Delapan Prinsip Tazkiyatun-Nafs

Prof. DR. Achmad Mubarok MA

Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Jiwa manusia, oleh Allah SWT telah didesain sempurna, diangugerahi kapasitas tertentu, berfitrah suci, dan bisa ditingkatkan kesuciannya. Tapi bisa juga menjadi kotor jika dikotori.

Al-Qur`an sejak awal telah mengingatkan tentang kesucian jiwa tersebut, yang terangkum dalam beberapa prinsip berikut ini:

Pertama, nafs yang suci secara fitri, atau suci sejak mula kejadiannya. Yaitu nafs anak-anak yang belum mukallaf dan belum pernah melakukan perbuatan dosa, seperti disebut dalam firman Allah, ”Musa pun berkata, “Mengapa kamu bunuh jiwa yang suci, bukan karena ia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan yang mungkar.” (Qs. al-Kahfi 18]: 74)

”Ia (Jibril) berkata, “Sesungguhnya aku ini haruslah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” dan (Qs. Maryam [19]: 19)

Kedua, nafs yang suci jika tidak dipelihara kesuciannya, bisa berubah menjadi kotor. Allah berfirman, ”Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori (jiwa)nya.” (Qs. asy-Syams [91]: 10)

Ketiga, manusia bisa melakukan usaha penyucian jiwa. Seperti disebut dalam surah an-Nâzi’ât [79] ayat 18, ”Dan katakanlah (kepada Fira’un) adalah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan).” al-Fâthir [35] ayat 18, ”Dan barangsiapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri.” Dan al-A’lâ [14] ayat 1: ”Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).”

Keempat, proses penyucian jiwa, bisa melalui usaha. Seperti dengan mengeluarkan zakat, atau menjalankan pergaulan hidup secara terhormat. Allah berfirman, ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (hati dari kekikiran dan cinta harta) dan menyucikan mereka (dengan tumbuhnya sifat-sifat terpuji dalam jiwa mereka).” (Qs. At-Taubah [9]: 103)

”Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalam rumah (yang bukan rumahmu) itu, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, “Kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu.” (Qs. an-Nûr [24]: 28)

”Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka.” (Qs. an-Nûr [24]: 30)

Kelima, penyucian nafs juga bisa dilakukan dengan proses pendidikan, seperti yang dilakukan oleh para Nabi kepada umatnya. Hal ini ditegaskan al-Qur`an dalam banyak surah. Seperti al-Baqarah [2] ayat 129 dan 151, Âli-‘Imrân [3] ayat 164, dan al-Jum’ah [62] ayat 2.

Keenam, di samping melalui usaha dan pendidikan, penyucian jiwa bisa juga terjadi karena karunia dan rahmat Allah yang diberikan kepada orang yang Dia kehendaki. ”Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar itu) selama-lamanya,. Tapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. an-Nûr [24]: 21)

Dan surah an-Nisâ` ayat 49, ”Aakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun.”

Ketujuh, perbuatan menyucikan jiwa (tazkiyyât an-nafs), merupakan perbuatan terpuji dan dihargai Allah. Seperti disebut dalam surah Tâhâ [20] ayat 75-76, asy-Syams [91] : 9, al-A’lâ [87]: 14, dan al-Lail [92]: 18.

Kedelapan, perbuatan mengaku jiwanya telah suci, merupakan hal yang tercela. Hal ini telah Allah tegaskan surah an-Nisâ` [4] ayat 49, dan an-Najm [53] ayat 32, ”Maka, janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Leave a comment