Archive for ‘Feature Bisnis’

29/08/2009

Waspadai Window Shopping

Dhorifi Zumar

Hati-hati bagi Anda yang punya kebiasaan jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Dari sekadar iseng (window shopping), ada potensi konsumtivisme, dipicu diskon, promosi, maupun iklan.

Nafiqa (25), wanita berjilbab yang tinggal di Depok, itu bisa dipastikan hampir setiap akhir pekan selalu berkunjung ke Hypermarket Carrefour yang terletak di lantai 2-3 pusat perbelanjaan ITC Depok. Kegemarannya mengunjungi pusat perbelanjaan tersebut seolah menjadi acara rutin mingguan.

Terkadang kalau suaminya tak bisa mengantar karena alasan kesibukan atau sedang tugas ke luar kota, ibu satu anak ini tetap saja nekad pergi. Kalau tidak dengan pembantu, ya tetangganya dipilih mendampingi. Terasa hilang semangat hidupnya kalau absen sekali saja berkunjung ke pusat perbelanjaan itu. Pendeknya, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, sudah menjadi kebutuhan atau gaya hidupnya.

Kenapa ia begitu gemar datang ke Carrefour dan terkesan bela-belain padahal tempat tinggalnya menuju ke ITC berjarak cukup jauh, kira-kira 10 kilometer? Ternyata, alasannya karena hypermarket tersebut memberi kenyamanan dan kepuasaan tersendiri dalam berbelanja.

Selain tempat yang nyaman dan bersih, Carrefour juga dikenal sangat lengkap koleksi barangnya, karena memang berkonsep one stop shopping. Semua kebutuhan belanja hampir ada di sana, dari aneka kebutuhan rumah tangga (consumer goods), makanan, pakaian, hingga elektronik dan furnitur.

Lebih dari itu, pusat belanja asal Perancis ini menawarkan harga yang lebih rendah dibanding para kompetitornya. Karena memang Carrefour berkomitmen sebagai tempat belanja yang menjamin harga lebih murah sesuai mottonya “Kalau ada yang lebih murah, kami ganti selisihnya”.

Jadi, pusat perbelanjaan ini memiliki dua keunggulan sekaligus, yaitu functional benefit dan emotional benefit. Keuntungan fungsional, bisa berupa harga yang murah dan keuntungan emosional lebih, berupa lay-out gerai dan cara display produk yang memudahkan dan membuat konsumen nyaman.

Bahkan, kalaupun Nafiqa tak jadi berbelanja atau membeli barang-barang karena stok masih tersedia di rumah, ia masih bisa menyiasati keasyikannya jalan-jalan ke pusat perbelanjaan itu dengan hanya melihat-lihat display produk yang ada. Alias sekadar window shopping.

Stimulus Window Shopping

Tapi jangan salah, dari window shopping ini malah tak sedikit pula yang justru memunculkan keinginan kuat untuk berbelanja. Biasanya, hasrat tak muncul tiba-tiba. Melainkan akan muncul setelah adanya stimulus atau rangsangan. Rangsangan untuk mengajak konsumen agar mau berbelanja itu bisa beraneka macam. Antara lain, bisa berasal dari penampilan penjualnya (pramuniaga) yang memikat, diskon, promosi, maupun iklan above the line (televisi, radio, koran, atau majalah), maupun below the line (brosur, leaflet, pamflet, hingga billboard).

Kita sendiri mungkin pernah punya pengalaman. Berangkat dari rumah dengan niat awal hanya sekadar jalan-jalan ke mall tanpa keinginan membeli sesuatu selain ingin makan siang bersama istri dan anak-anak, tapi begitu melakukan aktivitas window shopping, tiba-tiba muncul keinginan untuk membeli barang yang baru saja kita lihat. Niat awal kita pun kontan berubah, dari tak mau membeli sesuatu menjadi ingin sekali membeli sesuatu.

Kenapa dan apa kira-kira faktor yang mempengaruhinya? Tak lain adalah karena beberapa hal tadi. Yaitu faktor pramuniaga, diskon, promosi, maupun iklan. Belum lama ini, perusahaan riset marketing MARS Indonesia, melakukan riset di delapan kota besar (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan, dan Pelembang), dengan responden 5.476. Hasil riset ini telah dimuat dalam Perilaku Belanja Konsumen Indonesia 2009.

Dari riset marketing tersebut diketahui, sebanyak 67,4% responden menyatakan sebenarnya pada awal tidak butuh berbelanja, tapi karena ada diskon mereka menjadi ingin membeli. 52,1% menyatakan, sebenarnya tidak butuh, tetapi menjadi membeli karena saat itu ada promosi. Sedangkan 7,1% responden menyatakan awalnya tidak perlu tetapi karena penjual atau pramuniaganya menarik, mereka pun membeli.

Setali tiga uang, kondisi serupa terjadi pada faktor pengaruh iklan dalam mendongkrak hasrat konsumen agar membeli barang. Masih berdasar hasil riset yang sama, sebanyak 71,8% responden menyatakan iklan baginya sebagai sumber informasi produk, atau referensi bagi produk yang ingin dibelinya. 34,9% menyatakan, setelah melihat iklan mereka sering ingin memiliki produk yang diiklankan. Apalagi kalau endorser atau brand ambassador-nya adalah bintang pujaannya.

Dari sini bisa ditegaskan, bahwa faktor diskon, promosi dan iklan, memang sangat besar mempengaruhi konsumen agar tergerak membeli suatu barang atau produk. Karena itu tak heran, jika perusahaan-perusahaan besar sekelas Unilever, Indofood, Nestle, Garudafood, Wingsfood, maupun Sido Muncul, memberi perhatian sangat besar pada ketiga hal tadi. Bahkan mereka tak segan-segan mengalokasikan anggaran khusus dalam jumlah yang sangat besar untuk divisi promosi. Dengan satu tujuan, memenangkan perang promosi dan iklan, demi mengokohkan corporate brandnya sebagai market leader di kelasnya.

Ada cerita menarik terkait perang iklan di layar kaca antara Kacang Garuda dan Dua Kelinci yang terkesan sengit. Kacang Garuda meluncurkan iklan burung besar yang menukik menyambar kacang di bawah yang terlihat ada kelincinya. Tak mau ketinggalan, Dua Kelinci pun membalas dengan lemparan kacang ke atas yang mengenai burung. Metafora burung dan kelinci yang dipakai itu sangat gamblang menjelaskan bagaimana kedua pemain ini saling berebut awareness konsumen.

Boks

Perilaku Konsumen

Untuk memotret perilaku konsumen dalam kaitannya dengan pola belanja, sebetulnya terdapat tiga teori kepribadian yang bisa dijadikan acuan. Yaitu teori Freudian, Neo-Freudian dan teori Traits.

Teori Freudian yang diperkenalkan Sigmund Freud, mengungkapkan teori psychoanalytic (psikoanalisis) kepribadian yang menjadi landasan dalam ilmu psikologi. Berdasarkan teori Freud, kepribadian manusia terdiri dari tiga bagian atau sistem yang saling berinteraksi satu sama lain. Id, superego dan ego.

Lalu, teori kepribadian Neo-Freudian mengemukakan, bahwa faktor utama yang mempengaruhi pembentukan kepribadian manusia bukan dari dirinya sendiri, tetapi dari hubungan sosial atau faktor eksternal. Sementara berdasarkan teori Traits, kepribadian diukur melalui beberapa karakteristik psikologis yang bersifat spesifik, yang disebut “trait”. Salah satu tes yang dikenal adalah selected single-trait personality.

Dalam memahami berbagai karakteristik konsumen yang mempengaruhi perilaku mereka dalam melakukan pembelian, terdapat beberapa variable. Di antaranya inovasi konsumen, faktor kognitif konsumen, tingkat materialisme konsumen, dan etnosentrisme konsumen.

Selain product personality, konsumen juga mengenal brand personality, di mana mereka melihat perbedaan “trait” pada tiap produk yang berbeda pula. Semua kesan yang berhasil ditampilkan oleh merek (brand) tersebut dalam benak konsumen, menggambarkan bahwa konsumen dapat melihat karakteristik tertentu dari produk, kemudian membentuk brand personality.

Itulah sebabnya, faktor di luar kepribadian konsumen (penjual, promosi, diskon dan iklan), memiliki andil sangat besar dalam mempengaruhi perilaku konsumen. Makanya, waspadalah dengan keempat hal tadi bila Anda tak ingin terjebak dalam konsumtivisme sebagaimana perilaku Nafiqa!

29/08/2009

Penyakit Bisnis Makanan Haram

Ahmad Taufiq Abdurrahman Demi uang, banyak orang tak lagi peduli untuk memperdagangkan makanan haram. Dari makanan berlemak babi, hingga kasus terkini abon beroplos babi, rebak menghantui kenyamanan konsumen muslim. Masyarakat resah, kecurigaan antarmasyarakat timbul, paranio sosial pun mengancam. Dedi Kurniawan (32 tahun), merasa kebingungan sore itu. Karena sangat lapar, tadi siang ia lahap menyantap habis sepirik mie pangsit yang dibelinya di pedagang yang biasa mangkal di daerah cilangkap, dekat kediaman kakaknya. Selepas makan, ia menemui kakaknya yang bermukin tak jauh dari lokasi ia membeli mie pansit. “Dari mana De?” tanya sang kakak. “Habis makan mie pangsit, Kak, di perempatan jalan sana,” jawab Dede. “Kok, kamu makan di sana? Kata banyak warga, tukang mie itu suka menggunakan lemak babi biar masakannya enak,” jelas si kakak. Sontak, Dede merasa mual. Dan ingin segera memuntahkan mie yang telah lahap ia kunyah sebelumnya. Tapi, tak sanggup ia keluarkan makanan itu dari dalam perutnya, hatinya menjadi gelisah. “Waduh, aku sudah makan barang haram!” sesalnya. Berhari-hari, rasa sesal tak lekas hilang dari benak Dede. Ia pun tak tahu cara segera menghilangkannya. Hanya waktu yang kemudian membuatnya lupa dengan “kesalahan” tidak sengaja mengonsumsi barang yang telah diharamkan Allah SWT untuk dimakan. Lain cerita tapi nyaris serupa, bulan lalu masyarakat konsumen muslim dibuat resah oleh fakta menggemparkan ditemukannya abon sapi oplosan daging babi. Lima merek dendeng dan abon sapi yang beredar di pasar, positif mengandung asam deoksiribo nukleat (DNA) babi. Berdasarkan informasi dari Badan Penyehatan Obat dan Makanan (BPOM), telah dipastikan lima merk abon yang terbukti mengoplos abon sapi dengan daging babi. Yaitu dendeng/abon sapi gurih cap Kepala Sapi 250 gram, dengan produsen yang tidak diketahui; abon/dendeng sapi cap Limas 100 gram, produksi PT Langgeng, Salatiga yang fiktif; abon/dendeng sapi asli cap A.C.C., dengan produsen yang tidak diketahui; dendeng sapi istimewa merk Beef Jerkey Lezaaat, produksi MDC Food Surabaya; dan dendeng sapi Istimewa No 1 cap 999, produksi rumahan S. Hendropurnomo, Malang. Ini merupakan hasil penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Departemen Kesehatan (Depkes) dari uji sampel di enam kota yakni, Jambi, Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor, dan Bandung. Lima produk itu diketahui mengandung DNA babi setelah dilakukan uji sampel terhadap 35 merek yang terdiri dari 15 dendeng dan 20 abon sapi. “Sebenarnya tekstur serat babi lebih tidak tampak karena banyak mengandung lemak. Karena itu, kita menguji di laboratorium dengan alat bernama the real-time PCR (Polymerase Chain Reaction),” ujar Kepala BPOM Husniah Rubiana Thamrin, di Jakarta beberapa waktu lalu. Anehnya, kelima produk itu lanjut Husniah, mencantumkan nomor registrasi produk milik perusahaan lain. Sementara produk yang mencantumkan nama produsen, alamatnya tak jelas. Bahkan, salah satu produk memiliki stempel halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Produsen meminta label halal dan sertifikat dari Dinas Kesehatan setempat. Saat dicek MUI dan Dinas Kesehatan, awalnya menggunakan daging sapi. Produsen juga menjamin tempat pemotongan hewannya halal. Tapi ketika dites DNA, ternyata menggunakan daging babi,” jelasnya. Ketua MUI Amidhan menduga, sertifikat halal MUI itu dipalsukan. Pasalnya, nama ada beberapa perusahaan yang tidak jelas nama dan nomor sertifikat halalnya, juga belum jelas mereka terdaftar atau tidak. Kepala BPOM Depkes Husniah Rubiana Thamrin menyatakan, produsen yang terbukti mengedarkan dendeng dan abon sapi yang mengandung babi, diancam dengan pasal berlapis. Demikian pula produsen yang terbukti memasang sertifikat halal tapi produknya tidak halal. Mereka bisa dijerat dengan UU Kesehatan No 23/1992, UU Pangan No 7/1996 dan UU Perlindungan Konsumen, dengan ancaman lima tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Besarnya sampel produk yang mengandung DNA babi yang ditemukan, menunjukkan kurangnya pengawasan aparat terhadap produk makanan olahan. Karenanya, pengawasan perlu dilakukan terhadap semua industri, baik kecil maupun besar. Sebab, tak lain dan tak bukan, yang merugi jelas-jelas konsumen, khususnya konsumen muslim. Sudah harus mengeluarkan biaya mahal untuk membeli makanan enak dan terjamin, malah mendapat makanan haram! Dirjen Bimas Islam Prof. Dr. Nasaruddin MA. menyatakan siapapun produsen yang sengaja membuat penipuan mencantumkan label halal pada produk dendeng dan abon yang mengandung babi, harus ditindak tegas. Menurut Nasaruddin, langkah yang harus dilakukan adalah mengambil langkah hukum dan menarik produk dari peredaran. Selanjutnya, bagaimana menciptakan ketentraman konsumen, terutama umat Islam supaya makanan yang beredar itu aman dan dampak pada para produsen yang baik-baik, mereka tidak terganggu. Kecurigaan Sosial Di samping kerugian besar yang dialami konsumen akibat penipuan, menurut data media tercatat dampak akibat beredarnya isu tersebut, sejumlah pengusaha abon dan dendeng sapi di berbagai daerah di Indonesia mengaku omzetnya mengalami penurunan hingga yang terparah mencapai 80 persen. Karena sejak merebaknya berita abon oplosan dagng haram ini, masyarakat cenderung berhati-hati membelinya, bahkan tak jarang pedagang banyak menjadi sasaran kecurigaan. Keresahan pun timbul akibat tingginya tingkat kecurigaan antarmasyarakat. Kecurigaan ( suspicion) adalah emosi dari ketidakpercayaan, di mana seseorang atau kelompok meragukan kejujuran orang lain tanpa bukti. Jika kecurigaan ini menjadi berlebihan, sangat rentan melahirkan paranoia. Yaitu proses pikiran yang terganggu, yang cirinya berupa kecemasan atau ketakutan yang berlebihan, hingga sering tidak rasional dan menimbulkan delusi (keyakinan yang salah, palsu, atau waham). Pemikiran paranoid, biasanya disertai anggapan akan dianiaya oleh sesuatu yang mengancamnya. Kecurigaan yang terus tumbuh tanpa pengentasan, membuka peluang timbulnya praduga negatif. Dan praduga itu bisa berkembang menjadi isu politik, yang dari segi pemerintah bisa menurunkan polularitas dan kepercayaan publik. Bagi masyarakat luas, praduga bisa berkembang menjadi kecurigaan sosial yang ujungnya bisa memicu konflik sosial. Kecurigaan sosial jelas akan mengganggu relasi sosial masyarakat. Akibatnya, masyarakat tak lagi dapat berinteraksi secara normal. Menurut E. Kristi Purwandari, pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), faktor penyelenggaraan kehidupan bernegara yang carut-marut menjadi penyebab depresi terbesar bagi masyarakat Indonesia. Keadaan seperti ini menyebabkan orang frustasi dan putus harapan. ==== Boks Dampak Makanan Haram Menurut jumhur ulama, mengonsumsi makanan yang diharamkan Allah tanpa sadar atau sengaja hukumnya ma’fu, atau tidak mengapa. Namun jika mengonsumsinya secara sengaja tentu yang dilarang. Karena asal hukum makanan adalah halal, maka tidak dapat kita temukan rincian jenis makanan halal baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Sementara tentang makanan haram, telah jelas dirinci secara detail dalam al-Qur`an maupun hadits (Qs. al-An’âm [6]: 119, dan al-Mâ`idah [5]: 3). Penegasan rinci tersebut, karena memang makanan mempunyai pengaruh dominan bagi diri orang yang mengonsumsinya. Artinya, makanan yang halal, bersih dan baik, akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram, akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Menurut Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, ulama asal Arab Saudi dan pengarang puluhan buku ternama, makanan yang halal maupun yang haram, tak hanya berpengaruh pada hati dan perangai individu saja, baik dalam potensi memperbaiki atau menyimpangkannya. Tapi efeknya juga dapat merambah mempengaruhi masyarakat. Masyarakat yang didominasi kejujuran dalam bermua’malah, mengkonsumsi makanan yang diperbolehkan, ia akan tumbuh menjadi sebuah komunitas yang bersih, teladan, saling menolong, dan kokoh. Sementara masyarakat yang terkungkung oleh praktek risywah (suap), tipu menipu dan tersebarnya makanan yang haram, akan menjadi komunitas yang ternoda, tercerai berai, individualis, tak mengenal kerjasama u
ntuk saling menolong, hina di mata masyarakat lain, juga menjadi ladang subur berkembangannya sifat-sifat buruk. Pasalnya, makanan-makanan yang buruk tersebut bisa merusak tabiat manusia. Menurut Syeikh Ibnu Taimiyyah (Majmû` Fatâwâ [10/21), Allah mengharamkan makanan-makanan yang buruk lantaran mengandung unsur yang dapat menimbulkan kerusakan, baik pada akal, akhlak maupun aspek lainnya. Keganjilan prilaku akan nampak pada orang-orang yang menghalalkan makanan dan minuman yang haram, sesuai dengan kadar kerusakan yang dikandung makanan tersebut.

29/08/2009

Pamrih Kegigihan

Ada asumsi, OKB (Orang Kaya Baru) cenderung lupa diri. Padahal, banyak tokoh dunia yang dulunya hidup susah dan miskin, ketika sukses dan kaya tak lupa kulitnya, mereka malah kian dermawan. Ibarat padi, kian matang, dadapun kian tunduk. Sukses mereka adalah pamrih kegigihan.

Ketika berumur 11 tahun, Warren Buffet hanyalah seorang loper koran. Waktu luanganya selepas sekolah dan bekerja loper ia memanfaatkan untuk keliling lapangan golf, mencari bola golf yang hilang. Bola yang ia temukan lalu dijual dengan harga murah ke pemain golf yang ingin bermain di sekitar lapangan itu.

Pada umur 14 tahun, saat duduk di bangku SMU, ia memulai bekerja mandiri, sehingga memiliki uang 1,200 dollar untuk membeli 40 hektar tanah pertanian, yang kemudian ia sewakan kepada para petani lokal untuk diolah. Di usia sedini itu ia sudah mampu menciptakan //passive income// dari sewa lahan.

Sejak usia belasan tahun, Warren yang dikenal sangat cerdas di bidang matematika itu, sudah mulai mencoba mandiri dengan bermain saham. Kala itu, ia membeli saham //Cities Services// seharga 38.25 dolar persaham. Lalu, ia segera menjualnya saat saham itu naik menjadi 40 dolar.

Sebuah keuntungan yang lumayan besar baginya saat itu. Tapi, ia kemudian menyesal. Karena, dalam setahun, saham itu sebenarnya mampu mencapai nilai 200 dolar.

Sejak itulah, ia mendapat pelajaran, bahwa bermain saham harus panjang jangka waktunya. Dan ini bekalnya saat menjadi raja saham dan membeli Berkshire Hathaway, sebuah unit usaha yang kini telah berhasil dikembangkannya hingga memiliki anak usaha lebih dari 60 jenis.

Tahun 2008 lalu, Warren berhasil menggeser Bill Gates sebagai orang terkaya di dunia setelah bercokol selama nyaris 13 tahun berturut-turut. Walau menurut versi Majalah //Forbes// bulan lalu, Warren kembali berhasil digeser Gates. Dengan perkiraan pendapatan bersih 44 miliar dollar AS pada 2005, ia menduduki urutan kedua orang terkaya di dunia menurut //Forbes//.

Meski diklaim sebagai peringkat atas orang terkaya dunia, Warren selalu menekankan pola hidup sederhana. Bahkan, sangat sederhana. Betapa tidak. Ia hidup bersahaja dengan hanya tinggal di rumah bernilai 31 ribu dolar di kota kecil Omaha. Rumah yang tak memiliki pagar dan hanya memiliki tiga kamar tidur itu ia beli setelah menikah 50 tahun lalu. Padahal, jika mau, dengan kekayaannya ia bisa membeli beberapa istana sekaligus.

Tak hanya itu. Sampai kini ia mungkin satu-satunya jutawan yang masih sering menyetir sendiri mobilnya. Ketika harus bepergian, ia juga tak mau menggunakan pesawat jet pribadi layaknya para konglomerat lain. Padahal ia memiliki perusahaan rental pesawat jet pribadi.

Selain menerapkan pola hidup sederhana, ia juga menerapkan manajemen yang sangat bersahaja untuk semua bisnisnya. Ia beri kepercayaan penuh pada semua manajer perusahaannya. Dalam setahun, ia hanya menulis sebuah surat kepada CEO dari perusahaan-perusahaannya. Isinya tentang tujuan yang harus dicapai oleh perusahaan yang ia tuangkan dalam dua perintah: Pertama, jangan sampai merugikan uang pemilik saham. Kedua: jangan lupa peraturan nomor satu.

Di samping tak pernah membawa hanphone maupun laptop, Warren juga tak pernah mau bersosialisasi di klub-klub orang kaya. Waktu luangnya setelah tiba di rumah, ia gunakan untuk membuat popcorn, dan menonton TV. Bill Gates, saingannya sebagai orang terkaya di dunia, awalnya tidak berminat untuk menemui Warren, karena tidak melihat adanya kesamaan dalam diri mereka. Tapi lima tahun lalu, Bill mencoba mengagendakan pertemuan dengan Warren hanya selama 30 menit. Setelah bincang-bincang, obrolan bersama Warren ternyata berlangsung selama 10 jam.

Selain sederhana, Warren juga dikenal sangat dermawan dan filantrofis yang suka memberi sebagian penghasilannya untuk kepentingan sosial. Tak tanggung-tanggung, ia dermakan uang senilai 30 miliar dolar Amerika, kepada Yayasan Bill and Melinda Gates, yayasan milik Bill Gates. Sungguh sumbangan terbesar dalam sejarah.

Sumbangan itu setara dengan sekitar 80 persen kekayaan yang dimilikinya. Dengan sumbangan sebesar itu, bisa dikatakan ia hanya mewariskan sedikit bagian kekayaan kepada ketiga anaknya. Tapi Warren berkilah bijak, “Saya memberikan bagian yang cukup kepada anak-anak saya, sehingga mereka merasa bisa melakukan apa saja. Namun saya tidak memberi lebih, sehingga mereka merasa tak harus melakukan sesuatu (untuk mendapatkan keinginan mereka).”

***

Peduli Kemiskinan

Siapa yang tak kenal Zinedine Zidane? Kepiawaiannya mengolah si kulit bundar membuat namanya sangat dikenal seantero jagad.

Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan akibat ulah menanduk Materazzi pemain Italia, Zizou begitu panggilan akrab Zidane, adalah pesepakbola yang sangat berbakat. Ia menjadi figur paling penting saat mengantarkan Perancis menjadi juara dunia pada 1998. Perannya juga sangat signifikan mengangkat moral tim ketika Perancis yang kurang bersinar di awal Piala Dunia 2006 lau, akhirnya berhasil mencapai partai final.

Pria keturunan Aljazair yang lahir di Perancis 23 Juni 1972 ini, merupakan seorang anak imigran yang mencoba mengubah nasib di negeri Menara Eiffel itu. Layaknya imigran minoritas, Zidane pun tumbuh dalam lingkungan yang keras dan jauh dari kecukupan. Anak dari lima bersaudara ini sadar, ia mungkin tak akan bisa menempuh pendidikan yang tinggi layaknya orang lain yang berkecukupan. Karena itu, ia memilih menekuni hobinya, sepakbola untuk memperbaiki garis hidup.

Dalam sebuah wawancara dengan media lokal Perancis, Zidane mengatakan, bakat bukanlah apa-apa tanpa latihan terus menerus. Teknik saya tinggi bermain sepakbola yang dimilikya adalah berkat latihan keras. Motivasi Zidane untuk giat berlatih adalah ucapan ayahnya, ”Sebagai imigran, kita harus bekerja lebih giat dari orang lain, dan kita tak boleh mudah menyerah.”

Niatnya mengubah nasib melalui sepakbola menemui jalan terang saat bakatnya ditemukan oleh Jean Varraud yang mengajaknya berlabuh di klub Cannes, saat ia baru berusia 16 tahun. Berkat latihan keras, setahun kemudian ia sudah dipercaya masuk ke tim senior dan bermain di divisi pertama liga Perancis.

Dari sana, kemampuannya makin meningkat. Dan langsung menarik klub liga utama Perancis, Bordeaux untuk mengontraknya. Karirnya di lapangan hijau makin bersinar, dan membawanya melanglang buana ke berbagai tim elit dan kaya di Eropa.

Puluhan prestasi profesional ia dapatkan, termasuk rekor pemain termahal dunia dan pemain terbaik dunia tiga kali, tahun 1998, 2000, dan 2003. Sukses Zidane menjadi bukti perjuangan sejak kecil untuk merubah nasib melalui sepakbola nyatalah sudah.

Meski sudah sukses, Zidane tak melupakan masa sulit ketika kecil. Ia sangat peduli pada negara-negara dunia ketiga, atau negara tertinggal di dunia. Sejak pensiun dari lapangan hijau, Zidane dipercaya menjadi Duta UNDP (United Nations Development Program), badan PBB urusan program pembangunan dunia.

Tak lelah ia berkampanye untuk membantu negara-negara miskin mencapai kesejahteraan, seperti yang dicanangkan dalam //The Millennium Development Goals.// Selain berkeliling ke berbagai negara untuk mengkampanyekan antikemiskinan, ia juga beberapa kali mengadakan pertandingan sepakbola amal untuk mengumpulkan dana bagi masyarakat negara miskin.

Terakhir, bersama //Danone//, perusahaan produk-produk olahan susu, ia giat mensosialisakan peningkatan gizi di negara-negara miskin dan berkembang. Ketulusan Zidane, bukti menjadi sukses tak boleh lupa dengan kesusahan orang lain.

***

Memulai dari Nol

Jika sarapan, Lee Myung-Bak hanya makan ampas gandum. Karena tak punya uang, saat makan siang ia hanya mengganjal perutnya dengan meminum air. Untuk makan malam, ia kembali harus memakan ampas gandum. Dan, untuk ampas itu pun, keluarganya tak mampu membeli. Mereka harus mengais dulu ampas hasil penyulingan sake, minuman khas masyarakat Jepang. Masa kecil Lee sungguh harus dilewati dengan memakan sampah!

Terlahir di Osaka, Jepang, pada 1941, dari keluarga buruh tani. Ia kemudian besar di sebuah kota kecil, Pohang, Korea. Saat remaja, Lee menjadi pengasong makanan murahan dan es krim untuk membantu keluarga. “Tak terpikir bisa membawa makan siang untuk di sekolah,” aku Lee dalam otobiografinya //There is No Myth// yang diterbitkan kali pertama pada 1995.

Meski sangat miskin, Lee punya tekad kuat untuk menempuh pendidikan tinggi. Karena itu, ia belajar keras untuk memperoleh beasiswa agar bisa meneruskan sekolah SMU.

Akhir 1959, keluarganya pindah ke ibukota, Seoul, untuk mencari penghidupan lebih baik. Namun, nasib mereka tetap terpuruk, orangtuanya hanya bisa menjadi penjual sayur di jalanan. Saat itu, Lee mulai lepas dari orangtua, dan bekerja mandiri menjadi buruh bangunan. “Mimpi saya ingin menjadi pegawai,” kisahnya.

Lepas SMA, karena prestasinya bagus, Lee berhasil diterima di perguruan tinggi terkenal, Korea University. Untuk membiayai hidupnya, ia bekerja sebagai tukang sapu jalanan. Saat kuliah inilah, awal mula titik balik kehidupannya terjadi sejak berkenalan dengan dunia politik. Lee terpilih menjadi anggota dewan mahasiswa, dan terlibat dalam aksi demo antipemerintah. Karena ulahnya ini ia sempat dipenjara percobaan pada 1964.

Hukuman ini nyaris membuatnya tak bisa diterima sebagai pegawai Hyundai Group. Sebab, pihak perusahaan khawatir, pemerintah akan marah jika Lee diterima di perusahaan itu. Namun, karena tekadnya kuat, Lee memutar otak. Ia kemudian membuat surat ke kantor kepresidenan, dengan isi bernada sangat memelas, yang intinya berharap pemerintah jangan menghancurkan masa depannya. Surat itu menyentuh hati sekretaris presiden, yang kemudian memerintahkan Hyundai untuk menerima Lee sebagai pegawai.

Di perusahaan ini, Lee menunjukkan bakatnya. Ia mendapat julukan “buldozer”, karena dianggap selalu bisa membereskan semua masalah, sesulit apapun. Salah satu karya fenomonalnya adalah mempreteli habis sebuah buldozer, untuk dipelajari cara kerja mesinnya. Di kemudian hari, Hyundai memang berhasil memproduksi buldozer.

Kemampuan Lee mengundang kagum pendiri Hyundai, Chung Ju-yung. Berkat rekomendasi pimpinannya itu, prestasi Lee terus melesat. Ia langsung bisa menduduki posisi tertinggi di divisi konstruksi, meski baru bekerja selama 10 tahun. Divisi ini pada periode 1970-1980 menjadi mesin uang Hyundai.

Setelah 30 tahun di Hyundai, Lee mulai masuk ke ranah politik dengan menjadi anggota dewan pada 1992. Tahun 2002, ia terpilih menjadi Wali Kota Seoul. Lima tahun kemudian (2007), lelaki yang masa kecilnya sangat miskin dan sengsara itu, menjadi orang nomor satu di Korea Selatan. Sebuah pembuktian, bahwa dengan perjuangan dan keyakinan, setiap orang memang berhak untuk sukses. “Success is My Right,” tandas Andrie Wongso. (ahmad taufiq)

29/08/2009

Motivasi Bisnis Komunitas

Hadi Kuntoro, dipanggil Hadi, menyebut dirinya ‘Raja Selimut’. Karena memang, selimutlah yang menjadi lead bisnisnya. Menyebar selimut Jepang berkualitas internasional yang dibuat di pabrik Indonesia ke seantero tanah air dan manca negara adalah profesinya.

Sebelumnya, selama 13 tahun bapak tiga anak ini menjadi karyawan atau TDB (Tangan di Bawah) di pabrik mobil terbesar asal Jepang. Gajinya saat itu telah lebih dari mencukupi. Namun ada sesuatu yang membuatnya tetap gelisah.

“Ada angan yang belum dapat saya dapat, dan selalu mengusik saya. Mengapa sampai saat ini saya hanya bisa hidup untuk diri dan lingkungan keluarga saja? Apa kontribusi saya untuk orang lain? Belum ada!” bisik gelisah hati Hadi beberapa tahun lalu.

Bulat tekad ia bangkit, tak mau menjadi penonton dan tukang sorak keprihatinan nasib bangsa Indonesia yang memang tengah amburadul secara ekonomi. “Saya harus melangkah menjemput angan untuk bisa lebih bermanfaat bagi 100 atau 1000, atau sejuta orang,” tekadnya.

Tepat hari pertama bulan Maret 2008, Hadi mengundurkan diri dari tempat kerjanya. Ia ingin merintis bisnis sendiri. Meski masih kecil dan sebagian besar modal didapat dari hutang, tapi Hadi optimis ia akan berhasil.

Awal 2009, omset penjualan selimut Hadi sudah mencapai 1000-2000 selimut perbulan, dengan agen-agen yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Selain usaha selimut, bersama adiknya, Hadi telah membuka toko-toko kerudung dan busana Muslim di daerah Jawa. Saat ini Hadi juga sedang menawarkan kerjasama usaha One Stop Shopping perlengkapan tidur untuk mitranya yang berlokasi di berbagai kota.

Mau tahu kunci sukses Hadi? Ia bergabung dengan jaringan TDA (Tangan di Atas), komunitas intrepreneur muda, yang gigih mengembangkan kemandirian usaha, mendobrak ketergantung tren kebanyakan masyarakat Indonesia yang lebih sukan menjadi karyawan.

Sejak berdiri di awal 2006, komunitas yang didirikan Badroni Yuzirman ini terus berkembang pesat. Sekarang, anggotanya telah hampir lima ribuan orang, tersebar di seantero Nusantara. Menurut Badroni sang founder (pendiri) yang juga pemilik dan pemimpin Manet Busana Muslim Plus, komunitas TDA bermula ketika ia dan istri memutuskan memulai bisnis menggunakan internet dan direct marketing dari rumah pada Maret 2004.

Ia mulai dengan membuat blog yang kemudian mencuri banyak perhatian pengunjung, dan terus menjadi perbincangan hangat, karena dianggap ‘memprovokasi’ orang untuk mendobrak kemapanan keasyikan menjadi karyawan. Pada Januari 2006, bersama beberapa rekan sevisi, ia dirikan TDA, dengan misi menumbuhkan semangat berwirausaha masyarakat.

Karena memang berawal dari ide komunitas maya, maka blog dan mailing list menjadi sarana utama koordinasi antaranggota mengenai usaha masing-masing dan diskusi masalah-masalah terkait bisnis. Untuk mengeratkan hububungan, kerap juga diadakan pertemuan rutin sebagai ajang silaturrahim mereka.

Melahirkan Intrepreneur

Seperti dimuat situs resmi TDA (http:www.tangandiatas.com), komunitas TDA berorientasi ingin menjadi sebuah komunitas bisnis yang bervisi menjadi Tangan di Atas, atau menjadi pengusaha kaya yang gemar memberi kepada sesamanya. Abundance atau enlightened millionaire.

Dengan filosofi bahwa menjadi Tangan di Atas lebih mulia daripada Tangan di Bawah (TDB), TDA berupaya ingin menghasilkan para pengusaha. Berbeda dengan TDB yang hanya bisa memproduksi karyawan. Motivasi para anggota TDA dilakukan dengan cara saling berbagi, mendukung dan bekerja sama dalam komunitas non profit itu.

Berbekal keyakinan dasar, bersama-sama segalanya akan lebih ringan, mereka buktikan berhasil banyak menggelar kegiatan maupun terobosan bisnis. Karena memang, aktivitas mereka bukan sekedar diskusi, debat maupun curhat urusan bisnis, tapi orientasi kerja (action oriented). Berbeda dari komunitas lain, yang cenderung lebih suka banyak berwacana atau berteori.

Untuk mempermudah klasifikasi anggota, karena terkait semangat dan upaya wirausaha mereka, member (anggota) TDA dibagi menjadi tiga kategori: TDA, yaitu member yang sudah berbisnis penuh dan tengah berupaya meningkatkan bisnisnya ke jenjang lebih tinggi. TDB, yaitu member yang masih bekerja sebagai karyawan, dan sedang berupaya berpindah kuadran menjadi TDA. Dan Ampibi, yaitu member yang masih dalam tahap peralihan dari TDB (karyawan) ke TDA, dengan melakukan bisnis secara sambilan.

Berkembangnya jaringan anggota, membuat komunitas ini kian memarakkan aktivitas. Terbangunlah banyak sayap jaringan TDA, dari jaringan kios pakaian, seluler, IT, hingga jaringan-jaringan jasa konsultasi, pendidikan dan pelatihan bisnis mandiri, maupun kegiatan sosial.

TDA Goes To Franchise, mislanya, sangat mumpuni melakukan kajian dan laboratorium konsep bisnis; TDA Peduli bekerja sama dengan Aksi Cepat Tanggap Dompet Dhuafa Republika; TDA Wealth Strategy Club yang rajin mengadakan diskusi dan penerapan wealth strategy; TDA Event Organizer spesialis penggelar kegiatan seminar, talkshow, bazar, pameran, tur, dan lain-lain.

Atau TDA Business Re-education yang aktif beraksi dalam kegiatan seminar, business game dan business coaching; TDA Business Conference di dunia maya; TDA Spiritual yang rajin melakukan pengajian bulanan; TDA Finance; TDA Business Book Club; dan lain-lain.

Nilai Tindakan

Sebagai sebuah komunitas yang pesat berkembang, tentunya membuat TDA semakin mudah melakukan kerjasama dengan banyak pihak. Imbas keuntungan bagi anggota jelas terasa. Di samping mendapatkan mind-set tentang kewirausahaan yang benar, ilmu kewirausahaan dari seminar, workshop, mastermind maupun mailing list, bersama TDA, networking dan silaturrahim mereka juga kian luas.

Berkembang pesatnya komunitas ini, tak lain berkat pancangan “Lima Nilai TDA”, yang menjadi semacam asas pengikat komunitas ini. Yaitu: Silaturrahim (saling mendukung, sinergi, komunikasi, kerja sama, berbaik sangka, teamwork, dan sukses bersama); Integritas (kejujuran, transparansi, amanah, win-win, komitmen, tanggungjawab, dan adil); Berpikiran Terbuka (continuous learning, continuous improvement, kreatif, dan inovatif); Berorientasi tindakan (semangat solutif, konsisten, persisten, berpikir dan bertindak positif, give and take, serta mindset keberlimpahan); dan Fun (menjaga keseimbangan dalam hidup).

Yulia Astuti, pemilik salon muslimah Moz5 yang kini telah memiliki banyak cabang di beberapa kota, mengakui besarnya keuntungan yang ia rasakan sejak menjadi bagian komunitas TDA. Awalnya ia terkategori sebagai Ampibi, karena awalnya ia hanya menyambi bisnis sambil berstatus karyawan di sebuah perusahaan Jepang. Namun sejak bergabung dengan TDA, ia kian termotivasi untuk berwirausaha mandiri.

Dengan dukungan motivasi dari rekan-rekan komunitas, dan bermodal ketekunan tinggi, akhirnya Yulia sukses memfranschisekan usaha yang awalnya sambilan itu. Jadilah kini Moz5 beranak cabang di banyak kota.

“TDA is My Family,” tegas Yulia. Walau terbilang pasif di dunia maya, Yulia cukup aktif mengikuti kegiatan-kegiatan offline TDA. Di komunitas ini ia rasakan indahnya silaturrahim. Di sana ia bisa berbagi, belajar, bersinergi, dan belajar banyak dari perjalanan sukses para rekannya. “Tidak semata-mata kepentingan bisnis. Kita juga dapat saudara dan sahabat, yang tentunya tak dapat dihitung nilainya dengan uang,” ujar Yulia.

Secara teori, kecenderungan kian marak munculnya komunitas-komunitas bisnis, merupakan bagian dari berkembanganya kognisi sosial (social cognition). Pakar psikologi sosial Russell Spears menyebutkan, manusia berhadapan dengan realitas sosial yang kompleks, sehingga untuk mempermudah hambatan, mereka cenderung suka membagi sesuatu dalam kategorisasi atau kelompok. Sungguh TDA salah satu contoh suksesnya teori ini. (Shofia Tidjani)

29/08/2009

Memulai Usaha dengan Mimpi

Islahuddin

Suasana penuh keakraban terlihat pada acara launching Young Enterpreneurshiop Start Up (YES) Club Jakarta, Maret lalu di gedung Design Center Jakarta. Walau acara itu baru digelar di hari pertama, para peserta yang berjumlah sekitar 25 orang nampak akrab berinteraksi. Sesi terakhir yang banyak diisi tanya-jawab, pun menjadi ajang yang sangat meriah. Pada sesi itu, masing-masing peserta diberi waktu melontarkan usaha yang telah mereka rintis, dan cita-cita mereka sebelumnya.

Suasana seperti ini sangat disyukuri Direktur YES Club Jakarta, Himawan Adibowo. “Yes Club belum berumur satu hari, tapi rupanya sudah terbentuk kerja sama bisnis di dalamnya,” ujar Himawan sambil tersenyum.

Dari peserta yang sebagian besar merupakan mahasiswa itu, tak satupun mempunyai usaha berskala besar. Bisa dibilang rata-rata hanya bermodalkan nekat. Azuz Saputra misalnya, mahasiswa semester enam Jurusan Manajemen di School of Bussines and Management (STIEKPI), selain mau belajar, ia juga harus menjauhkan gengsi untuk memulai dan menggeluti usahanya.

Saat ini, bersama seorang rekannya, Azuz sukses menjadi distributor kentang goreng kemasan di areal kampusnya. Menurut Azuz, sudah bukan saatnya lagi masyarakat menilai suatu pekerjaan itu bergengsi atau tidak. Karena yang terpenting adalah bagaimana bisa terus berusaha dan menghasilkan uang sendiri.

Memang diakuinya, bahwa usaha yang ia jalani sejak tiga bulan lalu itu sangat kecil. Hanya bermodal awal 80 ribu rupiah yang ia belanjakan untuk membeli 40 bungkus kentang goreng kemasan, saat itu ia sanggup menjualnya habis dalam tempo empat hari. Kini, setiap bulan Azuz minimal mampu mengantongi laba 800 ribu rupiah.

Jumlah rupiahnya memang kecil, tapi bagi Azuz yang penting adalah bagaimana menumbuhkan keberanian untuk berusaha, dan memutus ketergantungan pada orangtua. Ia berharap, pengalaman menjadi distributor kecil-kecilan ini menjadi modal untuknya kelak menjalani bisnis yang lebih besar.

Tidak Memilih Rezeki

Dari cerita dan pengakuan yang dipaparkan para peserta Yes Club, terbukti bahwa modal nekat, tahan malu, dan berkhayal, telah banyak mengantarkan para pengusaha untuk memapak sukses dari nol.

Farry Iskandar juga membuktikannya. Sebelum menjadi pengusaha alat-alat petualangan yang dipasarkan secara online, Ferry bekerja sebagai karyawan di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Walau gaji tak besar, bekerja di LSM membuat Ferry nyaman mendapat penghasilan tetap.

Suatu ketika, Ferry memutuskan berhenti menjadi karyawan dan memilih membuka usaha sendiri. Keputusan itu tentu disayangkan banyak rekan dan kerabatnya. Apalagi di masa awal usaha, Ferry sering menggelar dagangan di emperan jalan sekitar kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta setiap Minggu pagi.

Belum lagi tekanan mental yang harus dirasakan Ferry akibat anggapan miring masyarakat yang menilai bekerja di kantor lebih terhormat daripada berdagang di emperan jalan. “Masa awal memulai usaha sangat menyedihkan. Banyak yang menganggap pekerjaan ini sebelah mata,” ujar Ferry.

Pada 2004, bermodal uang delapan juta rupiah di tangan, Ferry jalankan usaha dengan keyakinan bahwa itulah satu-satunya pilihan terbaik untuk meningkatkan penghasilan dirinya. Apalagi saat itu ia sudah ingin berumahtangga, yang ia sadari, kelak tentunya ia butuh penghasilan lebih tiap bulannya untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Tak keliru Ferry memilih jalan hidupnya. Saat ini terbukti ia bisa menikmati limpahan keuntungan hasil usaha dan buah strategi dirinya untuk terus berjuang dan tak memilih-milih rezeki. Meski banyak perusahaan besar yang bergerak di bidang yang sama, namun Ferry tak gentar. Karena mereka jarang melayani partai eceran, apalagi via online seperti yang ia lakukan.

Kini usahanya perlahan berkembang, tak kenal lelah ia terus berupaya membesarkannya lagi. ”Sampai sekarang, saya masih terus berjuang menggapai mimpi yang besar,” tandas Farry.

Usaha Tiada Henti

Kisah serupa namun tidak sama juga dialami Edi Kurniawan, mantan karyawan sebuah perusahaan otomotif di wilayah Tangerang. Suatu ketika, komunitas Tangan di Atas (TDA) menggelar kegiatan magang yang disebut TDA Apprentice.

Walau kegiatan magang berskala tiga bulan itu tidak memberinya gaji ataupun uang transport, namun berkat keinginan untuk belajar dan menggali ilmu menjadi pengusaha, Edi berani memutuskan untuk meninggalkan kemapanan hidup sebagai karyawan.

Saat itu peserta magang berjumlah sepuluh orang, yang ditempatkan di stan milik Haji Alay di kawasan grosir Tanah Abang, Jakarta Pusat. Namun hanya dua orang yang sanggup mengikutinya sampai akhir, salah satunya adalah Edi. Selama magang, Edi memperhatikan adanya celah menjanjikan dari prospek bisnis online. Maka selepas magang, ia memilih usaha jual beli pakaian bayi usia tiga tahuan ke bawah secara online. Dan pengetahuan tentang dunia garmen yang ia dapat selama magang, sangat membantu perkembangan usahanya.

Edi memiliki alasan kuat mengapa ia bersikeras beralih profesi menjadi pengusaha. Karena ia sangat yakin, bahwa dunia usaha tak ada matinya, selama orang mau berusaha. Keyakinan itu semakin besar ketika Haji Alay, yang merupakan saudagar sukses di Tanah Abang, memotivasinya. Haji Alay sering menekankan, bahwa uang berserakan di mana-mana, dan terus berputar selama 24 jam. Dengan sepuluh tangan sekalipun, kita tak akan sanggup memunguti semua serakan itu, kecuali kita mengetahui caranya.

Jerih payah yang dimulai sejak dua tahun itu kini telah menuangkan hasil. Selain bergerak di bisnis online, Edi juga telah mempunyai dua buah toko di Gedung Jakarta City Center (JaCC). Omset rata-rata perbulan yang ia dapat bisa mencapai 100 juta rupiah, dengan 70-80% berasal dari penjualan online.

Menurut Edi, dua tahun bukanlah waktu yang lama. Namun selama itulah kemampuan seseorang untuk bertahan dalam berusaha ditentukan. Salah perhitungan memang sempat dirasakan Edi, namun itu ia jadikan sebagai ilmu yang tak ternilai, yang ia jaga agar tidak kembali terulang di masa mendatang.

Belajar dari Mimpi

Sementara itu, Atik Wahyu Naryati pengusaha budidaya jamur, kini telah menuai hasil jerih payahnya. Atik yang memulai usaha di akhir 2005 lalu, pada pertengahan 2006 saja sudah menuai hasil yang cukup signifikan, dan usahanya berkembang kian stabil. Bermodal awal hanya enam juta rupiah di tangan, kini setiap bulan Atik menuai sekitar 5-10 juta rupiah keuntungan.

Di bawah bendera CV Fanindo Multi Farm, berbagai jenis jamur kini ia budidayakan. Agar bisa diedarkan ke berbagai tempat dengan mudah, ia kemas bahan dagangannya dalam bentuk jamur kering. Karena keberhasilannya itu, banyak orang dari berbagai daerah datang kepadanya untuk belajar. Dengan tangan terbuka Atik menerimanya.

Kisah sukses juga ditorehkan Masbukhin and Nuni. Pasangan harmonis lulusan Universitas Brawijaya Malang ini, memulai bisnis telepon seluler sejak 2003 lalu. Mereka berdua mendobrak kemapanan tradisi para sarjana yang biasanya lebih memilih berpakaian necis dan menjadi karyawan kantoran.

Masbukhin and Nuni kini sukses memiliki beberapa outlet grosir di Pulogadung Trade Center dan tempat-tempat lain di Jakarta. Seluruhnya tergabung di bawah payung PT Prima Prada Cellular (PCC) yang mereka dirikan.

Bermodal mimpi ingin menjadi sukses, awalnya mungkin banyak dicemooh orang sekitar. Namun jika ingin menjadi pengusaha sukses, modal nekat merupakan salah satu hal yang harus dimiliki.

Hal ini sangat tegas diakui pengusaha sukses Martha Tilaar. Jatuh bangun usaha yang dilakukan ikon kecantikan Indonesia sejak awal dekade 70-an itu, kini terlihat hasilnya. Usahanya terus menggurita. “Jika ingin menjadi pengusaha, kita harus berani untuk nekat, dan menggantungkan mimpi setinggi langit,” tegas Martha.