Archive for ‘Interview’

06/12/2009

Prof. Djamaludin Ancok, Ph.D: Butuh Mufassir Ahli Psikologi

Dunia ilmu psikologi di Indonesia cenderung masih didominasi oleh buku-buku psikologi karya penulis Barat. Banyak teori yang bertentangan dengan Islam pun tercekoki. Butuh kritisasi tajam dan penguatan kurikulum keislaman dalam kajian psikologi Islam, khususnya kajian qur`ani, agar lahir ahli tafsir (mufassir) yang ahli psikolog. Begitu papar pakar psikologi Prof. Djamaludin Ancok, Ph.D, kepada Majalah Qalam beberapa waktu lalu di ruang kerjanya di Fakultas Psikologi Universitas Gajahmada (UGM).

Berikut petikan wawancara dengan Doctor of Philosophy (Ph.D) bidang Psikologi Sosial dari Indiana University Amerika Serikat, dan putra asli Bangka kelahiran 18 Agustus 1946 itu.

Kajian Psikologi Islam kian marak. Bagaimana pengembangan yang terjadi kini?

Dalam konteks Indonesia, ilmu psikologi yang dipakai masih mengangkat tulisan-tulisan Barat yang bertentangan dengan Islam. Butuh kritisasi habis-habisan agar tidak bertentangan dengan budaya Indonesia. Sebab, psikologi yang berkembang di Barat, konteks budayanya berbeda dengan budaya kita. Begitu pula dengan konteks agamanya.

Psikologi Islam lebih bervisi positive psychology (psikologi positif), sementara psikologi Barat berangkat dari psikologi klinis yang cenderung negatif. Teori-teori psikologi negatif berangkat dari kajian orang berpenyakit kejiwaan. Dan umumnya para psikolog Barat berspesialisasi liberal clinical psychology adalah dari kalangan yang berlatarbelakang itu.

Islam sangat berbeda. Kalau dalam agama Kristen ada namanya dosa asal, yang menjustifikasi orang sudah dalam bentuk buruk sejak awal. Sedangkan dalam Islam, manusia terlahir dalam kondisi suci (fitrah). Gerakan psikologi positif kini tengah menjadi tren baru yang dimotori Martin Sligman, dan ini yang lebih relevan dengan Islam.

Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan psikologi positif?

Kendalanya, buku-buku psikologi masih banyak yang ditulis orang Barat, dan begitu mencekoki para psikologi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ini tidak bisa diterima begitu saja, butuh kritisasi mendalam.

Tapi kita tak boleh begitu saja berburuk sangka kepada teori Barat. Karena banyak juga dari teori Barat yang positif dan relevan dengan teori Islam. Maka dari itu, kita harus mencari kesamaan-kesamaannya. Misalnya kesamaan teori achievment motivation, sebuah tuntutan untuk berprestasi, seperti dalam teori David Mc. Clelland, yang ternyata dalam Islam jauh lebih bagus telah diungkap teorinya.

Dalam Islam teori ini dipaparkan dalam surah al-Insyirâh, yang menegaskan agar setelah kita melakukan suatu pekerjaan, harus terus melakukan pekerjaan lainnya. Kelebihan Islam dri Barat dalam teori ini adalah adanya perintah Allah SWT di penutup surah ini agar kita berserahlah diri kepada-Nya. Dan cara ini tidak dikenal dalam psikologi Barat.

Maklumlah jika kemudian di Barat, orang yang gagal berprestasi cenderung akan frustasi. Dan angka bunuh diri pun tinggi, alkoholisme juga begitu.

Jadi ekspektasi psikologi islami lebih jauh dari psikologi Barat. Karena itu, dalam konteks pengembangan kurikulum psikologi islami, sangat butuh ahli yang mampu menstimulasi kaitan psikologi manusia dengan al-Qur`an. Yang betul-betul mampu mengembangkan hipotesis berdasarkan ajaran al-Qur`an, hingga lahir materi baru yang betul-betul ideal dengan Islam. Tapi, yang meneliti harus ahli al-Qur`an, bukan hanya ahli psikologi.

Berarti harus ada psikolog yang mufassir?

Ya. Kita sangat mengharapkan adanya orang-orang seperti itu lahid dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi (universitas) Islam. Karena merekalah yang mendalami agama. Kalau mereka tidak berhasil mengebangkan itu, sungguh sangat disayangkan.

Jadi butuh pembalikan paradigma cara pendalaman psikologi Islam untuk lebih dahulu mendalami al-Qur’an?

Ya. Ini perlu agar kita benar-benar bisa mengaplikasikan tiga langkah dalam mendalami psikologi Islam.

Apa saja?

Level pertama, mengkritisi teori Barat dalam pandangan Islam. Level kedua, mencari pararelisme teori Barat dengan Islam dan apa keunggulan Islam dari teori Barat. Level ketiga, menggali al-Qur’an dan melahirkan teori baru dalam dunia psikologi. Sebab, masih banyak hal-hal dalam al-Qur`an yang belum terkaji.

Berarti harus diupayakan islamisasi psikologi?

Itu ada di level kedua.

Caranya?

Dalam kurikulum psikologi Islam, harus ditata berdasarkan level-lever tersebut secara rapi. Dalam level pertama, bisa dikumpulkan teori-teori apa saja dari psikologi Barat yang tidak pas dengan Islam, untuk “disikat habis”. Bahkan harus mata kuliah khusus bernama “Kritik Islam terhadap Psikologi Barat”.

Adakah penolakan-penolakan yang merintangi upaya menggapai kesempurnaan level-level itu?

Penolakan pasti ada. Yang pertama datang biasanya dari kelompok Islam fanatik, yang memandang al-Qur’an tidak pantas untuk “diterjemahkan” seperti itu. Mereka selalu pesimis melihat upaya ini.

Tantangan dari eksternal Islam juga ada. Bisa jadi ada beberapa kalangan non-muslim yang khawatir bahkan takut, jika pengembangan teori-teori baru oleh umat Islam akan membahayakan mereka. Mereka takut Islam akan lebih maju.

Apakah perlu diadakan kaderisasi sejak awal untuk mencetak ahli psikologi yang Qur’ani?

Ya. Itu yang ideal. Agar lahir penerus yang mampu mendialogkan al-Qur`an dengan teori psikologi.

Menurut Anda, fase mana harus lebih dahulu: mendalami psikologi Barat, baru al-Qur`an atau sebaliknya?

Yang pertama tentunya al-Qur`an. Sehingga ada dasar yang kuat. Tapi ia juga harus berwawasan luas dengan mempelajari al-Qur`an secara tekstual maupun kontekstual, dan mendalami ilmu-ilmu sosial lainnya.

Bagaimana dengan pelajar-pelajar (santri) pesantren?

Menurut saya, orang pesantren itu sudah mapan dalam bidang keislaman, dan sangat pas untuk mendalami psikologi islami dalam jenjang pendidikan selanjutnya. Sehingga saat mendalami psikologi, ia juga dapat merenungi dan membandingkan secara langsung teori psikologi dengan pandangan-pandangan al-Qur`an.

Berbeda dengan orang umum yang mempelajari psikologi islami, seperti saya yang dianggap banyak orang sebagai pakar atau tokoh psikologi Islam. Saya sebenarnya merasa malu dan berdosa, karena yang saya mampu lakukan hanya mencari pararelisme psikologi Barat dengan Islam.

Jika nanti andai tarik-menarik antar psikologi Islam dan psikologi Barat, bagaimana?

Sebagai muslim yang bertanggungjawab kepada Tuhan, kita yang mempelajari psikologi Barat jangan hanya melulu mempelajari dan mengajarkan psikologi Barat. Namun harus ada upaya komparasinya dengan konteks keislaman.

Harus ada awareness kepada keislaman. Dalam pendidikan, kita dapat memberi penjelasan kepada anak didik agar mau aktif mendalami psikologi Islam.

Seperti ketika mengajarkan tentang good corporate governance yang membahas prinsip integritas, awareness, responsibility, maupun compability. Dalam Islam telah ada teori tabligh, amanah, fathanah, dan sebagainya yang telah diteladankan Rasulullah SAW.

Banyak orang khawatir, dengan islamisasi ilmu-ilmu modern akan kian melahirkan militansi dan radikalisasi umat Islam. Pendapat Anda?

Ini maindset yang diciptakan kalangan Barat sejak mencuatnya ide clash of civilization pemikiran Samuel Huntington. Mereka tak senang bila Islam maju dan berkuasa. Terlebih kalangan Yahudi yang menganggap Islam sebagai musuh besar di depan mata. Wajar jika mereka tak senang terhadap perkembangan teknologi dan pengetahuan Islam.

Saya piker, militan Islam untuk membela Islam dan dengan tujuan tidak memaksa orang lain percaya kepada Islam itu saya setuju. Namun, kalau militian untuk memaksa orang lain untuk taat dan yakin kepada Islam, seperti dengan mengebom (terorisme), itu saya tidak setuju. Karena lâ ikraha fid-dîn.

Kalau kekhawatiran ini benar-benar terjadi. Bagaimana mengantisipasinya agar tidak terjadi konfrontasi?

Pertarungan ideologi itu biasa. Seperti ketika mencuat dan merebak Ekonomi Islam. Tapi alhamdulillâh sekarang, Ekonomi Islam terbukti kini bisa diterima di Barat sekalipun, termasuk Paus di Vatikan juga bisa menerimanya.

Masalahnya, ada segelintir orang kita yang suka memaksa untuk menerapkan hukum yang menurut mereka benar.

Berarti kendalanya kelak, ketika kajian psikologi Islam telah mencapai level tiga, berasal dari lingkungan kita sendiri?

Ya. Tugas kita adalah untuk mengedepankan Islam dengan wajah damai, bukan memaksa. Sehingga ketidak-adilan tidak terjadi. Karena pada umumnya masyarakat itu mencari ketenangan hidup.

Cara untuk mencondongkan masyarakat kepada psikologi Islam?

Keanekaragaman adalah berkah. Biarkan psikologi Barat menyebar di masyarakat, termasuk di dalam universitas. Perbedaan madzhab juga biasa, termasuk dalam ilmu yang bertentangan sekalipun. Kelak perlahan mereka akan menyadari sendiri mana yang lebih baik.

Prinsip lâ ikraha fid-dîn, termasuk dalam pemahaman ilmu, harus tetap dijaga. Sehingga lahir kematangan untuk melihat perbedaan, dan kemampuan menghormati perbedaan. Tidak boleh seolah-olah kebenaran hanya milik kita saja.

Persaingan ilmu Islam dengan agama lain?

Yang mempraktikkan psikologi Islam harus orang Islam juga. Jangan dipaksakan kepada non-muslim. Kita harus berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Fastabiqul-khairât, termasuk dengan agama lain. Tapi kita tidak memperlihatkan ajaran Islam yang sifatnya memaksa. Biarlah kesadaran itu muncul dengan sendirinya dalam pandangan orang non Islam. (v2x)