Archive for ‘Artikel Sosial Politik’

09/12/2009

Tawakal Solusi Pecandu Narkoba

Muhammad Fierza Mucharam, M.Si., Psi

Psikolog dan Terapis pada Unit Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN)

Dewasa ini penyalahgunaan Narkoba (Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya) semakin meluas, dan telah sampai pada tahap membahayakan. Bahan ini telah dikonsumsi oleh berbagai lapisan masyarakat, dari tingkat atas sampai hingga bawah, dan semua kelompok masyarakat baik anak-anak, orang dewasa, kalangan eksekutif, mahasiswa, pelajar maupun preman.

Menurut catatan dari World Drug Report (Colombo Plan, 2005) diperkirakan 200 juta manusia selama tahun 2004 telah diketahui menggunakan Narkoba di hampir seluruh negara. Terlebih, lagi jaringan penggunaan Narkoba telah berkembang begitu dasyat, dan permasalahannya tak hanya muncul pada penyalahgunaan tapi juga pada kian meningkatnya produksi dan penjualannya.

Korbannya dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Khusus di Indonesia, sejak 1970 saat permulaan Narkoba melanda remaja khususnya di Jakarta hingga 2000, data kunjungan korban penyalahgunaan Narkoba di RSKO Jakarta dan Polri, baik rawat inap maupun rawat jalan, menunjukkan peningkatan signifikan. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir terjadi lonjakan kasus lebih dari 400 persen. Tercatat 28387 kasus yang ditangani Polri, dan kasus Narkotika menjadi yang terbanyak, yaitu 13803 kasus.

Berdasarkan PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa) maupun DSM IV, penyalahgunaan Narkoba dapat didiagnosa sebagai suatu bentuk gangguan kejiwaan. Dan menurut jumhûl ulama, hukum barang berbahaya ini haram, selain untuk pengobatan. Penggunaan, memperdagangkan, maupun memproduksinya merupakan amalan berdosa.

Banyak faktor yang mendorong seseorang menjadi penyalahguna Narkoba. Umumnya, kegagalan dalam pemenuhan fungsi-fungsi yang ideal dalam setiap tahapan perkembangan manusia, dapat memperbesar kemungkinan munculnya ketergantungan seseorang kepada Narkoba.

Menurut Edward Kaufman (Family Therapy of Drugs and Alcohol Abuse, 1991), banyak sekali variabel yang harus diperhatikan dalam mekanisme munculnya penyalahgunaan. Yaitu biologis, psikologis, sosial, dan budaya. Ia mencatat, terdapat beberapa hal yang patut digaris bawahi, yaitu adanya suatu pola kepribadian spesifik, di antaranya ketidak-mampuan seseorang dalam mengatasi frustrasi, kecemasan dan tekanan, serta perilaku yang tidak asertif.

Berdasarkan penelitiannya terhadap Polydrug abusers (pengguna aneka macam jenis Narkoba), terlihat tingginya tingkat depresi, kebingungan diri, penolakan, merasa dirinya besar, mengabaikan otoritas, dan kemampuan berkelit para pengguna.

Barang berbahaya ini sangat riskan menyebabkan rasa kecanduan hingga ketergantungan penggunanya. Menurut Sarafino (Health Psychology; Biopsychososial Interaction, 1990), kecanduan merupakan kondisi yang dihasilkan oleh penggunaan zat alami atau sintensis secara terus-menerus, yang membuat penggunanya tergantung secara fisik dan psikologis kepada zat tersebut.

Rice (1996) membedakan antara kecanduan fisik dengan kecanduan psikologis. Kecanduan fisik ditandai dengan terjadinya gejala putus obat ketika penggunaan dihentikan. Sedangkan kecanduan psikologis ditandai dengan berkembangnya kebutuhan terhadap narkoba.

Sementara Frankl menyebutkan, alasan individu mencandu narkoba adalah kegagalan seseorang dalam menemukan makna hidup.

Pendekatan Spiritual

Penelitian mutakhir telah mengindikasikan bahwa agama merupakan faktor pelindung manusia untuk mendapatkan kesehatan fisik dan psikologis. Menurut Wills, Yeager dan Shandy (Psychology of Addictive Behaviors, 2003) banyak penelitian yang membuktikan bahwa terjadi tingkatan yang rendah penyalahgunaan Narkoba di kalangan orang yang terlibat aktif dalam kegiatan keagamaan.

Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam jiwa manusia, menurut pandangan psikologi Islam, disebabkan ketidak-tundukkan individu kepada aturan-aturan yang diberikan Sang Khalik. Penyimpangan secara vertikal kepada Sang Maha Pencipta, secara langsung akan memberi dampak horizontal antarsesama manusia.

Artinya, akhlak atau tindak tanduk keseharian seseorang sangat ditentukan oleh kebersihan sifat jiwanya dalam kedekatan kepada Sang Khalik, juga bagaimana ia bersikap terhadap kemunkaran atau kondisi negatif yang ada di hadapannya.

Suasana perasaan cemas dan gelisah merupakan salah satu pertanda dari kondisi dan keadaan jiwa yang tidak seimbang. Ketika seseorang tidak mampu menyelesaikan konflik-konflik yang dialaminya, maka gangguan emosional dalam diri akan muncul tanpa dapat dihindari.

Ketidakmampuan seseorang untuk menanggapi rangsangan emosional dari luar dengan layak, dan keterbatasan untuk mengolah emosi maupun mengekspresikan perasaan-perasaannya, dapat muncul menjadi bentuk gangguan perasaaan (mood) dan perilaku (Qs. al-Baqarah [2]: 277).

Dalam konteks psikologi Islam, suasana perasaan yang negatif, seperti rasa khawatir, kecemasan dan sedih hati, muncul dari ketidakmampuan seseorang untuk menyerahkan segala persoalan kehidupannya kepada sumber kekuatan Allah SWT, atau tawakal (Qs. al-Anfâl [8]: 2-4).

Permasalahan-permasalahan dalam kehidupan seseorang akan muncul, jika ia tidak mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan dengan baik. Konflik yang sering merupakan penyebab utama suatu masalah, akan dapat diselesaikan apabila seseorang mempunyai kemampuan penataan konflik (management conflict) yang baik. Kegagalan seseorang untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah kehidupan, pada gilirannya nanti akan menyebabkan meningkatnya kecemasan dan perasaan ketidaknyamanan diri.

Penelitian Williams, Larson, Buckler, Hackman dan Pile pada tahun 1991 membuktikan adanya kaitan yang cukup erat antara tekanan dalam kehidupan dengan keagamaan yang dimiliki seseorang. Stres dan kecemasan dalam kehidupan, akan semakin menurun seiring dengan frekuensi keterlibatannya dengan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Menurut George de Leon (2002), Tuhan merupakan sumber spiritual “Kekuatan Tertinggi”, yang secara pribadi harus dapat dihubungkan oleh pribadi para pecandu yang tengah menjalani proses recovery (penyembuhan). “Kekuatan Tertinggi” itu dapat menjadi sumber kekuatan spriritual untuk perubahan pribadi pencadu, jika ia mampu sadar dengan kekcilan dirinya dibanding Tuhan.

Dalam “Model 12 Langkah” pemulihan pecandu Narkoba, pada langkah kedua juga disebutkan “Kekuatan yang Lebih Tinggi” yang dapat mengembalikan pecandu pada kewarasan. Langkah ini dilaksanakan setelah pecandu melakukan pengakuan ketidak berdayaannya atas kekuatan Narkoba dan adiksi, serta pernyataan kehidupannya yang tidak terkendali akibat barang berbahaya itu.

Pada langkah ketiga ditekankan penyerahan diri secara total kepada Tuhan (tawakal). Yaitu upaya mengalihkan hidup dari menuhankan Narkoba dan adiksi, kepada kehidupan yang diatur oleh Tuhan. Dari dua belas langkah yang ada, terdapat lima langkah (3, 5, 6, 7, dan 11) yang menghubungkan antara pecandu dengan Tuhan.

Obat Tawakal

Kondisi dan keadaan jiwa seseorang, dapat menggambarkan akhlak yang akan muncul darinya. Dan tingkat kecemasan seseorang, sangat berdampak pada munculnya akhlak yang buruk. Imam Syahrarwardi (dalam Ghazali Menuju Mukmin Sejati, 1994) mengatakan, bahwa hamba Allah hanya mungkin mencapai derajat kerendahan hati yang sejati, jika cahaya renungan Ilahi mulai bersinar di dalam hatinya. Ketika tipuan kecongkakan jiwa pudar, ia pun menjadi lembut, patuh kepada Allah dan menghormati manusia.

Dalam sebuah hadits disebutkan, seorang lelaki berkata kepada Rasulullah SAW, “Berilah aku nasihat.” Maka beliau bersabda, “Takutlah kepada Allah, di manapun kamu berada.” Lelaki itu berkata, “Tambahkan lagi.” Nabi bersabda, “Iringilah perbuatan dosa dengan kebaikan, niscaya akan terhapuslah dosa itu.” Lelaki itu kembali berkata, “Tambahkanlah lagi.” Nabi menjawab, “Pergaulilah manusia, dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hanbal)

Untuk mendapatkan gambaran mengenai keadaan diri, seseorang hanya dapat mengidentifikasi baik buruk kondisi jiwanya, jika ia mengetahui keadaan berlawanan yang ada dalam jiwanya. Menurut al-Ghazali, sifat-sifat berlawanan yang akan digunakan untuk menyembuhkan akhlak buruk, harus ditentukan dosisnya. Jiwa yang kurang sempurna dan jernih, harus diupayakan menemukan kekurangan-sempurnaan jiwanya.

Dalam hal pecandu Narkoba, akhlak buruk akibat kecanduan dalam dirinya akan diketahui setelah ia menyadari suasana hatinya yang cemas, yang menggambarkan kerapuhan kondisi jiwa yang sesungguhnya. Dan itu akibat lemahnya penyerahan diri (tawakal) si pecandu kepada sumber kekuatan yang Maha Agung, Allah SWT. Hingga berpengaruh pada buruknya hubungan dirinya dengan orang lain, yang tergambar dalam perilaku asertif.

Kecemasan dapat ditanggulangi dengan mendekatkan diri kepada Allah, yang di antaranya melalui ibadah. Dengan ibadah, seseorang akan terseimbangkan akal dan semua emosi dirinya. Dengan konsistensi mengingat Allah di setiap waktu, dan menghadapkan diri kepada-Nya sepenuh hati dan jiwa, seorang pecandu akan mendapatkan perlakuan secara ruhani dan kejiwaan. Saat berinteraksi dengan Allah, melalui ibadah, ia akan dapat terlepaskan dari kesendirian dan kekosongan ruh.

Musfir ibn Said az-Zahrani (Konseling Terapi, 2005) mengungkapkan, dengan mengingat Allah dalam ibadah maupun di luar ibadah, akan tumbuh rasa kedekatan hati dengan Allah. Orang yang melakukannya pun akan selalu bertawakal kepada-Nya. Dengan ibadah, orang tidak akan merasa kesendirian di dunia, atau terkucilkan dari masyarakatnya.

Jika pecandu yang sedang menjalani proses pemulihan mencapai tahapan itu, maka dalam dirinya akan tumbuh perasaan aman dan ketenangan jiwa. Yang selanjutnya dapat melepaskan mereka dari semua penyebab keraguan, ketakutan, kesedihan, dan utamanya kecemasan diri.

Orang-orang yang bertawakal, modal pokok mereka adalah mengabdikan diri kepada Allah. Mereka akan berlapang dada dan jauh dari pikiran-pikiran kusut yang merepotkan diri, hingga mereka bisa hidup tentram, tanpa dirongrong kepentingan makhluk. Mereka tidak akan merasakan kesendirian di dunia, dan tidak akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi kepada orang lain dengan jujur dan terbuka.

Mereka merupakan kaum yang kuat dan bebas. Seolah mereka raja sejagad, beribadah tanpa ada godaan dan halangan. Karena semua tempat dan waktu bagi mereka sama saja, tidak memberikan pengaruh apa-apa. Sebab modal pokok mereka adalah tawakal kepada Allah.

09/12/2009

Reward-Punishment Berantas Korupsi

Y. Dian Indraswari

Aktivis Pusat Kajian Global Civil Society (Pacivis) FISIP UI, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Kekhususan Intervensi Sosial

Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely (Lord Acton). Kata-kata bijak merupakan pernyataan yang sangat populer ketika orang membicarakan tentang kekuasaan dan hubungannya dengan korupsi. Korupsi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak berkaitan dengan ekonomi-politik dan kekuasaan tetapi seringkali orang lupa bahwa ada dimensi manusia sebagai pelaku korupsi.

Samuel Huntington dalam buku Political Order in Changing Societies, mendefinisikan korupsi sebagai “behavior of public officials which deviates from accepted norms in order to serve private ends (1968: 59). Korupsi merupakan perilaku menyimpang dari para pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Berkaitan dengan definisi tersebut, jelas terlihat bahwa korupsi tak hanya menyangkut aspek hukum, ekonomi, dan politik, tapi juga menyangkut perilaku manusia yang menjadi bahasan utama ilmu psikologi.

Sayangnya, ranah psikologi, khususnya di Indonesia, masih berorientasi pada sektor industri. Secara umum bidang yang diminati psikologi berkutat pada sumber daya manusia untuk kepentingan ekonomi dan psikologi konsumen. Dimensi sosial, khususnya psikologi dan perilaku korupsi hampir tak pernah dibicarakan, apalagi menjadi kajian akademis. Padahal problem korupsi di Indonesia menjadi persoalan besar, dan sering disebut sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa).

Indeks Persepsi Korupsi hasil survei Tranparency International dalam lima tahun terakhir skornya cuma naik 0,5 dari 1,9 (2001) ke 2,4 (2006) sehingga Indonesia masih bertahan dalam kelompok negara terkorup. Governance Assessment Survey (2007) UGM-PGR terhadap enam indikator tata kelola pemerintahan (governance) versi Bank Dunia di 10 provinsi dan 10 kabupaten, salah satunya menyimpulkan, pungutan liar (pungli) masih lazim, dan pemberantasan korupsi terhambat keseriusan pemerintah dan lembaga bukan pemerintah.

Ragam Korupsi

Alatas (1975: 46) menyebutkan ciri-ciri korupsi. Antara lain: Biasanya melibatkan lebih dari satu orang; Melibatkan keserbarahasiaan kecuali telah berurat berakar; Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik (tidak selalu uang); Pelaku biasanya berlindung di balik pembenaran hukum; Pelaku adalah orang yang mampu mempengaruhi keputusan; Mengandung penipuan kepada badan publik atau masyarakat umum; Pengkhianatan kepercayaan; Melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif; Melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban; Dan kepentingan umum di bawah kepentingan khusus.

Lebih lanjut Alatas (1975: 46) menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab korupsi. Antara lain: Ketiadaan/kelemahan kepemimpinan dalam posisi kunci yang mempengaruhi tingkah laku menjinakkan korupsi; Kelemahan pengajaran agama dan etika; Konsumerisme dan globalisasi; Kurangnya pendidikan; Kemiskinan; Tidak adanya tindak hukuman yang keras; Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti-korupsi; Struktur pemerintahan; Dan perubahan radikal/transisi demokrasi.

Menurut Aditjondro (2003: 22) ada tiga model lapisan korupsi. Yaitu: Pertama, Korupsi Lapis Pertama. Berupa penyuapan (bribery) dengan prakarsa yang datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik, atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) diprakarsai untuk meminta ‘balas jasa’ yang datang dari birokrat atau petugas pelayanan publik lainnya.

Kedua, Korupsi Lapis Kedua. Yaitu jejaring korupsi (cabal) antara birokrat, politisi, aparat penegakan hukum dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Biasanya ada ikatan nepotistis di antara beberapa anggota jejaring korupsi, yang dapat berlingkup nasional.

Ketiga, Korupsi Lapis Ketiga. Yaitu jejaring korupsi (cabal) berlingkup internasional, dengan kedudukan aparat penegakan hukum pada model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga penghutang dan/atau lembaga-lembaga internasional yang punya otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terpilih oleh pimpinan rezim yang jadi anggota jejaring korupsi internasional tersebut.

Namun Irwan (2003: 32) menegaskan, bahwa korupsi tidak selalu harus menyangkut hubungan segitiga antara pemerintah, bisnis dan masyarakat, baik di level nasional maupun internasional. Korupsi dapat terjadi di bidang-bidang yang tidak langsung berhubungan dengan pemerintah dan bisnis.

Menurut Irawan, ada empat lingkar pelaku korupsi: Pertama, korupsi yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan bisnis. Kedua, korupsi yang melibatkan kreditor multilateral, pemerintah pusat dan daerah. Ketiga , korupsi yang melibatkan LSM dan lembaga donor asing. Dan keempat, korupsi yang baik pelaku maupun korban adalah rakyat kelas menengah ke bawah.

Perilaku Korupsi

Berbicara tentang perilaku korupsi, dari kacamata psikologi tak lepas dari pengaruh aliran behaviorisme. Tokoh berpengaruh dari aliran ini salah satunya adalah J.B Watson (1878-1958) yang terkenal dengan stimulus-response theory.

Ia mempelajari bahwa setiap tingkah laku pada hakikatnya merupakan tanggapan atau balasan (response) terhadap rangsang (stimulus), karena itu rangsang sangat mempengaruhi tingkah laku manusia. Watson bahkan sampai pada kesimpulan bahwa setiap perilaku ditentukan dan diatur oleh rangsang. Perilaku korupsi tak akan terjadi jika tak ada stimulus dari luar. Stimulus dapat berupa rangsangan uang dan kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi.

Yang dimaksud dengan rangsang (stimulus) adalah peristiwa baik yang terjadi di luar maupun di dalam tubuh manusia yang memungkinkan tingkah laku terjadi. Perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya rangsang itu disebut “tingkah laku balas” (response). Hubungan stimulus-response yang sudah sangat kuat akan menimbulkan “reflex” yaitu tingkah laku balas yang dengan sendirinya timbul bila terjadi suatu rangsang tertentu. Reflex dalam teori rangsang-balas merupakan dasar dari proses belajar.

Teori Watson ini dikembangkan lebih jauh oleh B.F. Skinner dan C.L Hull. Istilah yang juga sering digunakan dalam teori-teori rangsang balas adalah dorongan (drive). Menurut kaum mediationist (Hull dan lain-lain), dorongan adalah semacam energi (daya) yang mengarahkan individu kepada pilihan tingkah laku tertentu. Pilihan-pilihan tingkah laku ini ditimbulkan oleh kebutuhan (need).

Di era modernitas saat industrialisasi dan konsumerisme tumbuh subur, kebutuhan (need) menjadi meningkat, sehingga pemenuhan kebutuhan seakan tidak mencapai pemuasan, hingga merangsang orang melakukan korupsi untuk pemenuhan kebutuhannya.

Dengan demikian, kebutuhan dan dorongan merupakan variabel atau faktor yang ada antara rangsangan dan tingkah laku balasnya. Seringkali kebutuhan dan dorongan berjalan searah. Misalkan, seseorang butuh barang-barang mewah lalu ia memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi, maka ia akan melakukannya. Tapi ada kalanya dorongan tak sejalan dengan kebutuhan. Seperti meski ada kebutuhan tapi gaji pas-pasan, namun jika tak ada dorongan, maka orang tak akan melakukan tindakan korupsi.

Dollard dan Miller (1941) sepaham dengan Hull tentang ada dua dorongan pada manusia: primer dan sekunder. Dorongan primer adalah dorongan bawaan, seperti lapar, haus, sakit dan seks. Dorongan sekunder adalah dorongan-dorongan yang bersifat sosial yang dipelajari, seperti dorongan untuk mendapatkan upah, pujian, penghargaan dan sebagainya.

Namun demikian, Skinner tidak menganggap penting konsep dorongan ini. Konsep ini menurut Skinner hanya menggambarkan kuat lemahnya suatu perilaku tertentu. Dorongan tidak mempunyai peranan penting dalam proses hubungan rangsang-balas. Skinner mengemukakan tiga fungsi dari rangsang yang diistilahkan sebagai pembangkitan (elicition), diskriminasi (discrimination) dan penguat (reinforcement).

Pembangkitan adalah rangsang langsung yang menimbulkan tingkah laku balas. Seperti melihat uang atau makanan yang langsung membangkitkan air liur. Pada rangsang diskriminasi hanya merupakan pertanda, misalkan suara penjaja makanan atau iming-iming penyuapan. Sedangkan rangsang penguat adalah untuk memperkuat atau memperlemah perilaku. Contohnya pujian, dorongan lingkungan atau hukuman.

Konsep-konsep lain yang sering dikemukakan dalam teori rangsang-balas adalah penyamarataan (generalization) dan diskriminasi (dicrimination). Penyamaraan adalah proses ketika suatu rangsang menimbulkan balas yang pernah dipelajari dari rangsang lain serupa atau hampir serupa. Contoh: seseorang melakukan pelanggaran, kemudian mempelajari bahwa dapat terhindar dari tilang dengan menyogok polisi. Dengan beberapa kali melakukannya, ia dapat melakukan generalisasi bahwa semua polisi bisa disuap.

Konsep diskriminasi berlaku sebaliknya. Diskriminasi berarti timbulnya tingkah laku balas yang berbeda terhadap rangsangan yang berbeda-beda pula. Contoh: kasus penyuapan di tubuh KPU beberapa tahun lalu (Mulyana W. Kusuma kepada Khairiansyah dari BPK). Ternyata, penyuapan tidak berhasil dalam semua kasus. Hal ini kemungkinan menimbulkan efek jera untuk melakukan penyuapan pada auditor BPK.

Perilaku korupsi juga dapat dipelajari melalui prinsip-prinsip psikologi belajar yang dikemukakan Miller dan Dollard (1941). Menurutnya, ada empat prinsip belajar: dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku balas (response), dan ganjaran (reward). Keempat prinsip ini sangat kait mengait dan dapat saling dipertukarkan.

Dalam tindakan korupsi, juga melewati prinsip belajar ini yaitu ada dorongan baik internal, seperti kebutuhan (need), atau eksternal seperti dari sesama pegawai publik atau atasan. Kemudian, ada isyarat atau kesempatan, sehingga terjadi tindakan (respons). Perilaku ini dapat diperkuat dengan reward atau diperlemah dengan sistem punishment.

Rekomendasi Psikologi Sosial

Fenomena korupsi di Indonesia dapat dipahami secara kultural melalui pendapat Huntington. Menurutnya, korupsi memerlukan “some recognition of the differences between public role and private interest” (1968: 60).

Huntington memberi ilustrasi tentang peran publik dan kepentingan pribadi lewat peran seorang raja. Jika budaya politik yang berlaku tidak membedakan peran raja sebagai seorang pribadi dan perannya sebagai raja, maka tak mungkin orang dapat menuduh raja melakukan korupsi ketika ia menggunakan dana-dana publik.

Lebih lanjut menurut Hunttington, ”some notion of this distiction, however, is necessary to reach any conclusion as to whether the action of the king are proper or corrupt” (1968: 60). Pejabat di Indonesia semestinya juga bisa membedakan ranah peran publik dan kepentingan pribadi.

Tindakan salah, seperti perilaku korupsi, adalah penyalahgunaan wewenang sebagai pribadi. Sehingga jika ia (pejabat) memikirkan kepentingan masyarakat luas, idealnya ia akan berani mengakui kesalahan dan menanggung resiko perbuatan. Hal ini masih sangat jarang kita jumpai pada diri pejabat publik di negeri ini.

Dalam strategi pemberantasan korupsi, rekomendasi yang bisa diberikan dalam kerangka psikologi sosial adalah perlunya memperkuat reward-punishment. Meski UU Anti-Korupsi telah dibuat beserta perangkat UU yang lengkap, namun sampai kini belum ada terapi kejut yang dapat membuat para koruptor jera. Selain itu perlu juga dipikirkan mekanisme reward atau penghargaan bagi para pejabat, masyarakat, tokoh agama, dan khususnya whistle blowers yang berani menolak dan berjasa memberantas tindakan korupsi.

Bahan Bacaan

George Junus Aditjondro, Jurnal Wacana: Bukan Persoalan Telur dan Ayam: Membangun Suatu Kerangka yang Lebih Holistik bagi Gerakan Anti-Korupsi di Indonesia, Yogyakarta: Insist Press, 2003.

H.S Ahimsa-Putra, Jurnal Wacana: Korupsi di Indonesia: Budaya atau Politik Makna?, Yogyakarta: Insist Press, 2003.

Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1975.

Mochtar Buchori, Pendidikan Anti Korupsi, Kompas 21 Februari 2007.

S.P. Huntington, Political Order in Changing Societis. New Haven: Yale University Press, 1968.

Alexander Irwan, Jurnal Wacana: Pemberantasan Korupsi sebagai Gerakan Budaya, Yogyakarta: Insist Press, 2003.

Syahrul Mustofa dkk, Mencabut Akar Korupsi, Mataram: Somasi, 2003.

Sarlito W Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1983.

Pramono U Tantowi, Membasmi Kanker Korupsi, Jakarta: PSAP, 2004.

09/12/2009

Pemimpin Berkualitas Bisa Merasa, Bukan Merasa Bisa

Sofyan Badrie

Indonesia makin demokratis. Tapi kian berkualitaskah hasil demokrasinya? Para pemimpin Indonesia masih harus belajar banyak dari Nelson Mandela.

Saat ini Indonesia sedang menghadapi tantangan besar, apakah demokrasi dapat membawa bangsa ini pada kemajuan dan kejayaan, ataukah sebaliknya justru menjerumuskan pada pertikaian dan keterpurukan. Menurut Prof Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, demokrasi sebenarnya hanya sebuah cara yang saat ini dianggap paling fair untuk melahirkan kepemimpinan.

”Tapi kita sering dihadapkan pada realitas proses demokrasi ternyata tak selalu melahirkan kepemimpinan yang baik dan memuaskan rakyat,” kata Bang Din, sapaan akrab mantan ketua Jurusan Perbandingan Agama Institut Islam Agama Islam (IAIN), kini Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu, kepada Qalam.

Din mengakui, demokrasi di Indonesia memang masih hanya sekedar sebuah prosedur. Sementara dari segi kualitas masih belum terlalu menjanjikan. Kepemimpinan yang dilahirkan proses demokrasinya masih tidak berkualitas, dan tidak menjamin lahirnya kepemimpinan ideal. Tapi, imbuh Din, kita tak boleh putus asa untuk mencobanya dengan penuh kesabaran. ”Sebab, kualitas demokrasi akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kedewasaan masyarakat yang terlibat,” tegasnya.

Oleh karena itu, pengasuh Pengajian Orbit ini menegaskan, umat Islam Indonesia wajib mengawal demokrasi agar semakin dewasa dan berkualitas. Sebab, dalam Islam kepemimpinan merupakan tindakan fardlu khifâyah yang harus diupayakan. Bahkan, jika ada dua orang Muslim bepergian, diwajibkan untuk menentukan dari salah satu di antara keduanya sebagai pemimpin. Dan menjadi salah, jika umat Islam tak peduli atau lari dari tanggungjawab kepemimpinan. Tapi, jangan pula mereka terjebak dalam motivasi kepemimpinan yang salah.

Menurut Din, ada dua referensi yang dapat selalu kita jadikan rujukan dalam melihat motivasi kepemimpinan. Pertama, model Abu Dzar al-Ghifari yang oleh Rasulullah SAW ditolak ketika meminta jabatan. Karena Rasulullah tahu bahwa Abu Dzar tak akan mampu mengenban amanah itu. Kedua, model Nabi Yusuf AS yang menawarkan diri untuk menjadi bendaharawan negeri Mesir, karena menyadari kemampuan dirinya untuk menyelamatkan Mesir dari paceklik panjang dan kebangkrutan (krisis multidimensi).

Dari sini jelaslah, motivasi kepemimpinan harus selalu dikembangkan atas dasar “sikap bisa merasa”, bukan “sekedar merasa bisa”. Oleh karena itu, siapa saja anak bangsa yang ingin tampil dalam kepemimpinan nasional, di manapun dan apapun levelnya, harus menyadari bahwa memimpin adalah untuk berkhidmat demi umat dan rakyat. Sebab, kepemimpinan adalah amanah yang harus dijalankan dengan baik. Dan Allah SWT akan meminta pertanggungjawabannya.

Jangan Modal Ambisi

Sementara menurut Faturochman, peneliti Puslit Kependudukan UGM Yogyakarta, menjadi pemimpin tidaklah mudah. Dan lebih sulit lagi untuk menjadi pemimpin yang baik. ”Sayangnya, banyak orang tidak menyadari bahwa mereka tidak layak menjadi seorang pemimpin. Ambisi besar malah sering menjadi modal satu-satunya,” ujar dosen Fakultas Psikologi UGM ini.

Pemimpin yang demikian tentu akan menggunakan cara-cara kurang terpuji guna mencapai puncak tujuan. Ia akan sulit menjadi teladan yang baik. Karena, melalui jalur legal dan benar saja belum menjadi jaminan untuk bisa menjadi teladan. Terlebih sebagai pemimpin, setiap saat ia akan disorot dan diuji untuk menjadi teladan. Sebalik cacat saja akan mengakibatkan banyak reaksi negatif mengalir kepadanya.

”Keteladanan seorang pemimpin bisa dipahami dengan konsep belajar sosial yang banyak dibahas dalam psikologi,” papar Faturochman. Menurut konsep belajar sosial, untuk menjadi teladan, pemimpin harus benar-benar bisa menjadi pusat perhatian yang positif dan menarik. Perhatian masyarakat terhadap pemimpinnya, akan banyak menimbulkan proses psikologis masyarakat. Ucapan dan perilakunya akan banyak dijadikan referensi.

Bila kebijaksanaan-kebijaksanaan para pemimpin itu menguntungkan anggota masyarakat, itu menjadi reward untuk menguatkan anggapan dan perilaku yang terbentuk. Dengan demikian, keteladanan yang terbentuk akan menjadi sangat kuat terhadap masyarakat. Dan pemimpin yang mempunyai hubungan psikologis erat dengan anggota masyarakat, cenderung akan banyak mendapat toleransi bila sekalipun ia melakukan kekeliruan.

Lebih jauh Faturochman mengungkapkan, masyarakat yang meneladani pemimpin, berarti mereka mengidentikasi diri seperti para pemimpinnya. Menurut Herbert Kelman (1961), identifikasi diri merupakan puncak dari kompromi dan kepatuhan terhadap pemimpin. Bila anggota masyarakat telah mengidentifikasi (baca: meneladani) pemimpinnya, maka apapun yang dilakukan dan diinginkannya akan dituruti.

Namun untuk mencapai pada tingkat keteladanan yang tinggi, bukan hal yang mudah. Karena, untuk sekedar kompromi dan patuh kepada pemimpin, tak perlu sampai perlu meneladaninya. Seringkali, pemimpin hanya ingin anggota yang dipimpinnya mengikuti berbagai aturan yang ia buat. Dengan kata lain, ia hanya ingin anggota masyarakat patuh kepadanya.

Keadaan ini merupakan pola terentan dalam hubungan pemimpin dan yang dipimpin. Kepatuhan yang lemah ini, biasanya hanya digunakan untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari sanksi. Bila tak ada sanksi, mereka akan berbuat seenaknya. Seperti pola hubungan ABS alias asal bapak senang. Di depan mereka patuh, namun di belakang mereka mencibir.

Boks

8 Pelajaran dari Nelson Mandela

Mendengar kata ”politikus”, banyak orang sontak mendadak mual. Yang terbayang adalah monster-monster yang merampok uang negara. Tak heran jika Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan (Afesl), terlihat bagai seorang suci (santo) di dunia politik yang kotor. Ia mampu membawa Afsel yang apartheid menuju ranah demokrasi.

Banyak orang di dunia mengagungkan tokoh ini. Lantas, apa rahasia kepemimpinannya? Wawancara terbaru Mandela dengan Majalah TIME mengungkap delapan prinsip kepemimpinannya yang patut ditiru semua pemimpin di dunia ini.

1. Courage is not the absence of fear, it’s inspiring others to move beyond it. Mandela kerap kali merasa gentar, tapi menurutnya itu wajar dialami seorang pemimpin. Tapi, ia tidak ingin menunjukkan rasa takut itu di hadapan orang lain. Keberanian yang ia tampilkan, meski kadang hanya pura-pura, mampu menenangkan kekhawatiran dan menyemangati orang di saat-saat sulit.

2. Lead from the front, but don’t leave your base behind. Ketika Mandela memutuskan untuk memulai dialog dengan Pemerintah apartheid, teman-temannya mengira ia sudah “menjual diri”. Padahal Mandela dengan sabar membujuk mereka pelan-pelan.

3. Lead from the back, and let others believe they are in front. Tugas seorang pemimpin, bukan untuk menyuruh-nyuruh orang lain, tapi untuk menciptakan sebuah kesepakatan. Dalam rapat-rapat, Mandela biasanya mendengarkan pendapat teman-temannya terlebih dahulu. Ketika tiba giliran, ia akan merangkum semua pendapat itu, baru mengutarakan pendapatnya sendiri, dan pelan-pelan mengarahkan hasil diskusi tanpa nada memaksa atau memerintah.

4. Know your enemy, and learn about his favorite sport. Di awal perjuangannya, Mandela bersikeras belajar bahasa Afrikaan, bahasa orang kulit putih Afrika Selatan, dus sejarah kolonialisasi mereka. Ia bahkan berusaha mendalami rugby, olahraga favorit mereka. Wal hasil, ia dihormati lawan, mulai dari sipir penjara, hingga P.W. Botha (Presiden kulit putih Afsel di masa apartheid). Dialog dengan mereka juga menjadi lancar.

5. Keep your friends close, and your rivals even closer. Orang-orang dekat Mandela tak selalu orang yang ia sukai. Tak jarang mereka justru rival, atau orang-orang yang digosipkan berusaha menggulingkannya. Tapi Mandela percaya, dekat dengan rival adalah satu cara untuk mengendalikan mereka.

6. Appearances matter, and remember to smile. Mandela percata, apa yang tampak di luar sama pentingnya dengan apa yang ada di dalam diri. Karenanya ia benar-benar menggunakan penampilan fisik untuk membantu perjuangannya.

7. Nothing is black or white. Meski Mandela jelas-jelas menentang apartheid, ia juga sadar bahwa apartheid memiliki penyebab historis, sosiologis, dan psikologis yang kompleks. Karena itu, ia tak pernah terpaku pada satu jalan untuk memecahkan masalah. Ia adalah politikus yang pragmatis. Ia tak akan segan-segan mengubah ideologi atau taktik, seperti menghentikan perjuangan bersenjata, jika memang itu cara paling praktis untuk mencapai tujuan akhir.

8. Quitting is leading too. Berhenti menjabat bukan berarti berhenti memimpin. Jasa-jasa Mandela cukup signifikan untuk membuatnya menjadi presiden seumur hidup. Tapi dengan sukarela ia tak ingin dipilih lagi. Baginya, yang diikuti dari seorang pemimpin bukan hanya apa yang ia lakukan, tapi juga apa yang tidak ia lakukan.

09/12/2009

Mencari Pemimpin, Bukan Penguasa

Arif Firmansyah

Redaktur Koran Tempo, Alumni TMI Al-Amien 1991

Seorang pemimpin ibarat pilot dalam penerbangan yang membawa penumpang menuju suatu tempat yang diinginkan. Sebagai pilot, tentulah ia harus memahami dan menguasai semua instrumen di dalam cockpit, agar penerbangan berjalan lancar, sehingga semua penumpang selamat sampai tujuan. Kecakapan pilot mengendalikan pesawat dalam berbagai situasi, merupakan faktor terpenting bagi keamanan dan keselamatan selama penerbangan.

Untuk menjadi seorang pilot, tentu bukan perkara mudah. Selain harus mengikuti pendidikan formal selama beberapa tahun, ia juga harus melatih kecakapan mengendalikan pesawat secara rutin, agar kemampuanya semakin terasah. Setelah pendidikan dan pelatihan dilalui, masih ada satu tahap yang harus dijalani lagi, yaitu ujian untuk mendapatkan lisensi layak terbang. Lisensi ini mesti diperbarui dalam rentang waktu tertentu, sesuai jenis lisensi yang dimiliki.

Tahap-tahap yang harus dilalui calon pilot itu, merupakan seleksi untuk menentukan apakah ia telah cakap dan layak menjadi pilot atau tidak.

Dan tahapan seperti ini juga berlaku bagi seseorang sebelum mendapat amanah menjadi pemimpin. Namun, fase yang harus dilalui seorang pemimpin jauh lebih komprehensif dibanding tahapan menjadi pilot. Selain itu, bekal yang harus dimiliki pemimpin melebihi bekal yang dibutuhkan

seorang pilot.

Meski memiliki kriteria dan standar yang berbeda, pilot dan pemimpin sama-sama memiliki tugas mengantarkan orang yang telah memberinya kepercayaan sampai ke tujuan dengan selamat. Agar harapan ini terwujud, kita mesti selektif memilih siapa yang layak dan pantas menjadi pemimpin. Sebab, salah pilih bukan saja akan membuat perjalanan menjadi tak nyaman, tapi juga mengancam keselamatan jiwa penumpang.

Dalam skala yang lebih besar, seperti pemilihan presiden yang berlangsung sekarang, memilih pemimpin merupakan bentuk tanggungjawab kita sebagai insan beragama dan warga negara yang baik. Karena itu, sebelum memberikan amanat kepada seseorang menjadi pemimpin, sebaiknya kita memiliki gambaran lebih awal tentang karakter seorang pemimpin.

Gambaran ini sebagai panduan agar kita tidak tersesat menentukan pilihan.

Pandangan pertama yang perlu kita sepakati adalah pemimpin merupakan abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan merupakan amanah (titipan) dari Allah maupun masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan menyadari kepemimpinan merupakan amanah, semestinya tak perlu terjadi konflik untuk merebut kekuasaan. Apalagi sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Pemimpin dan Penguasa

Dalam buku terkenalnya as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, Ibnu Taimiyah mengatakan, karena kepemimpinan merupakan amanah, maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan baik. Tugas yang diamanatkan harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu, ketika memilih pemimpin seharusnya masyarakat tidak melakukannya berdasarkan golongan dan kekerabatan semata. Seorang pemimpin harus dipilih berdasarkan keahlian, profesionalisme dan keaktifan.

Menurut Ibnu Taimiyah, substansi kepemimpinan merupakan amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar ahli, berkualitas, dan memiliki tanggung jawab yang benar dan adil, jujur serta bermoral baik. Jika kriteria ini bisa dipenuhi oleh seorang pemimpin, insyaallâh akan membawa pada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dan dinamis.

Amanah merupakan salah satu prinsip dasar kepemimpinan Rasulullah, selain tiga prinsip lainnya. Yaitu shiddîq (jujur), fathânah (cerdas dan berpengetahuan), amânah (dapat dipercaya), dan tablîgh (berkomunikasi dan komunikatif dengan semua orang). Empat sifat dasar ini juga bisa menjadi faktor yang membedakan antara penguasa dan pemimpin.

Seorang penguasa, biasanya mendapat kekuasaan dengan cara merebut dari pihak lain, lewat peperangan atau penjajahan. Sebagian besar orang yang berada dalam kekuasaannya, juga tak pernah merasakan kedamaian. Bahkan, tak menutup kemungkinan mereka akan berada dalam kondisi tertekan, karena harus menuruti setiap kemauan penguasa. Penguasa pun memiliki kewenangan tunggal dan bersifat mutlak, serta tak bisa diganggu gugat.

Sedangkan pemimpin, mendapat kepercayaan dari orang lain karena diakui kemampuan intelektual dan kematangan emosionalnya. Pemimpin yang baik, akan selalu mendorong orang yang dipimpinnya untuk mengembangkan potensi. Karena itu salah satu ukuran kesuksesan pemimpin justru dilihat dari kesuksesan orang yang dipimpinnya. Semakin banyak bawahan yang sukses, berarti ia berhasil menjadi pemimpin. Begitu pula sebaliknya.

Sunnah Kepemimpinan

Rasulullah merupakan tipikal pemimpin yang sukses melahirkan generasi penerus yang layak menjadi pemimpin umat. Salah satu kunci sukses beliau adalah kesediaan untuk berbagi dan menumbuhkan sikap tanggung jawab terhadap pekerjaan yang menjadi tugas masing-masing. Faktor inilah

yang menjadi salah satu intisari dari pesan beliau, “Kullukum râ’in wa kullukum mas`ûlun ‘an rai’yatihi.” Semua dari kalian adalah pemimpin, dan kalian semua bertanggungjawab atas yang dipimpinnya.

Pemimpin yang bersedia berbagi dengan orang lain, akan menunjukkan kematangan emosional, karena tak akan menganggap dirinya paling benar. Sikap rendah hati ini memungkinkannya bisa menerima masukan dari orang lain untuk mencari kebenaran.

Sikap ini pernah ditunjukkan Abu Bakar Ass-Shiddiq ketika diangkat menjadi pemimpin umat setelah Rasulullah wafat. Dalam sebuah penggelan pidatonya, Abu Bakar berkata, “Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin, bukan karena aku yang terbaik di antara kalian. Untuk itu jika aku berbuat baik, bantulah aku. Dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku. Orang lemah di antara kalian, aku pandang kuat posisinya di sisiku, dan aku akan melindungi hak-haknya. Orang kuat di antara kalian, aku pandang lemah posisinya di sisiku, dan akan kuambil hak-hak yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat, untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya.”

Dari penggalan pidato ini, ada beberapa pesan yang bisa diambil. Pertama, rendah hati. Posisi pemimpin sebenarnya tidak berbeda dengan rakyat biasa. Karena itu, pemimpin tak harus diistimewakan. Ia hanya orang yang perlu didahulukan, karena ia mendapat kepercayaan dan mengemban amanat. Sikap rendah hati ini, biasanya mencerminkan persahabatan dan kekeluargaan.

Kedua, terbuka untuk dikritik. Kritik dari rakyat dipandang sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap kelangsungan hidup bersama. Hal ini merupakan partisipasi sejati. Karena, sehebat apapun pemimpin, pasti memerlukan partisipasi orang banyak dan mitranya. Prinsip dukungan dan kontrol masyarakat ini, harus diterima dengan lapang dada.

Ketiga, berlaku adil. Keadailan adalah faktor yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk kemakmuran rakyat. Pemimpin harus mampu menimbang dan memperlakukan sesuatu secara adil dan menjauhkan dari dari sikap berat sebelah. Orang yang “lemah” harus dibela haknya dan dilindungi. Orang kuat yang bertindak zhalim harus ditindak. Wallâhua’alam bish-shahawâb.

09/12/2009

Jangan Remehkan Dampak Televisi

Arif Firmansyah

Seorang ayah terkejut bukan main saat mendapati anaknya yang berusia lima tahun sudah mampu melontarkan kata-kata milik anak remaja. Dalam beberapa kesempatan, si anak kerap menyanyikan lagu-lagu cinta yang kini tengah menjamur. Kondisi ini tentu tak pernah terbayang di benak orangtua. Tapi, menilik kenyataan yang terjadi, semua yang tak terbayang itu sudah terbentang di depan mata. Tak sedikit anak-anak belia yang kini menjadi akil balig lebih cepat.

Kenyataan yang merisaukan para orangtua ini tentu ada “asbabun-nuzûl”nya. Yang pasti, tayangan televisi yang mengepung rumah-rumah kita sepanjang hari menjadi pemicu yang tak boleh dianggap remeh. Anak-anak belia yang menjadi “ABG” sebelum waktunya merupakan korban tayangan televisi. Selain menimbulkan dampak psikologis, televisi juga menimbulkan dampak lain terhadap mental anak-anak dan kesehatan mereka.

Hasil penelitian Hancox RJ. Association bertema Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement menyebutkan, bahwa anak berusia tiga tahun yang rajin nonton, akan mengalami penurunan minat baca, berkurangnya kemampuan membaca secara komprehensif, dan menurunnya kemampuan memori. Sedangkan dampak jangka panjang berupa kegagalan akademis pada usia 26 tahun.

Menurut Dr. Hardiono D. Pusponegoro, mengutip hasil penelitian tadi, dari aktivitas menonton televisi saja, otak akan kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dalam hubungan sosial dengan orang lain. Selain itu, otak juga akan kehilangan kesempatan bermain kreatif dan memecahkan masalah. Televisi yang bersifat satu arah, membuat anak-anak kehilangan kesempatan mengekplorasi dunia tiga dimensi, dan peluang tahapan perkembangan yang baik.

Dampak tayangan televisi semakin jelas terlihat jika kita kaji setiap jenis tayangan. Tapi, dari sekian ragam jenis tayangan, yang paling mendapat perhatian adalah tayangan kekerasan dan infotainment. Dua jenis tayangan ini bukan saja mengilhami penonton dewasa untuk meniru setiap adegan tayangan, tapi juga berdampak pada perilaku keseharian mereka. Apalagi dalam berbagai penelitian, dua jenis tayangan ini menarik banyak penonton dan meraih rating tinggi.

Tayangan berita seputar gosip para pesohor (artis), misalnya yang sangat menjamur sejak Cek & Ricek mengudara pertama kali pada awal 1990-an, sampai sekarang produk ini tetap bertahan dan terus berkembang. Belakangan, bahkan semakin banyak muncul acara sejenis. Jam tayangnya pun sudah mulai sejak pagi buta hingga menjelang tengah malam, di hampir semua saluran televisi.

Berita-berita yang disajikan dalam tayangan infotainment, biasanya mengandung rumus yang sederhana. Pertama, kemunculan seorang artis baru dan segala pernik-pernik kehidupan pribadi serta prestasi yang diraih kalau ada. Kedua, setelah dikenal siapa pacar atau orang yang sedang mendekatinya, artis itu akan dicecar reaksi seputar kedekatan hubungannya. Ketiga, setelah menjalin hubungan asmara, infotainment akan menggiring isu pada urusan kapan si artis akan menikah.

Setelah si artis menikah, pertanyaan yang selalu dimunculkan adalah kapan punya anak dan berapa anak yang diinginkan. Jika pertanyaan ini tak kunjung mendapat jawaban pasti, materi yang ditayangkan biasanya beralih kepada isu lain, seperti keretakan rumah tangga hingga perceraian. Kisah kawin cerai artis tak jarang jadi tayangan bersambung selama berminggu-minggu, seperti terjadi dalam kasus perceraian Tamara Bleszinsky-Teuku Rafli dan Ahmad Dhani-Maia Estianti.

Tayangan yang terlalu jauh memasuki ruang privat seseorang inilah yang banyak dipersoalkan. Selain tidak mendidik, jam tayang infotainment seakan tak mengenal waktu. Sehingga jam-jam tayang untuk tontonan anak-anak pun terampas. Jika dihitung-hitung, jam tayang infotainment bisa mencapai 18 jam sehari, atau lebih dari 220 episode dalam seminggu.

Dengan jam tayang yang begitu masif, tak heran jika acara ini sudah muncul sejak sebelum matahari terbit hingga menjelang tengah malam, di berbagai saluran televisi. Bayangkan, setelah mengikuti pengajian ba’da Subuh di televisi, rumah-rumah kita sudah dibombardir dengan tayangan infotainment. Dengan masa tayang yang begitu banyak, tanpa disadari tayangan ini seringkali membuat orang ketagihan.

Dengan jam tayang yang tinggi, mau tak mau anak-anak di rumah akan punya kesempatan luas menjadi penontonnya. Apalagi jika para ibu dan kaum perempuan, yang menjadi pangsa pasar terbesar penonton tayangan ini, ikut-ikutan menjadi penonton setia. Akibatnya, anak ikut terbawa arus menjadi penonton juga. Pada masa perkembangan ini, tentunya anak-anak dengan mudah menyerap kosakata, kalimat, atau kata-kata yang disampaikan presenter.

Menurut psikolog Dadang Hawari, tayangan televisi menjadi modeling bagi perkembangan anak-anak, jika mereka terus-menerus menjadi penonton. Apalagi jika orangtua secara bersama-sama menjadi penonton acara sejenis. Anak-anak akan menemukan pembenaran bahwa acara yang ditonton itu adalah acara yang baik, sehingga muncul naluri meniru segala yang ditayangkan.

Sebagai orangtua kita, sudah waktunya kita tekan dampak tayangan yang mengandung ghibah (bergunjing) itu seminimal mungkin. Sikap ini menjadi penting, sebelum perilaku anak-anak kita disetir oleh televisi. Selagi ada peluang dan kesempatan memperbaiki diri, alangkah baiknya jika kita mulai dari sekarang untuk melihat kembali hobi kita menonton gosip, isu, dan acara menggunjing orang lain.

Bijak Memilih Tontotan

Antara benci dan rindu, merupakan ungkapan yang pas untuk menggambarkan hubungan kita dengan televisi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mulai sulit melepaskan diri dari televisi, karena tak sedikit acara yang bernilai positif.

Pengajian Subuh, merupakan salah satu tayangan yang layak disimak. Begitu pula acara ilmu pengetahuan seperti Discovery Channel. Dalam kesempatan lain kita juga perlu mengetahui perkembangan dunia luar agar wawasan kita terus bertambah.

Dengan manfaat yang tidak sedikit ini, disertai mudharat yang dihadirkan, yang diperlukan sekarang adalah sikap kita terhadap tontotan. Kita perlu bijak, kapan semua anggota keluarga bisa menonton bersama, dan kapan televisi harus dimatikan. Orangtua perlu menekan ego untuk tidak menonton televisi pada jam-jam anak belajar. Karena, bagaimana mungkin meminta anak belajar, jika di dalam rumah yang sama orangtua asyik menonton sinetron?

Selain itu, orangtua harus selektif memilihkan tayangan yang boleh ditonton anak-anaknya. Apalagi, saat ini banyak tayangan dengan label “tontotan anak”, tapi isinya justru jauh dari nilai-nilai dan kehidupan dunia anak. Acara “Idola Cilik” misalnya, seakan ditujukan untuk anak-anak. Tapi jika kita simak lebih jauh, terutama lagu yang dinyanyikan, rasanya kita perlu berpikir kembali kelayakan acara tersebut ditonton anak. Bagaimana mungkin anak-anak berusia 10-12 tahun menyanyikan lagu “Kekasih Gelap” milik Sheila On 7, misalnya.

Kunci penting menghindarkan anak-anak dari dampak buruk televisi adalah kepedulian orangtua dan kemauan orangtua untuk mengalah. Jika orangtua tetap gemar menonton televisi tanpa tahu waktu, jangan berharap anak-anak patuh dan menuruti kemauan orangtua. Jangan sampai kita baru sadar ketika anak-anak lebih mudah menirukan adegan di televisi daripada menjadikan orangtua sebagai panutan. Wallâhua’alam.

09/12/2009

Kalah-Menang Pemilu

Tafsir Absurd dalam Konteks Perebutan Kekuasaan

Ishaq Zubaedi Raqib

Satu dekade terakhir, bangsa Indonesia sejatinya tengah berada dalam sebuah dunia “entah kenapa” karena terjadinya serangkaian persoalan yang datang tiba-tiba. Persoalan yang seharusnya sudah dapat diantisipasi sebagai dampak bawaan, malah sering membuat kita seperti bangsa yang baru belajar. Ini terjadi hampir di semua sendi kehidupan. Kita kerapkali dibuat tergagap-gagap oleh ketidakmampuan kita mengantisipasi berbagai kemungkinan yang seharusnya bisa siap diminimalisasi dampak negatifnya.

Begitu era reformasi datang setelah sekian tahun hanya berani tumbuh dalam angan-angan, kita justru menyikapinya dengan main-main, tanpa konsep, perencanaan dan perhitungan matang untuk mengukur segala dampaknya. Kita terjangkit penyakit euphoria berlebihan, sehingga lupa ke mana harus melangkah. Bahkan, gerakan reformasi yang sejatinya diharap menjadi gerbang masa depan, malah akhirnya menjelma gelontoran bola salju yang setiap saat siap menerkam kita. Kita tak tahu harus berbuat apa, dan kita tak menyadari ini semua akan berakibat sangat buruk bagi kelangsungan kehidupan.

Demikian pula yang terjadi di ranah politik. Ketika lima tahun silam memilih kepala daerah secara langsung hanya angan-angan, kita kapan saja kita bisa menentukan pilihan untuk mengangkat seorang pemimpin. Hatta, untuk memenuhi hasrat berkuasa, kini sebuah daerah harus dimekarkan hanya demi jabatan prestisius, bupati kepala daerah.

Sebuah propinsi bahkan bernasib sama. Hanya untuk mengantarkan seseorang menjadi gubernur, peduli amat memenuhi syarat atau tidak, kawasan tersebut harus terpecah-belah. Kabupaten Tarutung di Sumatera Utara, harus rela membelah dirinya hanya untuk kelahiran Kabupaten Dairi.

Ibarat “hukum karma”, Tarutung tak hanya harus bersiap menjadi ayah kandung bagi anaknya, Dairi, tapi juga harus berbesar hati ketika harus dilakukan operasi caesar atas kelahiran cucunya, Phakphak Barat sebagai kabupaten baru pecahan kabupaten Dairi.

Yang paling mutakhir, dan ini menyebabkan semua stakeholder sadar untuk melakukan moratorium, adalah keinginan kelompok tertentu di Sumatera Utara untuk memecah propinsi tetangga Nanggroe Aceh Darussalam. Ketua DPR setempat, Abdul Aziz Angkat, menjadi martir, tewas saat menghadapi gelombang massa yang histeris, menebar tindakan horor untuk terpenuhinya hasrat pemekaran.

Maka, hasrat untuk berkuasa, akan terus menggelora dan tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus bertunas dan berdaun, bercabang serta bertumbuhan, sehingga akan teramat sulit bagi siapapun untuk menghentikan keinginan paling purba yang ada pada diri anak manusia ini.

Kalau demikian, adakah di antara kita yang tidak memiliki hasrat berkuasa? Pada setiap anak manusia, hingga dalam diri manusia paling “suci” sekalipun, bahkan juga bagi kalangan moralis dan rohaniawan, hasrat ini telah ada. Bukankah telah nyata mata, ada para petinggi sebuah organisasi penggiat keagamaan harus berlomba, berkompetisi dan bersaing untuk jabatan tertentu?

Untuk ini semua, dibutuhkan modal yang tentu saja tidak sedikit, tidak kecil. Dan sungguh tak terkirakan akibat negatifnya jika keinginan untuk berkuasa dan segera terpenuhi.

Hasrat Berkuasa

Keinginan untuk berkuasa, sejatinya adalah persoalan masa lalu yang terus berkembang hingga ke masa depan. Maka, segala modal dipertaruhkan untuk membuat kursi kekuasaan bertekuk lutut di hadapan kita, dan menjadi layaknya sebuah mainan dalam genggaman tangan kita. Adakah semua ini sepi dari pendekatan politik.

Hampir semua kegiatan yang dilakukan untuk mencapai sesuatu membutuhkan politik tertentu, dengan pendekatan yang berbeda. Ibarat sebuah game, kita harus memiliki kiat-kiat tertentu, taktik yang jitu, dan strategi mumpuni agar sebuah target bisa dicapai.

Demikian pula dengan yang dilakukan “calon-calon” pemimpin kita yang bertarung teramat ketat, bahkan dengan rekan separtai, untuk tujuan menjadi anggota parlemen. Saling membunuh pun dilakukan, asal tujuan dapat tercapai. Konsekuensinya jelas. Ada yang sukses menjadi pemenang, dan karenanya harus ada yang menjadi pecundang.

Sekarang mari berhitung! Dari sisi materi, sudah barang pasti tidak akan sedikit dana yang harus dipersiapkan untuk memenuhi hasrat menjadi anggota dewan yang terhormat. Kalau Komisi Pemilihan Umum (KPU) benar dengan datanya, maka tercatat tak kurang dari 11.868 politisi dan calon politisi yang bersaing untuk menjadi manusia-manusia terhormat pada pemilu legislatif 2009 ini.

Jika jumlah ini dikalikan dengan, minimal, Rp 1 miliar sebagai dana perjuangan, maka dalam beberapa saat, dana sebesar itu habis dibuang hanya untuk sebuah persiapan. Dana yang untuk menuliskannya harus menggunakan medium deret angka ini, sungguh akan teramat panjang, dan jika harus diverbalisasi akan berkisar triliyunan itu, dengan gampangnya digelontorkan hanya untuk sebuah prosesi start menuju pertarungan, yang sejatinya akan lebih mengerikan lagi.

Pantaslah kalau begitu kursi diduduki, maka sejak hari pertama yang terbayang adalah bagaimana mengisi kantong yang terlanjur terkuras, menambah angka pada deposito yang sudah berkurang, dan tentu saja berjuang keras untuk memperoleh “untung” yang lebih besar lagi.

Apakah dengan demikian, akan usai sudah keiginan untuk berkuasa? Lima tahun ke depan, adakah yang berbesar hati melepas kursi yang telah menjelma menjadi mesin pemenuh hasrat berkuasa, ATM bagi semua keinginan, alat paling sophisticated untuk mencapai segala yang muncul dalam gelora syahwat dunia itu?

Bagi kita yang selama ini hidup di bawah atau tengah garis kemiskinan, mari bayangkan gaji para anggota dewan yang terdiri atas gaji rutin perbulan, rutin non perbulan dan tentatif.

Pendapatan rutin perbulan meliputi gaji pokok Rp 15.510.000, tunjangan listrik Rp 5.496.000, tunjangan aspirasi Rp 7.200.000, tunjangan kehormatan Rp 3.150.000, tunjangan komunikasi Rp 12.000.000, tunjangan pengawasan Rp 2.100.000. Total perbulan Rp 46.100.000 dan pertahun menjadi Rp 554.000.000. Tanpa kecuali, semua anggota DPR mendapatkan gaji yang sama.

Sedang penerimaan non bulanan atau non rutin dimulai dari penerimaan gaji ke-13 setiap bulan Juni Rp 16.400.000 dan dana penyerapan/reses Rp 31.500.000. Dalam satu tahun sidang ada empat kali reses, dan jika ditotal selama pertahun akan diterima sekitar Rp 118.000.000.

Sementara penghasilan yang bersifat sewaktu-waktu, antara lain dana intensif pembahasan rencangan undang-undang dan honor penyelenggaraan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebesar Rp 5.000.000 perkegiatan. Dana kebijakan intensif legislatif sebesar Rp 1.000.000 per-RUU. Jika dihitung jumlah keseluruhan yang diterima anggota DPR dalam setahun mencapai hampir 1 milyar rupiah.

Data tahun 2006, jumlah pertahun dana yang diterima anggota DPR mencapai Rp 761.000.000, dan tahun 2007 mencapai Rp 787.100.000.

Masih adakah pos pendapatan lainnya? Tentu masih. Semisal tunjangan untuk jabatan di semua alat kelengkapan DPR. Pimpinan DPR, Ketua Komisi, Ketua Fraksi, Ketua Panitia Kerja (Panja), Ketua Panitia Khusus (Pansus), Panitia Anggaran (Panggar), Pimpinan Badan Musyawarah (Bamus), Pimpinan Badan Legislasi (Baleg), serta pos-pos pendapatan lainnya. Duh!

Tentu saja, ini semua untuk mereka yang sukses melenggang menuju kursi-kursi yang tak lama lagi bakal ditinggalkan oleh penghuninya itu. Lalu bagaimana halnya dengan mereka yang sudah berjuang sekian tahun, konsolidasi sekian bulan, sosialisasi menjelang pemilu, tapi terpental dari perebutan kekuasaan ini? Adakah di antara mereka yang telah bersiap-siap untuk sebuah kekalahan?

Menerima Kekalahan

Tradisi dan sejarah kehidupan perpolitik yang dimiliki anak bangsa ini, sejujurnya tak pernah mengenal dengan benar istilah menerima kekalahan. Jangankan untuk sebuah kekalahan dalam merebut kekuasaan, “mengalah” untuk sesuatu yang lebih bermakna bagi kelangsungan sebuah kehidupan pun, seringkali kita tidak siap.

Kalau perlu, sebuah kehidupan tak apalah harus berhenti, asal jangan ada istilah kalah dalam kamus perjalanan hidup kita. Karena itu, kalah dalam dunia politik mengandung makna dan tafsir sungguh beragam dengan implikasi tak bisa kita prediksikan. Karena itu, seringkali kita membuat tafsir yang rancu untuk memaknai akibat sebuah pertarungan politik.

Sejatinya, kekalahan dalam konteks perebutan kekuasaan memiliki implikasi yang sungguh tak terjangkau kata-kata. Seseorang yang mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan, maka ia sejatinya telah terpental dari tempatnya berpijak. Ia telah kehilangan segala-galanya, karena ia telah juga mempertaruhkan segala-galanya.

Kalau seseorang bersaing memperebutkan kekusaan dengan modal dana, tenaga, atau dukungan suara yang besar, strategi yang benar, taktik yang tepat dan kiat yang terukur, lalu karena satu dan lain hal ia kalah, maka sejatinya ia telah kehilangan semua modalnya. Yang paling mengerikan adalah kalau ia kehilangan modal pengaruh dan kepercayaan dari para pendukungnya. Kiamat kecillah yang bakal dia terima.

Untuk sebuah pertarungan politik, deretan modal tadi sesungguhnya kuranglah memadai. Perjuangan politik tentu haruslah dilakukan dengan pendekatan politik pula. Nakal-nakallah sedikit! Kalau tidak, maka sebaiknya Anda berjuang untuk menunggu kotak amal saja!

Karena tabiatnya yang “nakal-nakal sedikit” itulah, maka pertarungan di dunia politik kadang sarat perjudian, penuh premanisme, dan kadangkala melahirkan political assasination. Berharap fairness, janganlah bermimpi.

Fairness, kata sebagian orang, hanya bisa ditemukan di dunia olahraga. Hanya di beberapa cabang, karena beberapa cabang olahraga tertentu justru membutuhkan politik tertentu pula untuk meraih poin. Begitu petinju kawakan Oscar De La Hoya dikandaskan oleh Manny Pacquiao dari Filipina, maka pemilik julukan The Golden Boy itu disebut “loosing”; kehilangan. Ia kehilangan gelarnya dan ia kehilangan momentumnya.

Seharusnya demikian pula halnya dengan mereka yang bertarung dalam memperebutkan kekuasaan tetapi kandas, maka sejatinya ia telah kehilangan. Kehilangan sangat banyak, yang sepatutnya sudah diperhitungkan jauh-jauh hari. Ia kehilangan harta, dukungan, kepercayaan, kesempatan, tenaga, momentum dan banyak bentuk kehilangan lainnya.

Untuk mereka yang tidak siap, tentu perlu kita tunjukkan bahwa kehilangan kesadaran jauh lebih mengerikan. Sehingga untuk itu, tak perlulah menyesali nasib karena menjadi seorang pecundang. Pecundang kalau masih memiliki mental fairness, maka ia masih memiliki modal tersisa untuk tetap menjadi seorang manusia.

Candu Politik

Sayangnya, dunia politik tak selalu mengenal adagium tersebut. Politik adalah soal kekuasaan. Dan kekuasaan adalah soal candu. Barangsiapa yang sudah merasa politik adalah jalan hidupnya, maka jatuh bangun pun akan ia lakukan, asal masih bisa kembali ke habitatnya; dunia politi yang kejam.

Buktinya amatlah banyak. Bahkan dalam satu dekade terakhir dalam kehidupan politik kita. Begitu terjungkal, Abdurrahman Wahid berjuang dan meggandeng Marwah Daud Ibrahim, meski akhirnya harus menerima kenyataan pahit.

Sebagai incumbent, seharusnya pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi bisa dengan mudah mempertahankan kekuasaan, tetapi kenyataan berkata lain. Dua orang mantan anak buahnya di kabinet yang ia pimpinan, pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla, memaksa Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu, terpental. Bahkan, bekas atasan SBY di lingkungan TNI, mantan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto pun harus berbesar hati menerima kenyataan dan sanksi politik, kalah hanya pada putaran pertama. Sungguh menyesakkah.

Kapokkah mereka semua? Tidak ada yang kapok. Tidak ada yang merasa jengah karena kalah dan kehilangan pada mementum sebelumnya. Tahun ini, pada pemilu 2009, mereka kembali sakau, karena candu politik.

Tetapi di sinilah anomali muncul. Mereka yang seharusnya sudah keok, kalah telak dan kehilangan banyak, kini justru merasa terlahir kembali karena dorongan ingin berkuasa yang begitu kuat. Dana yang mereka kucurkan seperti tak mengenal kata henti. Uang yang mereka kantongi seperti tak mengenai nomor seri. Begitu besar uang digelontorkan untuk sebuah hasrat kekuasaan.

Kalau pada pertarungan pemilu untuk mengisi kursi perlemen saja menghabiskan uang triliunan rupiah, bagaimana pula dengan uang yang harus dibuang untuk memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2? Alamak!

Sebuah tafsir yang absurd untuk memahami kalah-menang dalam konteks perebutan kekuasaan. Wallâhu a’lam bish-shawâb.

09/12/2009

Gila Jabatan Vs Gila Kuasa

Faisal Haq

Jurnalis Senior, Pengamat Sosial

“Saya bukan orang yang gila jabatan!” tegas Dr. Dr. Nila Anfasya Moeloek, mantan calon Menteri Kesehatan untuk Kabinet kedua Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2009-2014. Dokter ahli gigi ini menjawab pertanyaan wartawan, usai serah terima jabatan dari Siti Fadhilah Supari kepada Menteri Kesehatan (Menkes) yang baru, Dr. Endang Sedyaningsih (21/10/09).

Aneh tapi nyata. Dr. Nila dipanggil ke Puri Cikeas, dan ia sudah mengikuti sejumlah persyaratan, seperti psikotes dan tes kesehatan, tapi justru tak ikut dilantik selaku Menkes bersama 34 menteri lainnya. Sosok Dr. Nila sudah dikenal di kalangan ilmuwan kedokteran dan departemen kesehatan. Lebih-lebih suaminya, Faried Anfasa Moeloek, adalah mantan Menkes pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.

Tentu berbeda dengan Endang Sedyaningsih yang kurang begitu dikenal. Selain hanya sebagai “orang” laboratorium, utamanya juga setelah “dimejapanjangkan” oleh Menkes Fadhilah Supari kala itu karena menilai Endang telah membawa virus asal Indonesia keluar negeri tanpa sepengetahuan pejabat Depkes.

Menurut mantan Menkes, Siti Fadhilah, Endang ternyata sangat dekat dengan Namru (laboratorium milik Angkatan Laut Amerika Serikat dan badan intelijennya/CIA). Tak pelak rumor pun berkembang, terpilihnya menteri dadakan ini karena Presiden SBY dianggap masih dalam “tekanan” negara paman Obama itu.

Right Man in Wrong Place

Berbagai pengamat sosial, bertolak dari hasil penelitian menyebutkan, kebanyakan orang yang gila jabatan tak jarang disertai kecenderungan gila kekuasaan. Dengan kata lain, gila jabatan setali tiga uang dengan gila kekuasaan. Dan mereka sesungguhnya cenderung tidak memiliki kapasitas (kemampuan) yang sesuai dengan jabatannya (peran).

Dan manusia yang “gila kuasa” sudah tentu akan menjadi sangat otoriter atau kehilangan rasa malu untuk mundur dari jabatannya, kendati mayoritas rakyat menilai kinerjanya tidak becus. Mati rasa!

Apa target yang ingin dicapai orang yang gila kuasa? Apakah kekayaan yang dimiliki belum cukup membahagiakan diri dan keluarganya? Jelas, baginya kekayaan belum cukup membuat diri lebih eksis, lebih bermarbat. Dapat disimpulkan kekayaan tak cukup menaikkan status sosialnya.

Bayangkan, seorang pejabat setingkat gubernur saja, ke mana-mana dikawal, tak kenal macet. Begitu turun dari mobil, pintu pun dibukakan bawahan. Karena berbagai fasilitas dan kemudahan yang diterima, maka gaya hidup pun berubah. Kebutuhan hidup meningkat. Tak puas bila hanya berbelanja di mal-mal lokal, tapi harus ke Eropa, minimal Singapura. Masyarakat awam menyebutnya sebagai gaya hidup Orang Kaya Baru (OKB).

Kecenderungan orang yang gila kuasa ini, tentu “miskin” kearifan dan miskin kemaslahatan sosial. Senyatanya tuntutan efektivitas kerja yang berhasil guna, tentu sangat jarang kita jumpai pada pejabat-pejabat kita.

Misalnya, kinerja kepolisian yang sangat terpuji dalam melawan terorisme, tapi sungguh menyedihkan dalam proses penegakan hukum. Amerika Serikat yang hingga kini gagal menangkap gembong teroris dunia Osama bin Laden, pun telah turut memuji kehebatan Polri dalam memberantas terorisme.

Tapi sepandai-pandai “tupai” melompat akhirnya jatuh juga. Sehebat-hebatnya institusi polisi, akhirnya berhasil diobok-obok oleh seorang makelar kasus, Anggodo Widjojo. Dan kasus ini menjadi fenomenal saat rekaman sadapan telepon Anggota dengan para pejabat penegak hukum dikumandangkan Mahkamah Konstitusi (2/11/09).

Sosiolog UI, Imam B Prasodjo mengaku, mendengar rekaman percakapan tersebut membuatnya “mual-mual dan ingin muntah”. Betapa uang menjadi “raja” yang dapat menyetir para pejabat penegak hukum di negeri para bedebah ini. Na’ûzubillâh!

Sebutlah seorang markus (makelar kasus) dalam konflik KPK versus Polri: dengan modal uang yang banyak, ia dapat dengan mudah “menyetir” aparat penegak hukum, baik di Polri maupun Kejaksaan Agung. Apa akibatnya terhadap rakyat? Tentu sangat merugikan citra pemerintahan SBY, karena mayoritas rakyat tak percaya lagi terhadap kedua institusi tersebut.

Akibat lainnya, ketidakpastian hukum ini sangat buruk pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi dan investasi di Indonesia. Karena investor asing tak akan mau menanamkan modalnya di negeri ini jika tak ada kepastian hukum.

Akhirnya, bila pernyataan Dr. Nila Moeloek kita anggap atau dipahami sebagai prediksi, maka Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua tinggal menghitung hari bagi terjadinya pergantian kabinet.

Andai bangsa kita memiliki budaya instropektif, tentu tak sedikit yang akan menolak dirinya diminta menjadi menteri. Apakah kursi menteri di kabinet baru kini dipenuhi orang-orang yang gila jabatan?

29/08/2009

Jangan Remehkan Dampak Televisi

Arif Firmansyah Seorang ayah terkejut bukan main saat mendapati anaknya yang berusia lima tahun sudah mampu melontarkan kata-kata milik anak remaja. Dalam beberapa kesempatan, si anak kerap menyanyikan lagu-lagu cinta yang kini tengah menjamur. Kondisi ini tentu tak pernah terbayang di benak orangtua. Tapi, menilik kenyataan yang terjadi, semua yang tak terbayang itu sudah terbentang di depan mata. Tak sedikit anak-anak belia yang kini menjadi akil balig lebih cepat. Kenyataan yang merisaukan para orangtua ini tentu ada “asbabun-nuzûl”nya. Yang pasti, tayangan televisi yang mengepung rumah-rumah kita sepanjang hari menjadi pemicu yang tak boleh dianggap remeh. Anak-anak belia yang menjadi “ABG” sebelum waktunya merupakan korban tayangan televisi. Selain menimbulkan dampak psikologis, televisi juga menimbulkan dampak lain terhadap mental anak-anak dan kesehatan mereka. Hasil penelitian Hancox RJ. Association bertema Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement menyebutkan, bahwa anak berusia tiga tahun yang rajin nonton, akan mengalami penurunan minat baca, berkurangnya kemampuan membaca secara komprehensif, dan menurunnya kemampuan memori. Sedangkan dampak jangka panjang berupa kegagalan akademis pada usia 26 tahun. Menurut Dr. Hardiono D. Pusponegoro, mengutip hasil penelitian tadi, dari aktivitas menonton televisi saja, otak akan kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dalam hubungan sosial dengan orang lain. Selain itu, otak juga akan kehilangan kesempatan bermain kreatif dan memecahkan masalah. Televisi yang bersifat satu arah, membuat anak-anak kehilangan kesempatan mengekplorasi dunia tiga dimensi, dan peluang tahapan perkembangan yang baik. Dampak tayangan televisi semakin jelas terlihat jika kita kaji setiap jenis tayangan. Tapi, dari sekian ragam jenis tayangan, yang paling mendapat perhatian adalah tayangan kekerasan dan infotainment. Dua jenis tayangan ini bukan saja mengilhami penonton dewasa untuk meniru setiap adegan tayangan, tapi juga berdampak pada perilaku keseharian mereka. Apalagi dalam berbagai penelitian, dua jenis tayangan ini menarik banyak penonton dan meraih rating tinggi. Tayangan berita seputar gosip para pesohor (artis), misalnya yang sangat menjamur sejak Cek & Ricek mengudara pertama kali pada awal 1990-an, sampai sekarang produk ini tetap bertahan dan terus berkembang. Belakangan, bahkan semakin banyak muncul acara sejenis. Jam tayangnya pun sudah mulai sejak pagi buta hingga menjelang tengah malam, di hampir semua saluran televisi. Berita-berita yang disajikan dalam tayangan infotainment, biasanya mengandung rumus yang sederhana. Pertama, kemunculan seorang artis baru dan segala pernik-pernik kehidupan pribadi serta prestasi yang diraih kalau ada. Kedua, setelah dikenal siapa pacar atau orang yang sedang mendekatinya, artis itu akan dicecar reaksi seputar kedekatan hubungannya. Ketiga, setelah menjalin hubungan asmara, infotainment akan menggiring isu pada urusan kapan si artis akan menikah. Setelah si artis menikah, pertanyaan yang selalu dimunculkan adalah kapan punya anak dan berapa anak yang diinginkan. Jika pertanyaan ini tak kunjung mendapat jawaban pasti, materi yang ditayangkan biasanya beralih kepada isu lain, seperti keretakan rumah tangga hingga perceraian. Kisah kawin cerai artis tak jarang jadi tayangan bersambung selama berminggu-minggu, seperti terjadi dalam kasus perceraian Tamara Bleszinsky-Teuku Rafli dan Ahmad Dhani-Maia Estianti. Tayangan yang terlalu jauh memasuki ruang privat seseorang inilah yang banyak dipersoalkan. Selain tidak mendidik, jam tayang infotainment seakan tak mengenal waktu. Sehingga jam-jam tayang untuk tontonan anak-anak pun terampas. Jika dihitung-hitung, jam tayang infotainment bisa mencapai 18 jam sehari, atau lebih dari 220 episode dalam seminggu. Dengan jam tayang yang begitu masif, tak heran jika acara ini sudah muncul sejak sebelum matahari terbit hingga menjelang tengah malam, di berbagai saluran televisi. Bayangkan, setelah mengikuti pengajian ba’da Subuh di televisi, rumah-rumah kita sudah dibombardir dengan tayangan infotainment. Dengan masa tayang yang begitu banyak, tanpa disadari tayangan ini seringkali membuat orang ketagihan. Dengan jam tayang yang tinggi, mau tak mau anak-anak di rumah akan punya kesempatan luas menjadi penontonnya. Apalagi jika para ibu dan kaum perempuan, yang menjadi pangsa pasar terbesar penonton tayangan ini, ikut-ikutan menjadi penonton setia. Akibatnya, anak ikut terbawa arus menjadi penonton juga. Pada masa perkembangan ini, tentunya anak-anak dengan mudah menyerap kosakata, kalimat, atau kata-kata yang disampaikan presenter. Menurut psikolog Dadang Hawari, tayangan televisi menjadi modeling bagi perkembangan anak-anak, jika mereka terus-menerus menjadi penonton. Apalagi jika orangtua secara bersama-sama menjadi penonton acara sejenis. Anak-anak akan menemukan pembenaran bahwa acara yang ditonton itu adalah acara yang baik, sehingga muncul naluri meniru segala yang ditayangkan. Sebagai orangtua kita, sudah waktunya kita tekan dampak tayangan yang mengandung ghibah (bergunjing) itu seminimal mungkin. Sikap ini menjadi penting, sebelum perilaku anak-anak kita disetir oleh televisi. Selagi ada peluang dan kesempatan memperbaiki diri, alangkah baiknya jika kita mulai dari sekarang untuk melihat kembali hobi kita menonton gosip, isu, dan acara menggunjing orang lain. Bijak Memilih Tontotan Antara benci dan rindu, merupakan ungkapan yang pas untuk menggambarkan hubungan kita dengan televisi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mulai sulit melepaskan diri dari televisi, karena tak sedikit acara yang bernilai positif. Pengajian Subuh, merupakan salah satu tayangan yang layak disimak. Begitu pula acara ilmu pengetahuan seperti Discovery Channel. Dalam kesempatan lain kita juga perlu mengetahui perkembangan dunia luar agar wawasan kita terus bertambah. Dengan manfaat yang tidak sedikit ini, disertai mudharat yang dihadirkan, yang diperlukan sekarang adalah sikap kita terhadap tontotan. Kita perlu bijak, kapan semua anggota keluarga bisa menonton bersama, dan kapan televisi harus dimatikan. Orangtua perlu menekan ego untuk tidak menonton televisi pada jam-jam anak belajar. Karena, bagaimana mungkin meminta anak belajar, jika di dalam rumah yang sama orangtua asyik menonton sinetron? Selain itu, orangtua harus selektif memilihkan tayangan yang boleh ditonton anak-anaknya. Apalagi, saat ini banyak tayangan dengan label “tontotan anak”, tapi isinya justru jauh dari nilai-nilai dan kehidupan dunia anak. Acara “Idola Cilik” misalnya, seakan ditujukan untuk anak-anak. Tapi jika kita simak lebih jauh, terutama lagu yang dinyanyikan, rasanya kita perlu berpikir kembali kelayakan acara tersebut ditonton anak. Bagaimana mungkin anak-anak berusia 10-12 tahun menyanyikan lagu “Kekasih Gelap” milik Sheila On 7, misalnya. Kunci penting menghindarkan anak-anak dari dampak buruk televisi adalah kepedulian orangtua dan kemauan orangtua untuk mengalah. Jika orangtua tetap gemar menonton televisi tanpa tahu waktu, jangan berharap anak-anak patuh dan menuruti kemauan orangtua. Jangan sampai kita baru sadar ketika anak-anak lebih mudah menirukan adegan di televisi daripada menjadikan orangtua sebagai panutan. Wallâhua’alam.