Dhorifi Zumar
Hati-hati bagi Anda yang punya kebiasaan jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Dari sekadar iseng (window shopping), ada potensi konsumtivisme, dipicu diskon, promosi, maupun iklan.
Nafiqa (25), wanita berjilbab yang tinggal di Depok, itu bisa dipastikan hampir setiap akhir pekan selalu berkunjung ke Hypermarket Carrefour yang terletak di lantai 2-3 pusat perbelanjaan ITC Depok. Kegemarannya mengunjungi pusat perbelanjaan tersebut seolah menjadi acara rutin mingguan.
Terkadang kalau suaminya tak bisa mengantar karena alasan kesibukan atau sedang tugas ke luar kota, ibu satu anak ini tetap saja nekad pergi. Kalau tidak dengan pembantu, ya tetangganya dipilih mendampingi. Terasa hilang semangat hidupnya kalau absen sekali saja berkunjung ke pusat perbelanjaan itu. Pendeknya, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, sudah menjadi kebutuhan atau gaya hidupnya.
Kenapa ia begitu gemar datang ke Carrefour dan terkesan bela-belain padahal tempat tinggalnya menuju ke ITC berjarak cukup jauh, kira-kira 10 kilometer? Ternyata, alasannya karena hypermarket tersebut memberi kenyamanan dan kepuasaan tersendiri dalam berbelanja.
Selain tempat yang nyaman dan bersih, Carrefour juga dikenal sangat lengkap koleksi barangnya, karena memang berkonsep one stop shopping. Semua kebutuhan belanja hampir ada di sana, dari aneka kebutuhan rumah tangga (consumer goods), makanan, pakaian, hingga elektronik dan furnitur.
Lebih dari itu, pusat belanja asal Perancis ini menawarkan harga yang lebih rendah dibanding para kompetitornya. Karena memang Carrefour berkomitmen sebagai tempat belanja yang menjamin harga lebih murah sesuai mottonya “Kalau ada yang lebih murah, kami ganti selisihnya”.
Jadi, pusat perbelanjaan ini memiliki dua keunggulan sekaligus, yaitu functional benefit dan emotional benefit. Keuntungan fungsional, bisa berupa harga yang murah dan keuntungan emosional lebih, berupa lay-out gerai dan cara display produk yang memudahkan dan membuat konsumen nyaman.
Bahkan, kalaupun Nafiqa tak jadi berbelanja atau membeli barang-barang karena stok masih tersedia di rumah, ia masih bisa menyiasati keasyikannya jalan-jalan ke pusat perbelanjaan itu dengan hanya melihat-lihat display produk yang ada. Alias sekadar window shopping.
Stimulus Window Shopping
Tapi jangan salah, dari window shopping ini malah tak sedikit pula yang justru memunculkan keinginan kuat untuk berbelanja. Biasanya, hasrat tak muncul tiba-tiba. Melainkan akan muncul setelah adanya stimulus atau rangsangan. Rangsangan untuk mengajak konsumen agar mau berbelanja itu bisa beraneka macam. Antara lain, bisa berasal dari penampilan penjualnya (pramuniaga) yang memikat, diskon, promosi, maupun iklan above the line (televisi, radio, koran, atau majalah), maupun below the line (brosur, leaflet, pamflet, hingga billboard).
Kita sendiri mungkin pernah punya pengalaman. Berangkat dari rumah dengan niat awal hanya sekadar jalan-jalan ke mall tanpa keinginan membeli sesuatu selain ingin makan siang bersama istri dan anak-anak, tapi begitu melakukan aktivitas window shopping, tiba-tiba muncul keinginan untuk membeli barang yang baru saja kita lihat. Niat awal kita pun kontan berubah, dari tak mau membeli sesuatu menjadi ingin sekali membeli sesuatu.
Kenapa dan apa kira-kira faktor yang mempengaruhinya? Tak lain adalah karena beberapa hal tadi. Yaitu faktor pramuniaga, diskon, promosi, maupun iklan. Belum lama ini, perusahaan riset marketing MARS Indonesia, melakukan riset di delapan kota besar (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan, dan Pelembang), dengan responden 5.476. Hasil riset ini telah dimuat dalam Perilaku Belanja Konsumen Indonesia 2009.
Dari riset marketing tersebut diketahui, sebanyak 67,4% responden menyatakan sebenarnya pada awal tidak butuh berbelanja, tapi karena ada diskon mereka menjadi ingin membeli. 52,1% menyatakan, sebenarnya tidak butuh, tetapi menjadi membeli karena saat itu ada promosi. Sedangkan 7,1% responden menyatakan awalnya tidak perlu tetapi karena penjual atau pramuniaganya menarik, mereka pun membeli.
Setali tiga uang, kondisi serupa terjadi pada faktor pengaruh iklan dalam mendongkrak hasrat konsumen agar membeli barang. Masih berdasar hasil riset yang sama, sebanyak 71,8% responden menyatakan iklan baginya sebagai sumber informasi produk, atau referensi bagi produk yang ingin dibelinya. 34,9% menyatakan, setelah melihat iklan mereka sering ingin memiliki produk yang diiklankan. Apalagi kalau endorser atau brand ambassador-nya adalah bintang pujaannya.
Dari sini bisa ditegaskan, bahwa faktor diskon, promosi dan iklan, memang sangat besar mempengaruhi konsumen agar tergerak membeli suatu barang atau produk. Karena itu tak heran, jika perusahaan-perusahaan besar sekelas Unilever, Indofood, Nestle, Garudafood, Wingsfood, maupun Sido Muncul, memberi perhatian sangat besar pada ketiga hal tadi. Bahkan mereka tak segan-segan mengalokasikan anggaran khusus dalam jumlah yang sangat besar untuk divisi promosi. Dengan satu tujuan, memenangkan perang promosi dan iklan, demi mengokohkan corporate brandnya sebagai market leader di kelasnya.
Ada cerita menarik terkait perang iklan di layar kaca antara Kacang Garuda dan Dua Kelinci yang terkesan sengit. Kacang Garuda meluncurkan iklan burung besar yang menukik menyambar kacang di bawah yang terlihat ada kelincinya. Tak mau ketinggalan, Dua Kelinci pun membalas dengan lemparan kacang ke atas yang mengenai burung. Metafora burung dan kelinci yang dipakai itu sangat gamblang menjelaskan bagaimana kedua pemain ini saling berebut awareness konsumen.
Boks
Perilaku Konsumen
Untuk memotret perilaku konsumen dalam kaitannya dengan pola belanja, sebetulnya terdapat tiga teori kepribadian yang bisa dijadikan acuan. Yaitu teori Freudian, Neo-Freudian dan teori Traits.
Teori Freudian yang diperkenalkan Sigmund Freud, mengungkapkan teori psychoanalytic (psikoanalisis) kepribadian yang menjadi landasan dalam ilmu psikologi. Berdasarkan teori Freud, kepribadian manusia terdiri dari tiga bagian atau sistem yang saling berinteraksi satu sama lain. Id, superego dan ego.
Lalu, teori kepribadian Neo-Freudian mengemukakan, bahwa faktor utama yang mempengaruhi pembentukan kepribadian manusia bukan dari dirinya sendiri, tetapi dari hubungan sosial atau faktor eksternal. Sementara berdasarkan teori Traits, kepribadian diukur melalui beberapa karakteristik psikologis yang bersifat spesifik, yang disebut “trait”. Salah satu tes yang dikenal adalah selected single-trait personality.
Dalam memahami berbagai karakteristik konsumen yang mempengaruhi perilaku mereka dalam melakukan pembelian, terdapat beberapa variable. Di antaranya inovasi konsumen, faktor kognitif konsumen, tingkat materialisme konsumen, dan etnosentrisme konsumen.
Selain product personality, konsumen juga mengenal brand personality, di mana mereka melihat perbedaan “trait” pada tiap produk yang berbeda pula. Semua kesan yang berhasil ditampilkan oleh merek (brand) tersebut dalam benak konsumen, menggambarkan bahwa konsumen dapat melihat karakteristik tertentu dari produk, kemudian membentuk brand personality.
Itulah sebabnya, faktor di luar kepribadian konsumen (penjual, promosi, diskon dan iklan), memiliki andil sangat besar dalam mempengaruhi perilaku konsumen. Makanya, waspadalah dengan keempat hal tadi bila Anda tak ingin terjebak dalam konsumtivisme sebagaimana perilaku Nafiqa!