Mass Hysteria), juga disebut collective hysteria (penyakit histeria kolektif), mass psychogenic illness (penyakit psychogenic massal), atau collective obsessional behavior (perilaku obsesif kolektif), adalah fenomena psikologi sosial yang merupakan manifestasi dari kemiripan gejala histris yang dialami lebih dari satu orang.
Histeria massal biasanya terjadi ketika sekelompok orang atau masyarakat mempercayai bahwa mereka tengah didera penyakit atau kepedihan yang sama. Dalam usulan Komnas Anak agar MUI mengeluarkan fatwa haram merokok telah jauh hari mendapat sambutan positif. Pengelompokan keinginan massa agar rokok segera diharamkan, khususnya bagi kalangan anak, merupakan histeria massal yang intinya ingin melindungi anak. Tak heran jika hasil fatwanya akan terbilang positif. (Taufiq)