Hakikat Khusyu'

Dr. Amir Faishol Fath

Kata khusyu’ dalam al-Qur`an hampir selalu digandengkan dengan shalat. Dalam surah al-Baqarah ayat 45, Allah SWT berfirman, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`.” Demikian pula dalam surah al-Mu`minûn ayat 2, Allah berfirman, ”(Yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya.”

Imam Ibn Abbas menjelaskan, makna khusyu’ adalah tenang. Dalam bahasa ulama fikih disebut thuma’nînah (tidak tergesa-gesa). Berdasarkan argumen ini, shalat khusyu’ berarti shalat yang ditegakkan dengan tenang dan tidak terburu-buru. Karena, orang yang tergesa-gesa mengerjakan shalat, ia tak akan pernah biasa menikmatinya. Ibarat orang yang tergesa-gesa ketika makan, ia tak akan pernah menikmati lezatnya makanan tersebut.

Selain itu, kata khusyu’ juga digunakan untuk menerangkan kondisi psikologis orang-orang kafir dan pendosa di hari kiamat kelak. Bahwa mereka dalam kondisi jiwa yang penuh kesedihan dan ketakutan.

Dalam surah al-Qalam ayat 43 Allah berfirman, ”Pandangan mereka tunduk ke bawah, dan mereka diliputi kehinaan. Sesungguhnya mereka dulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera (tetapi mereka tidak melakukannya).”

Dipertegas lagi dalam surah al-Ma’ârij ayat 44, ”Mereka menekurkan pandangannya (serta) diliputi kehinaan. Itulah hari yang dahulunya diancamkan kepada mereka.” Dan dalam surah an-Nâzi’ât ayat 9 lagi-lagi ditegaskan makna yang sama, abshâruhâ khâsyi’ah (pandangannya tunduk). Begitu pula dalam surah al-Ghâsyiyah ayat 2, wujûhuy-yama`idzin khâsyi’ah (banyak muka pada hari itu tunduk terhina).

Dalam surah Fushshilat ayat 39, kita menemukan ayat yang menggambarkan ketandusan bumi dengan kata khusyu’. Allah berfirman, ”Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus (khâsyi’atan). Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang Menghidupkannya tentu dapat Menghidupkan yang mati. sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Ini menunjukkan, bahwa kata khusyu’ juga digunakan dalam al-Qur`an untuk menuturkan kondisi yang nampak mati, tidak ada kehidupan, lalu ia menjadi bangkit dan hidup dengan disirami air hujan.

Khusyu’ dalam Shalat

Ada beberapa makna khusyu’ yang telah diterangkan ayat-ayat al-Qur’an di atas: Pertama, ada gambaran sebuah makna yang saling melengkapi tentang hakikat khusyu’ dalam shalat. Yaitu: suatu kondisi di mana seseorang yang sedang shalat benar-benar menyadari kelemahan dirinya yang terbatas dan serba tergantung kepada selainnya, terutama kepada Allah. Dengan kesadaran itu, ia akan menegakkan shalatnya dengan sungguh-sungguh. Bukan asal-asalan.

Inilah maksud firman Allah dalam surah al-Mu`minûn ayat 2, alladzîna hum fî shalâtihim khâsyi’ûn. Karenanya Ibn Abbas mengartikan kata khâsyi’ûn sebagai sâkinûn (tenang).

Bila kondisi seperti ini yang dicapai seseorang dalam shalatnya, maka ia akan merasa nikmat, dan tak akan pernah sedikitpun merasa terbebani. Inilah makna ayat dalam surah al-Baqarah ayat 45, wa innahâ lakabîratun illa ‘alal-khâsyi’în (Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`).

Dari kesadaran shalat seperti inilah akan tercapai kesadaran mendalam bahwa shalat bukan hanya ritual, melainkan harus tercermin dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bila seseorang benar-benar menjiwai hakikat shalat seperti ini, maka ia tak hanya baik secara ritual, melainkan di saat yang sama ia pasti baik secara sosial (akhlak mulia).

Ini yang di maksud dengan firman Allah, ”Sesungguhnya shalat pasti akan mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (Qs. al-’Ankabût [29]: 45)

Perhatikan ayat ini. Di dalamnya terkandung suatu jaminan dari Allah, bahwa seorang yang mengerjakan shalat pasti akan tercegah dari perbuatan keji dan munkar. Artinya, tak mungkin seorang yang shalatnya baik, perilakunya tidak baik. Ingat, bahwa ini jaminan dari Allah. Dan kita tahu Allah tak pernah bohong. Maka jika ada seorang yang shalat, tetapi perilakunya jahat, sungguh yang harus dipertanyakan adalah kualitas shalatnya.

Kedua, shalat adalah ibadah yang sangat agung. Tak ada ibadah dalam Islam yang langsung Allah berikan kepada Rasulullah SAW tanpa perantara Jibril AS, kecuali shalat. Ini menunjukkan betapa agungnya ibadah shalat. Di hari kiamat nanti, ibadah ini akan menjadi barometer bagi ibadah kita lainnya.

Karenanya, seperti disebutkan dalam sebuah hadist, yang pertama kali dihisab dari diri seseorang kelak do akhirat adalah shalat. Bila shalatnya baik, maka ibadah yang lainnya pasti akan menjadi baik. Sebaliknya, bila shalatnya buruk, ibadah lainnya juga akan dianggap buruk.

Jadi, peran khusyu’ dalam shalat sangatlah penting. Karenanya, Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatâwâ menjelaskan bahwa khusyu’ adalah syarat diterimanya shalat. Ia mendasarkan pendapatnya pada surah al-Mu`minûn ayat 1-2, ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya.”

Dari sini Ibnu Taimiyah lalu mengambil kesimpulan bahwa tidak mungkin bisa mencapai kebahagiaan, bila seseorang tidak mempunyai kualitas khusyu’ dalam shalatnya.

Seperti disebutkan di atas, para ulama fikih membahasakan khusyu’ dengan kata thuma’nînah. Kedua kata ini (khusyu’ dan thuma’nînah) menunjukkan makna yang sama, yaitu shalat yang ditegakkan dengan tenang, tidak terburu-buru, penuh dengan kesadaran kehambaan kepada Allah.

Ketiga, hakikat khusyu’ berdasarkan keterangan di atas bila dinisbahkan kepada shalat, maka maksudnya adalah shalat yang tidak hanya tegak secara fisik, melainkan juga jiwa.

Nampak di sini betapa peran penting terlibatnya jiwa ketika seorang mengerjakan shalat. Karenanya tak heran jika banyak hal dalam al-Qur`an, masalah jiwa (an-nafs) menjadi penekanan. Kata tazkiyyah (pembersihan), selalu dimaksudkan untuk pembersihan jiwa (tazkiyyatun-nafs). Allah berfirman, “Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Qs. asy-Syams [91]: 7-10)

Lebih dari itu, di alam akhirat nanti, ketika tiba saatnya ahli surga masuk surga dan ahli neraka masuk neraka, Allah akan lebih dahulu memanggil orang-orang yang jiwanya tenang mentaati-Nya, menegakkan ibadah kepada-Nya, tidak terpengaruh godaan apapun. ”Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Qs. al-Fajr [89]: 27-30). Wallâhu a’lam bish-shawâb.

Leave a comment